Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TIDAK lama setelah rencana pembentukan superholding mengemuka dalam debat calon presiden, pertengahan April lalu, Menteri Badan Usaha Milik Negara Rini Soemarno bergerak cepat. Untuk mewujudkan janji Presiden Joko Widodo dalam debat pemilihan presiden itu, Rini segera menerbitkan surat keputusan pembentukan tim pengkaji pendirian superholding pada 7 Mei lalu.
Sejak itulah tim sigap bekerja. Hampir dua pekan sekali mereka merapat ke kantor Kementerian BUMN di Jalan Medan Merdeka Selatan, Jakarta. Rapat pembahasan superholding terakhir kali berlangsung pada awal Juli lalu untuk mematangkan konsep badan yang akan menaungi sejumlah induk perusahaan negara tersebut. Rapat dipimpin wakil ketua tim, Hambra Samal, yang juga Deputi Bidang Infrastruktur Bisnis Kementerian BUMN.
Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia Ari Kuncoro salah satu yang hadir di sana. Dalam pertemuan itulah, kata Ari, Deputi Bidang Usaha Pertambangan, Industri Strategis, dan Media Kementerian BUMN Fajar Harry Sampurno memberi masukan tentang organisasi superholding. Adapun Ari dimintai saran mengenai fungsi superholding untuk menggenjot ekspor, menekan impor, serta menguatkan pembiayaan antar-BUMN.
Tak sampai dua bulan, kata Fajar, konsep super-induk penaung sejumlah induk perusahaan negara itu bisa dibilang sudah rampung. “Sebelum surat keputusan turun, kami sudah rutin bertemu melakukan pembahasan informal,” ucap Ari di kampus Universitas Indonesia di Salemba, Jakarta, Selasa, 16 Juli lalu.
Rini merekrut sejumlah akademikus dan praktisi untuk merampungkan konsep superholding. Dari Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, misalnya, ada guru besar hukum bisnis Nindyo Pramono, pakar hukum Zainal Arifin Mochtar, pakar ekonomi dan bisnis Rimawan Pradiptyo, serta Ketua Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan Revrisond Baswir. Selain Ari, dari Universitas Indonesia ada guru besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Rhenald Kasali.
Presiden Joko Widodo sempat memamerkan rencana pembentukan super-holding dalam debat pemilihan presiden putaran kelima, 13 April lalu. Ia memaparkan hal itu saat menjawab pertanyaan calon wakil presiden Sandiaga Salahuddin Uno mengenai strategi BUMN sebagai “the world trust company”. “Akan ada superholding di atas induk-induk perusahaan,” tutur Jokowi. Menurut Rhenald, postur lembaga superholding yang kemudian diusulkan itu dibuat lebih modern.
Struktur lembaga baru ini memiliki dewan komisaris yang maksimal terdiri atas sembilan orang. Direksi akan diisi kalangan profesional yang memiliki pengalaman internasional. Direktur utama mempunyai kedudukan yang sama atau setara dengan anggota kabinet. Di atas komisaris dan direktur, ada dewan pengarah yang dipimpin langsung oleh Presiden Jokowi.
Rencana Kementerian Badan Usaha Milik Negara mempercepat pembentukan superholding muncul di tengah kocok ulang calon Menteri BUMN baru. Sebagai kementerian strategis yang mengelola aset Rp 8.207 triliun, pucuk pimpinannya paling banyak diminati. Kursi Menteri BUMN selalu menjadi rebutan, seperti dalam penyusunan Kabinet Kerja jilid pertama. Sejumlah petinggi partai koalisi penyokong Joko Widodo mengatakan tengah bersiap menyorongkan jagoannya untuk mengganti Menteri Rini Soemarno.
Kursi menteri perusahaan pelat merah ini kembali menghangat setelah Rini menjadi sorotan. Dalam rapat kabinet, Senin, 8 Juli lalu, Jokowi kembali mengingatkan Rini, juga Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Ignasius Jonan, soal tingginya impor di sektor minyak dan gas. Ia pun menegur mereka agar lebih berhati-hati dalam hal impor di sektor migas.
Di tengah kasak-kusuk calon menteri pengganti Rini, Kementerian BUMN menargetkan pembentukan superholding selesai dalam dua bulan ini. Sebab, bila tidak, pembahasan akan dilakukan dengan anggota Dewan Perwakilan Rakyat baru hasil Pemilihan Umum 2019. Padahal Kementerian BUMN dan Komisi VI DPR periode saat ini, yang akan berakhir masa jabatannya pada September mendatang, telah beberapa kali merapatkannya. Komisi VI antara lain mengurusi BUMN.
Bila pembahasan superholding mulus, tidak ada lagi Kementerian BUMN dalam kabinet yang akan datang. “Ibu Rini ingin setelah ada superholding tidak ada lagi Kementerian BUMN,” kata Fajar Harry Sampurno saat ditemui di Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta, Jumat pagi, 19 Juli lalu. Fajar menambahkan, Presiden sudah memberikan lampu hijau karena hal itu telah dibahas pula dalam debat pemilihan presiden lalu.
Meski Kementerian BUMN kelak dihapus, ada penunjukan sembilan komisaris di superholding. “Barangkali skenario menempatkan orang-orang Rini bisa muncul di situ sekaligus untuk menambah kapasitas pembiayaan BUMN,” ucap ekonom Institute for Development of Economics and Finance, Bhima Yudhistira Adhinegara.
Pemerintah akan mengaitkan pembentukan superholding dengan pembahasan revisi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara, yang telah masuk Program Legislasi Nasional 2019. Fajar menyebutkan aturan mengenai superholding akan tertuang dalam revisi Undang-Undang BUMN, yang merupakan inisiatif DPR. Saat ini draf revisi telah rampung dan ia optimistis penyelesaian bisa lebih cepat.
Anggota Komisi VI DPR dari Fraksi Partai Golkar, Dito Ganinduto, membenarkan kabar bahwa revisi Undang-Undang BUMN adalah inisiatif DPR dan telah masuk Program Legislasi Nasional 2019. Presiden Jokowi pun telah melayangkan surat kepada pimpinan DPR untuk memulai pembahasan.
Dito, yang menjadi ketua panitia kerja pembahasan revisi Undang-Undang BUMN, semula berencana menjadwalkan rapat. Untuk tahap awal, parlemen akan mengundang para pakar. Tapi rencana itu batal. “Waktunya sudah mepet,” ujarnya, Jumat, 19 Juli lalu. Bila ingin mempercepat revisi, pemerintah semestinya segera mengusulkan daftar inventarisasi masalah.
Fajar mengatakan daftar ini sedang disusun. Tim yang menggarapnya sejak awal Juli lalu akan segera menyampaikannya ke Senayan. Berbeda dengan revisi undang-undang lain yang berangkat dari usul pemerintah, dalam draf aturan ini pemerintah akan menyampaikan poin-poin penting saja. Ia optimistis pembahasan tak akan memakan waktu lama. “Kami tinggal menyampaikan hal-hal yang tidak cocok untuk dibahas.”
Alasan Kementerian BUMN mempercepat pembentukan superholding, Fajar menerangkan, semata-mata untuk berkompetisi di tingkat global. Selama ini Kementerian BUMN tidak bisa mengkonsolidasikan perusahaan-perusahaan pelat merah. “Kami lembaga pemerintah, sementara ini urusan bisnis.”
Dengan total aset perusahaan negara Rp 8.207 triliun, angka sebesar itu tidak ada artinya secara bisnis. Dengan bergabung membentuk superholding, induk perusahaan akan menjadi lebih gemuk. “Pembentukan superholding menguatkan neraca keuangan sehingga bisa melakukan investasi sesuai dengan kebutuhan negara,” ujar Rini Soemarno, Jumat, 19 Juli lalu.
Menurut Fajar, pembentukan super-holding tak perlu menunggu semua induk sektoral berdiri. Keduanya bisa berjalan bersamaan. Saat ini enam induk sudah terbentuk, antara lain di sektor pertambangan, minyak dan gas, pupuk, serta semen.
Ide membentuk superholding serupa sebenarnya pernah muncul pada era pemerintah Presiden Soeharto. Saat itu Menteri Pendayagunaan Badan Usaha Milik Negara Tanri Abeng (1998-1999) membuat cetak biru BUMN. Pemerintah menargetkan pada 2010 tidak ada lagi Kementerian BUMN, yang akan menjelma menjadi perusahaan induk nasional atau sekarang yang disebut sebagai superholding BUMN.
Tapi Ari Kuncoro melihat ada perbedaan. “Dulu tak ada fungsi untuk bahan baku, lebih ke soal modal,” ia menjelaskan. Dalam konsep sekarang, bisnis tidak dilihat sebagai suatu kegiatan, tapi rantai pasok-an. Misalnya PT Industri Kereta Api tidak hanya menjual produk, tapi juga menawarkan jasa bengkel. “Siapa yang bisa menegosiasikan dengan pasar, ya superholding,” ucapnya.
Presiden Joko Widodo dan Menteri BUMN Rini Soemarno saat rapat terbatas di Kantor Presiden, Jakarta, Maret 2017. ANTARA/Rosa Panggabean
Rhenald Kasali menambahkan, pada tahap berikutnya, BUMN akan bergeser dari keunggulan komparatif ke keunggulan kompetitif. Karena itu, BUMN harus menjadi motor penggerak ekonomi dengan modal kuat di berbagai sektor. Itu sebabnya, dia melanjutkan, konsepnya bukan induk perusahaan sektoral, melainkan satu induk terintegrasi yang solid.
Namun Bhima Yudhistira Adhinegara mewanti-wanti, konsep induk perusahaan tak selamanya baik. “Kita cek saja induk perusahaan yang ada sekarang, apakah keuntungannya naik? Yang terjadi justru ada anak usaha menutup kerugian induk usaha,” tuturnya.
Belum juga rencana pembentukan superholding dibahas di parlemen, penolak-an sudah datang dari partai utama pengusung pemerintah, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto khawatir badan itu kelak justru rentan terhadap krisis ketika dilakukan rekayasa keuangan. “Tahu-tahu kekayaan negara bisa lenyap,” katanya.
Itu sebabnya, Hasto menambahkan, PDIP tidak menyetujui pembentukan superholding yang akan menghilangkan peran Kementerian Badan Usaha Milik Negara. “Posisi Menteri BUMN tetap diperlukan karena dia menjabarkan politik ekonomi negara,” ujarnya. Partainya pun telah memberikan masukan kepada Presiden Joko Widodo mengenai rencana pendirian lembaga baru ini.
Hal lain yang membuatnya risau adalah bentuk superholding yang memudahkan pengalihan saham tanpa pengawasan, sementara perusahaan pelat merah memiliki peran beragam. “Ada yang menjadi penguasa pasar dan ada yang menjalankan fungsi pelayanan publik.”
Anggota Komisi VI Dewan Perwakilan Rakyat dari Fraksi Hanura, Inas Nasrullah, menyebutkan konsep superholding harus mendapat persetujuan DPR. Apalagi satu kementerian akan dilikuidasi. Ia pesimistis hal itu bisa selesai pada akhir masa kerja anggota Dewan periode 2014-2019.
Masalahnya, para legislator memasuki masa reses pada 25 Juli-16 Agustus, dilanjutkan dengan kunjungan ke luar negeri pada 18 Agustus. “Waktu sudah habis itu. Target September tidak akan terkejar,” ucap Inas. Bisa-bisa, dia menambahkan, saat pemerintah menyampaikan daftar inventarisasi masalah, anggota Komisi VI yang sekarang sudah bubar, berganti dengan anggota parlemen periode baru.
Apalagi banyak masalah perlu dibahas. Misalnya sinkronisasi dengan Rancangan Undang-Undang Minyak dan Gas. Menurut Inas, pembahasan di Badan Legislasi DPR sempat “tersandera” karena RUU Minyak dan Gas mengusulkan keberadaan badan usaha khusus. Adapun dalam pembahasan revisi Undang-Undang BUMN, masalah badan usaha khusus ini dimentahkan lagi. “Apa yang ada di Rancangan Undang-Undang Migas dan BUMN seharusnya selaras.”
Adapun Dito Ganinduto menyarankan pemerintah menyelesaikan pembentukan induk sektoral dulu, yang sudah lama direncanakan. Setelah itu, baru semua induk disatukan menjadi superholding. Di mata anggota Fraksi Partai Golkar ini, mempercepat pembentukan lembaga baru tak elok mengingat kabinet segera berakhir. Ia menganjurkan pembahasan superholding menunggu kabinet baru terbentuk.
RETNO SULISTYOWATI, PUTRI ADITYOWATI, KHAIRUL ANAM
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo