Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Berita Tempo Plus

<font color=#999900>Bukan Asli</font> Indonesia

28 September 2009 | 00.00 WIB

<font color=#999900>Bukan Asli</font> Indonesia
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

[1936]
Blue Band

BLUE Band pertama kali diproduksi di Batavia pada 1936. Blue Band juga menjadi produk makanan pertama yang dihasilkan Van den Bergh NV, milik Unilever, gabungan perusahaan margarin asal Belanda, Margarine Unie, dan pabrik sabun Lever Brothers asal Inggris. ”Sejak pertama kali diluncurkan, Blue Band sudah menjadi merek kuat yang memimpin pasar dengan kompetitor utama mentega dan margarin impor, seperti Palmboom,” kata Agus Nugraha, Brand Manager Blue Band PT Unilever Indonesia.

Aslinya, Blue Band pertama kali dibuat di Belanda untuk diekspor ke Inggris pada awal abad ke-20. Pada 1920, produk ini kemudian dipasarkan di negara asalnya dan langsung menjadi produk utama Belanda. Blue Band saat itu juga mulai masuk ke Indonesia melalui perusahaan Van den Bergh, Jurgen and Brothers.

Sebagai salah satu merek tertua di Unilever, Blue Band sempat pula mengalami masa sulit di era 1957-1967, ketika terjadi ketidakstabilan politik dan ekonomi di Indonesia. Kondisi serupa terulang pada 1997-1998 saat krisis ekonomi menimpa Indonesia. ”Daya beli masyarakat menurun, berdampak pada penjualan Blue Band,” Agus menjelaskan. Nah, ketika krisis global kembali menerjang pada 2008, Blue Band mencoba menyiasatinya dengan memperkenalkan kemasan sekali pakai 17 gram yang dibanderol Rp 700 agar terjangkau semua lapisan masyarakat.

Strategi lainnya yang sudah diterapkan Blue Band sejak 1978 adalah lewat kampanye di media massa yang mengedepankan kesehatan dan gizi. Kampanye pertama di televisi pada 1978, misalnya, berbunyi, ”Buatlah hari mereka menyehatkan.” Nah, untuk tahun ini, Blue Band meluncurkan kampanye ”Bekal tumbuh besar Blue Band” yang berisi ajakan kepada para ibu untuk menyediakan bekal makanan bagi anak ketimbang uang jajan.

[1931]
Bata

BERJAM-JAM sepatu berbahan kanvas itu mengendap di ember penuh air. Basah kuyup, tapi tetap baik kondisinya. Wilfried Tampubolon, pemilik sepatu itu, cuma bisa memandanginya dengan kecewa. Pupus harapannya untuk mendapat sepatu baru. ”Dua tahun sepatu saya tidak diganti, makanya sepatu itu sengaja saya rendam,” kata Wilfried tertawa mengenang kenakalannya semasa kanak-kanak.

Ibunya hanya mau membelikan sepatu baru kalau sepatu lama sudah rusak. Nyatanya sepatu Bata miliknya awet dipakai bertahun-tahun. ”Keunggulan inilah yang membuat Bata bertahan sampai sekarang,” kata Wilfried, kini Operation Manager PT Sepatu Bata Tbk., kepada Tempo di kantornya.

Bata bisa dibilang sebagai merek sepatu paling populer di Indonesia. Begitu kuatnya merek itu melekat di benak orang, ada yang menganggapnya asli Indonesia. Apalagi pabrik pertama sepatu ini berlokasi di Kalibata, Jakarta Selatan. Banyak yang mengira-ngira, nama Bata diambil dari nama kawasan itu. Padahal itu nama pendirinya, Tomas Bata, pengusaha asal Cekoslovakia. Nama Kalibata sendiri punya sejarah lain. Konon nama itu muncul karena sungai di kawasan itu kerap dilalui rakit pembawa batu bata dari Bogor menuju Jakarta.

Sebetulnya sepatu Bata sudah wira-wiri di Tanah Air sejak 1931 lewat jalur impor, didatangkan dari Singapura (dulu Malaya). Pengimpornya perusahaan penyalur sepatu NV Nederlandsch-Indische di kawasan pergudangan Tanjung Priok. Enam tahun kemudian, Tomas Bata, sang pemilik, membangun pabrik raksasa di tengah-tengah perkebunan karet di Kalibata. ”Banyak warga sini yang turun-temurun bekerja di Bata,” kata Ikhsan, warga Rawajati, perkampungan tak jauh dari pabrik sepatu.

Dari sinilah bisnis sepatu Bata menggurita ke seluruh pelosok Tanah Air. ”Waktu itu sepatu kulit dan karet jadi andalan,” kata Wilfried. Hampir 90 persen bahan baku dipasok dari dalam negeri. Bata menikmati masa jaya hingga era 1980. Hampir semua orang yang besar di era itu pernah menjajal sepatu ini. Pada 24 Maret 1984, perusahaan associate dari Bata Shoe Organization yang berpusat di Lusanne, Swiss, itu tercatat di Bursa Efek Jakarta sebagai PT Sepatu Bata Tbk.

Di tengah kepungan berbagai merek sepatu yang membanjiri Tanah Air, Bata yang kini dipegang oleh generasi ketiga, Thomas G. Bata, berusaha bertahan dengan mengedepankan kualitas yang sudah digaungkan secara turun-temurun dan harga terjangkau. Dua strategi ini membuat perusahaan modal asing itu tak jatuh diguncang badai krisis ekonomi yang menghajar Indonesia pada 1997-1998.

Pada 2008 mereka memindahkan pabrik dan pusat distribusi dari Kalibata ke Purwakarta.

Inovasi terus dikembangkan, antara lain dengan mengeluarkan merek alternatif seperti North Star, Power, Bubblegummers, dan Marie-Claire. Distribusi pemasaran terus digenjot, dari mal besar sampai toko-toko Bata di pinggir jalan. Hasilnya cukup memuaskan. Pada 2008, perusahaan yang menyasar keluarga kelas menengah itu mampu membukukan hasil penjualan bersih Rp 539,8 miliar atau meningkat 9,3 persen dari tahun sebelumnya.

[1927]
Coca-Cola

COCA-COLA masuk ke Indonesia pada 1927. Minuman berwarna cokelat bersoda itu dibawa orang Belanda yang bermukim di Batavia. Aslinya, minuman ini diciptakan John Styth Pemberton, ahli farmasi dari Atlanta, Georgia, Amerika Serikat, pada 8 Mei 1886. Dia mencampur sirop karamel dengan air berkarbonasi.

Minuman itu terdaftar sebagai merek dagang pada 1887, dengan nama Coca-Cola. Logonya tulisan ”Coca-Cola” berwarna merah dengan huruf-huruf miring mengalir. Pada 1892, Pemberton menjual hak cipta Coca-Cola ke Asa G. Chandler yang kemudian mendirikan perusahaan Coca-Cola.

Di Indonesia, perusahaan pembotolan Coca-Cola pertama berdiri pada 1932 di kawasan Pasar Baru, Jakarta, milik orang Belanda. ”Sekarang jejaknya sudah hilang sama sekali,” kata Arif Mujahidin, Media Relations Manager Coca-Cola Indonesia.

Dari Pasar Baru, pabrik Coca-Cola pindah ke kawasan Cempaka Putih. Kali ini dipegang perusahaan pembotolan lokal, Djaja Beverages Bottling Company. Tapi Djaya tidak bermain sendiri. Ada tiga perusahaan lain yang kecipratan legitnya bisnis minuman ringan itu di Indonesia: Tirtalina Bottling, Pan Java, dan Bangun Wenang Beverages.

”Masing-masing menguasai wilayah berbeda,” kata Arif. Djaya untuk pasar Jakarta, Tirtalina di Jawa Barat dan Sumatera, Bangun Wenang di Manado, dan Pan Java memfokuskan bisnisnya di Jawa Tengah. Dari tiga perusahaan itu, hanya Bangun Wenang yang masih bertahan. Tiga perusahaan lain diambil alih Coca-Cola Bottling Indonesia pada 1996. Pabrik di Cempaka Putih lantas dipindahkan ke Cibitung.

Penjualan Coca-Cola di Indonesia sempat vakum saat penjajahan Jepang dan ketika kampanye ganyang imperialis memanas di Indonesia pada 1964-1965. Tapi setelah itu penjualan kembali lancar. Bahkan kemudian masuk dua ”saudaranya”, Fanta (1973) dan Sprite (1975).

Coca-Cola memelopori penjualan dengan kotak pendingin. Hingga kini mereka terus menambah jumlah lemari pendingin. Sekarang tak kurang dari sepuluh pabrik pembotolan di Indonesia memproduksi Coca-Cola.

Meski brand Coca-Cola sudah begitu akrab dengan masyarakat Indonesia, angka penjualan minuman ini masih rendah, cuma 15 botol per kapita per tahun. Kalah oleh penjualan di Palestina, misalnya, yang mencapai 40 botol per kapita per tahun. Padahal, di jajaran minuman karbonasi, Coca-Cola nyaris tanpa pesaing. Pepsi Cola, misalnya, hanya mampu menembus pasar terbatas.

Sampai sekarang Coca-Cola masih dianggap sebagai minuman mewah yang disajikan di saat pesta atau hari raya. ”Itulah dilema sebuah merek global, padahal kami ingin memposisikan Coca-Cola sebagai minuman sehari-hari,” tutur Arif. Biarpun begitu, pihaknya tetap optimistis angka itu perlahan terus terdongkrak lewat strategi bisnis yang jitu: gampang didapat, tampilan menarik, dan harga terjangkau.

[1933]
Lifebuoy dan Lux

AULA pendapa Kabupaten Gunung Kidul, Yogyakarta, Sabtu pagi, Awal Agustus lalu, sesak oleh ratusan anak-anak. Mereka datang dari berbagai sekolah dasar di pelosok kabupaten untuk mendeklarasikan petisi ”Keluarga Sehat untuk Indonesia Sehat”. Ini kegiatan yang digalang produsen sabun Lifebuoy untuk membudayakan pola hidup bersih dan sehat. Salah satunya dengan membiasakan mencuci tangan dengan sabun. Kegiatannya tak melulu ceramah, tapi dikemas dalam aneka suguhan kesenian.

Membuat kegiatan yang melibatkan konsumen, merupakan strategi produsen Lifebuoy untuk menjaga brand appeal. Di samping iklan, tentu saja. Maklum Lifebuoy tak ingin ditinggal penggemarnya. ”Kami juga menghadirkan varian sesuai dengan kebutuhan konsumen,” ujar Erwin Cahaya Adi, Senior Brand Manager Lifebuoy.

Langkah Lifebuoy bukan tanpa hasil. Yongky Suryo Susilo, Direktur Retail Service AC Nielsen, mengatakan Lifebuoy berhasil menciptakan tren baru bahwa menjadi kotor itu baik untuk anak-anak. ”Market share sabun keluaran Unilever ini meningkat tajam sejak Lifebuoy mengubah brand health and medicated soap-nya menjadi family soap,” kata Yongky.

Dari segi pengalaman, Lifebuoy memang cukup kenyang asam garam. Produk asal Inggris ini mulai dibuat di Indonesia pada 1933 oleh pabrik Lever’s Zeepfabrieken NV—milik Unilever—di Bacherachsgracht, yang kini dikenal dengan Jalan Tubagus Angke. Selain Lifebuoy, pabrik itu menghasilkan sabun Lux. Sementara Lifebuoy memposisikan diri sebagai sabun kesehatan, Lux menyasar kaum hawa yang peduli kecantikan.

Promosi dan iklan gencar jadi jurus jitu yang membuat dua produk ini bertahan sampai sekarang. Lux, misalnya, menggaet sejumlah artis ternama sebagai bintang iklan. Awalnya, dipenuhi artis Hollywood, seperti Michelle Pfeiffer. Belakangan Lux cukup percaya diri menggunakan artis dalam negeri. Sederet artis ngetop Tanah Air pernah jadi ikon sabun kecantikan ini. Sebut saja Ida Iasha, Dian Sastro, dan Luna Maya. ”Bintang lokal lebih dekat dengan konsumen, sehingga memberikan inspirasi yang jauh lebih realistis,” kata Aurellio Y.F. Kaunang, Public Relations Unilever Indonesia.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus