Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Belasan karung lusuh berjajar di sebuah sudut di dalam gudang Perkumpulan Sosial Panca Budhi di Jalan Laksamana Martadinata 70, Malang, Jawa Timur. Karung berisi perangkat gamelan, seperti kendang, bonang, kenong, dan gong, itu tampak tak terawat. Sejak pertengahan 1990-an, seluruh perangkat gamelan itu disimpan dan tak pernah dipakai. "Bagaimana lagi, tak ada yang memainkan. Tak ada niat menjual, jadi disimpan saja," kata Chambali Suwito, 62 tahun, anggota staf Perkumpulan Panca Budhi.
Padahal perangkat gamelan itu sangat bersejarah, salah satu peninggalan kelompok wayang orang Ang Hien Hoo. Ini merupakan grup wayang orang legendaris di Malang yang lebih dari 90 persen awaknya etnis Tionghoa. Sepanjang 1958-1965, kelompok ini merajai pentas wayang orang di Malang dan sejumlah kota lain di Jawa Timur, bahkan hingga Bali.
Berdiri pada 1957, awalnya wayang orang ini merupakan kegiatan kesenian untuk mengisi waktu luang di organisasi sosial bidang kematian Ang Hien Hoo. Menurut Chambali, manakala tak ada persemayaman atau perawatan jenazah, mereka mengisi waktu dengan bermain gamelan. "Waktu itu alat-alat gamelannya masih menyewa," ujarnya. "Lama-lama mereka merasa kurang lengkap tanpa karawitan dan tarian. Hingga akhirnya dibentuklah kelompok wayang orang."
Kelompok wayang orang pimpinan Liem Ting Tjwan itu kemudian kerap berlatih di aula gedung perkumpulan sosial Ang Hien Hoo. Aula itu juga sebagai tempat latihan bulu tangkis, catur, dan olahraga lain. Chambali, yang saat itu masih kecil, ikut latihan bersama ayahnya, Soemito. Dia belajar memainkan bonang. "Biasanya kami berlatih pada malam hari di bawah bimbingan Pak Suprapto," kata pria keturunan Tionghoa ini.
Setelah rutin latihan, wayang orang Ang Hien Hoo menggelar pentas. Pada 1960-an, saat Gunung Kelud meletus, misalnya, mereka tampil di Gedung Kesenian Cendrawasih (sekarang Gedung Kesenian Gajayana), Malang. Gedung berkapasitas sekitar 500 penonton itu terisi penuh. "Seluruh hasil penjualan tiket diberikan kepada korban bencana alam," ujar Chambali. Pementasan Ang Hien Hoo, tutur Chambali, tidak untuk mencari keuntungan. "Semua dilakukan untuk kepentingan sosial."
Wayang orang Ang Hien Hoo saat itu beranggotakan 90 pemain. Selain kerap diundang pentas oleh organisasi kemasyarakatan, mereka menggelar pentas keliling di Jawa Timur, antara lain Blitar, Madiun, Nganjuk, dan Surabaya. Pada 1960-an, Ang Hien Hoo ikut festival wayang orang di Solo. Mereka tampil bersama 17 kelompok wayang orang dari Jakarta, Surabaya, Kediri, Solo, Purwokerto, dan Bandung. Ang Hien Hoo, yang mementaskan Karna Tanding, sebuah epos Mahabharata tentang peperangan antara Adipati Karna dan Pandawa, menyabet gelar juara kedua dalam festival tersebut.
Wayang orang Ang Hien Hoo pun kian terkenal. Pada 1961, mereka diundang ke Istana Negara, Jakarta, untuk tampil di hadapan Presiden Sukarno. Dari Malang, mereka naik bus. Setahun kemudian, tepatnya pada 17 Agustus, mereka kembali diundang oleh Bung Karno. Mereka tampil sekitar dua setengah jam. Sayang, Chambali lupa lakon yang dipentaskan di Istana Negara saat itu. Yang pasti, Bung Karno sangat jeli dan teliti melihat riasan setiap karakter. Bahkan presiden pertama RI itu mengoreksi dan memperbaiki riasan sebagian karakter wayang orang. "Presiden Sukarno berpesan, teruskan kesenian tradisi wayang orang, jangan sampai mati," ujarnya.
Mereka sempat berfoto bersama Bung Karno. Saat itu, menurut Chambali, Presiden Sukarno juga sangat terpesona oleh salah seorang primadona Ang Hien Hoo bernama Ie Kiok Hwa. Bung Karno kemudian menghadiahi sang primadona yang akrab disapa Nelly Ie itu sebuah nama: Ratna Djuwita. Nama pemberian Sukarno itu terus melekat hingga Ratna meninggal. Seperti tertulis dalam iklan kematian sebuah koran lokal Malang: "Ratna Djuwita meninggal 3 Juni 2013 pada usia 77 tahun".
Ratna merupakan anak pasangan seniman wayang orang asal Surabaya. Ratna dan orang tuanya bermain di grup wayang orang Sarutomo. Setelah pementasan wayang orang di Surabaya sepi, mereka pindah ke Malang dan bergabung dengan Ang Hien Hoo. "Tarian dan karakter Ratna sudah terbentuk," kata Chambali.
Menurut Chambali, meski Ang Hien Hoo sangat moncer pada zamannya, tak banyak dokumen, foto, dan informasi lain tentang kiprah kelompok wayang orang tersebut yang tersimpan di Perkumpulan Panca Budhi. Selain seperangkat gamelan, hanya ada sebuah buku peringatan satu abad perkumpulan sosial Panca Budhi d/h Ang Hien Hoo. Itu pun hanya berupa tulisan sambutan pengurus perkumpulan yang menerangkan sejarah perkumpulan sosial Panca Budhi, termasuk sekelumit tulisan tentang wayang orang Ang Hien Hoo. Tak ada tulisan yang khusus menerangkan wayang orang yang sempat menjadi primadona itu. "Mungkin dokumen dan foto hilang saat 1965," katanya.
Ketika gempa politik mengguncang pada 1965, Ang Hien Hoo dibubarkan karena dituding terlibat komunis. Kelompok wayang orang itu dipaksa mati ketika namanya terkenal dan menjadi idola. Peristiwa 1965 juga menjadikan Siauw Giok Bie, ketua perkumpulan sosial Ang Hien Hoo, sebagai tahanan politik. Adik tokoh Baperki, Siauw Giok Tjhan, ini dihukum tanpa peradilan. Siauw menjadi ketua perkumpulan itu pada 1958-1965. Siauw bersama istrinya kemudian menetap di Jerman hingga meninggal pada 1993.
Setelah terkubur gempa politik 1965, perkumpulan Ang Hien Hoo bersalin nama menjadi Panca Budhi. Namun mereka tak lagi berkesenian. Wayang orang dan kesenian lain yang biasa berlatih di aula gedung perkumpulan benar-benar vakum. Sebagian pemainnya menutup diri.
Waktu berlalu. Chambali bersama pengurus perkumpulan sempat membangkitkan kembali wayang orang Ang Hien Hoo. Gamelan dikeluarkan, seniman diajak berlatih. Mereka menggandeng anak muda untuk belajar menari, nembang, dan bermain gamelan. Namun Ang Hien Hoo, yang bersalin nama menjadi Panca Budhi, tak bertahan lama. Sekitar dua tahun, kelompok wayang orang itu gulung tikar.
Kini aula perkumpulan Panca Budhi tampak lengang, tak ada lagi aktivitas kesenian dan olahraga. Lantai dasar rumah persemayaman jenazah ini menjadi tempat menaruh peti jenazah. Sedangkan di lantai dua terdapat sejumlah altar untuk menyimpan abu jenazah. Di salah satu sudut ruangan di lantai dua inilah gamelan yang digunakan wayang orang Ang Hien Hoo itu bertumpuk.
Eko WIdianto (Malang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo