Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Pemberhentian hakim Mahkamah Konstitusi Aswanto oleh Dewan Perwakilan Rakyat RI menuai kritik keras. Pakar hukum tata negara, Bivitri Susanti, menilai putusan yang diambil DPR untuk memberhentikan hakim di tengah masa jabatannya tidak termuat dalam Undang-Undang MK. Dia menilai hal itu dapat membahayakan independensi MK.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Independensi peradilan itu prinsip penting secara global, hakim tidak boleh 'dievaluasi' di tengah masa jabatannya secara politik oleh lembaga politik berdasarkan putusannya", kata pengajar Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bivitri menegaskan evaluasi terhadap Hakim Mahkamah Konstitusi yang dilakukan DPR bukan berarti bisa seenaknya melakukan pemecatan di tengah masa jabatan. Ia juga menjelaskan, surat yang diterima DPR dari MK sebenarnya hanya untuk mengkonfirmasi soal Putusan MK dan bukan meminta pergantian hakim.
Soal alasan pencopotan Aswanto karena sering menganulir produk hukum DPR, Bivitri menilai itu keliru dan sangat politis. Dia menyatakan alasan tersebut seakan-akan DPR ingin menghukum hakim yang membatalkan produk undang-undang buatan mereka. "Seorang hakim tidak boleh ditarik karena putusannya menyebalkan bagi politisi", kata dia.
Senada dengan Bivitri, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshiddiqie mengatakan DPR tidak punya wewenang untuk mencopot hakim konstitusi. Ia menilai pencopotan Hakim Konstitusi Aswanto oleh DPR melanggar Undang-Undang tentang MK.
Jimly mengatakan Pasal 23 Ayat 4 UU MK menyatakan bahwa pemberhentian hakim hanya bisa dilakukan dengan Keputusan Presiden atas permintaan dari Ketua MK. Lembaga yang mengusulkan, yaitu DPR, Presiden, dan Mahkamah Agung tidak berhak mengusulkan pemberhentian hakim konstitusi.
Menurut Jimly, UU MK juga mengatur sebab-sebab seorang hakim konstitusi bisa diberhentikan. “Jadi kalau tidak ada surat dari MK tidak bisa diberhentikan,” kata dia. Jimly beranggapan alasan DPR memberhentikan Aswanto karena sering menganulir peraturan yang dibuat oleh DPR adalah alasan yang tidak ada dalam UU.
Adapun Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Gerindra, Habiburokhman berkukuh bahwa pemberhentian Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Aswanto oleh DPR RI melaui rapat paripurna sudah sesuai konstitusi. Ia mengatakan dalam Pasal 24C ayat (3) UUD 1945 disebutkan bahwa DPR dapat mengajukan Hakim Konstitusi.
Menurut dia, dengan adanya hak mengajukan, artinya DPR juga mendapat wewenangnya untuk memberhentikan Hakim Konstitusi yang dulu mereka ajukan. Hal ini Habiburokhman kemukakan karena banyaknya protes terhadap keputusan DPR memberhentikan Aswanto.,
"Yang substansi adalah DPR, bukan hanya Komisi III, melaksanakan hak konstitusionalnya," ujar Habiburokhman saat dihubungi Tempo, Ahad, 9 Oktober 2022.
Habiburokhman menerangkan, keputusan DPR tersebut merupakan respon terhadap tindakan hukum yang dilakukan oleh MK dengan mengirimkan Surat Kepada DPR RI Nomor 3010/KP.10/07/2022. Surat itu berisi Pemberitahuan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 96/PUU-XVIII/2020 Tentang Uji Materi Terhadap UU MK Nomor 7 Tahun 2020.
Ia mengatakan MK menginginkan penegasan agar ketentuan Pasal 87b dalam UU tersebut tidak terkesan dibuat untuk memberikan keistimewaan terselubung bagi orang-orang tertentu yang saat ini sedang menjabat sebagai Hakim Konstitusi. Pasal 87b mengatur batas usia masa tugas Hakim MK yang bisa sampai 70 tahun, selama keseluruhan masa tugasnya tidak melebihi 15 tahun.
Adapun Aswanto merupakan salah satu Hakim Konstitusi termuda yang masih berusia 58 tahun. Sementara hakim lainnya seperti Ketua MK Anwar Usman berusia 66 tahun, anggota Hakim MK Wahidudin Adams 68 tahun, hingga Manahan MP Sitompul 69 tahun. Dengan adanya Pasal 87b, Habiburokhman mengatakan Aswanto dapat menjadi satu Hakim MK dengan durasi terlama, yakni sampai tahun 2029.
Politikus Partai Gerindra itu berpendapat dengan adanya pemberhentian tersebut, menjadi jelas bahwa Aswanto tidak mendapat "keistimewaan terselubung" dari ketentuan Pasal 87b.
"Dapat dipahami bahwa inti tindakan hukum tersebut adalah MK meminta penegasan kepada DPR selaku pembuat UU MK Nomor 7 Tahun 2020 apakah masih berkenan melanjutkan masa jabatan 3 hakim konstitusi yang diajukan oleh DPR," kata Habiburokhman.
Alasan politis
Ketua Komisi III DPR RI Bambang Wuryanto atau Bambang Pacul mengungkapkan alasan yang lebih politis tentang pemberhentian Aswanto. Ia mengakui kebijakan pemberhentian itu diambil karena Aswanto kerap menganulir produk hukum DPR.
Padahal menurut politikus PDIP ini, Aswanto merupakan wakil DPR di MK. Sebab, Aswanto bisa duduk di jabatannya sebagai Wakil Ketua MK karena diajukan oleh DPR.
"Tentu mengecewakan dong. Ya gimana kalau produk-produk DPR dianulir sendiri oleh dia, dia wakilnya dari DPR. Dasarnya Anda tidak komitmen, gitu loh. Nggak komit dengan kita, ya mohon maaf lah ketika kita punya hak, dipakai lah," ujar Bambang.
Peneliti dari Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Fadli Ramadhanil, bahkan menyebut DPR RI telah melakukan pelanggaran konstitusi. Menurut Fadli, DPR salah menafsirkan aturan soal hak pemberhentian Hakim Konstitusi seperti yang dipaparkan oleh Habiburokhman. Fadli menyebut DPR tak berwenang memberhentikan Hakim Konstitusi tanpa penyebab yang sudah diatur di dalam Undang-Undang.
"Menurut saya DPR mesti menarik keputusannya memberhentikan Aswanto, karena terjadi kesalahan dan kekeliruan secara UU dan Konstitusi," ujar Fadli.
Fadli mengatakan pihaknya saat ini sedang berusaha melaporkan anggota dewan yang mengeluarkan pemberhentian Aswanto itu ke Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD). Pelaporan ini dilakukan oleh LSM Indonesia Parliamentary Center (IPC) yang tergabung dengan Perludem dalam koalisi Masyarakat Madani.
Mengenai sikap pemerintah soal pencopotan Aswanto, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD menyatakan pemerintah sudah punya pandangan hukum tersendiri terkait pencopotan Aswanto.
"(Soal) Hakim Aswanto itu, iya kita sudah punya pandangan hukum, tapi itu nanti sajalah," ujar Mahfud singkat saat dijumpai di Kompleks Istana Kepresidenan, Selasa, 4 Oktober 2022.
Mahfud menyatakan Presiden Jokowi tidak bisa menolak pencopotan Hakim Mahkamah Konstitusi Aswanto oleh DPR. Dia juga menyatakan bahwa presiden tak bisa ikut campur soal prosedur yang dilakukan oleh para wakil rakyat.
Mahfud sebelumnya telah menyatakan bahwa presiden akan menindaklanjuti surat yang dikirimkan oleh DPR soal pencopotan hakim konstitusi Aswanto itu. Menurut Mahfud, dalam hukum tata negara, pemerintah bukan melakukan pengangkatan dalam keputusan jabatan publik yang ditentukan dan ditetapkan DPR.
"Tetapi meresmikan istilah hukumnya, artinya presiden tak boleh mempersoalkan alasannya gitu. Tapi kita lihatlah perkembangannya, presiden ndak bisa," kata Mahfud.
M JULNIS FIRMANSYAH I IMA DINI I FAJAR PEBRIANTO
Baca: DPR Tak Akan Anulir Pencopotan Hakim MK Aswanto