Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Yuswohady *)
*) Chief Executive MarkPlus Institute of Marketing
MENARIK sekali mengamati dan mencari tahu mengapa Coca-Cola, Levi’s, Dupont, IBM, Disney, atau GE mampu bertahan demikian lama, puluhan bahkan ratusan tahun. Levi’s tahun ini berusia 156 tahun, Coca-Cola 123 tahun, Tide 63 tahun, atau boneka Barbie 50 tahun. Dengan bangga saya mengatakan, kita juga punya HM Sampoerna dengan Dji Sam Soe-nya yang tahun ini berusia 96 tahun. Di usia seperti itu mestinya berbagai merek tersebut sudah renta, lamban, dan penyakitan. Namun, seperti kita saksikan hari ini, mereka justru makin kukuh, dan tak ada tanda-tanda kerentaan sedikit pun.
Bagaimana mereka bisa langgeng demikian lama? Lima tahun lalu saya melakukan riset dua tahun untuk penulisan buku perjalanan bisnis HM Sampoerna yang waktu itu memasuki 90 tahun. Seiring dengan pelaksanaan riset itu, saya melakukan studi literatur untuk mencari tahu apa resep ”awet muda” dari merek-merek tersebut.
Setidaknya ada empat studi terbaik yang tertuang dalam empat buku yang sudah menjadi klasik dalam studi manajemen/marketing. Keempat buku tersebut adalah Built to Last (1994), Living Company (1997), Good to Great (2001), dan What Really Works (2003). Dari empat studi itu terungkap rahasia sukses perusahaan-perusahaan tersebut dalam mencapai kinerja yang extraordinary secara konsisten dalam kurun waktu panjang.
Collins-Porras melalui dua bukunya, Built to Last dan Good to Great, berkesimpulan bahwa kelanggengan sebuah perusahaan atau merek ditentukan oleh core values dan core purpose yang dipegang teguh dan diyakini oleh perusahaan. Nilai-nilai dasar (values) sebagai bagian dari budaya perusahaan (corporate culture) yang dipegang teguh dan diyakini oleh seluruh jajaran organisasi merupakan resep sukses perusahaan dalam mengarungi ganasnya perubahan lingkungan bisnis.
Perusahaan yang berumur panjang memang membutuhkan strategi yang mumpuni, kepemimpinan yang tangguh, sistem yang rapi, serta orang-orang yang terampil menjalankan bisnis. Namun semua itu harus dibangun di atas landasan nilai-nilai budaya perusahaan yang kuat, karena inilah yang merekatkan semua elemen tersebut dalam bingkai yang sama. Nilai yang kuat akan menjadi fondasi yang kukuh bagi kelanggengan perusahaan. Mereka akhirnya sampai pada kesimpulan bahwa ”lasting company is values-based company”.
Arie de Geus, pakar organizational behavior, dalam The Living Company melihat fenomena perusahaan panjang umur dari perspektif lain. Melalui studinya, De Geus berargumen bahwa kunci perusahaan bertahan dalam jangka panjang terletak pada kemampuan perusahaan tersebut dalam belajar (organizational learning) untuk mengenali, memahami, dan merespons setiap perubahan lingkungan bisnis yang dialaminya.
Ia berpendapat bahwa suatu perusahaan haruslah dipandang sebagai organisme hidup (living being) yang adaptif, bukannya sebuah mesin yang bebal dalam merespons perubahan. Sebagai living being, perusahaan akan memiliki kapasitas untuk belajar dan beradaptasi dengan lingkungan agar bisa bertahan. Kemampuan untuk belajar dan menyesuaikan diri inilah yang menjadi faktor kunci kelanggengan sebuah perusahaan.
Ada empat kriteria living company yang digagas De Geus, yaitu pertama sensitif dan adaptif terhadap setiap perubahan lingkungan bisnisnya. Kedua, mereka punya rasa kebersamaan dan rasa memiliki terhadap identitas perusahaan. Ketiga, mereka punya toleransi dalam menjalankan kegiatan mereka sehingga terbuka untuk setiap peluang. Dan keempat, mereka umumnya adalah perusahaan yang sangat konservatif dalam mengelola keuangan.
Rahasia sukses merek yang bertahan lama juga diungkap William Joyce, Nitin Nohria, dan Bruce Roberson dalam buku What Really Works. Mereka berpendapat, kunci sukses perusahaan tersebut bergantung pada winning characteristics yang dimiliki perusahaan tersebut. Winning characteristics dibagi menjadi dua kelompok besar. Pertama adalah karakteristik yang mutlak harus dimiliki perusahaan, yang meliputi empat aspek, yaitu strategy, execution, culture, dan organization. Karakteristik sekunder adalah talent of employees, leadership and governance, innovation, dan mergers & partnership.
Merangkum pendapat empat studi tersebut, sebenarnya hanya ada dua aspek yang harus dibangun oleh sebuah perusahaan atau merek untuk bisa bertahan dalam jangka panjang. Pertama adalah hard aspect dari organisasi, yang mencakup elemen seperti visi, strategi, organisasi, atau eksekusi. Dan kedua adalah soft aspect-nya, yaitu kepemimpinan dan budaya perusahaan yang berkembang di dalam organisasi, yang membentuk identitas sebuah perusahaan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo