Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Sun Go Kong dan Biksu Petakilan

Kelompok teater asal Jepang, Ryuzanji Company, mengemas lakon cerita klasik Kera Sakti dalam pentas yang segar. Menonjolkan plot adegan maju-mundur.

21 Maret 2016 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sun Go Kong memukul kepala sang bos: Biksu Tong Sam Cong. Pletak..., tongkat, senjata andalan kera sakti, mendarat di kulit plontos si rahib. Monyet itu berusaha mengingatkan sang pandita karena hendak menjadi santapan siluman. Si biksu berteriak, "Aku bukan tuyul, aku manusia, tolong...."

Kocak. Energetik. Menghibur. Inilah kisah Sun Go Kong yang dipentas-kelilingkan Teater Ryuzanji dari Jepang di Teater Salihara, Jakarta Selatan, (11-12 Maret), kemudian Taman Budaya Yogyakarta (16 Maret). Sajian kelompok ini musikal. Para aktor bernyanyi, menari, mengingatkan kita pada pertunjukan-pertunjukan Teater Koma, tapi lebih eksperimental.

Kisah perjalanan Sun Go Kong adalah cerita populer Cina. Kisah ini disajikan oleh novel klasik Hsi Yu Chi (Catatan Perjalanan ke Barat) karya Wu Cheng'en yang terbit pertama kali pada 1592. Wu Cheng saat itu terinspirasi petualangan Hsuan Tsang, pandita Buddha pada zaman Dinasti Tang, yang melakukan perjalanan jauh mengumpulkan sutra (teks) suci Buddha. Ia lalu membuat kisah fiksi ratusan bab mengenai perjalanan sang rahib yang ditemani oleh Sun Go Kong.

Dalam versi teater, sutradara Tengi Amano memadatkannya menjadi 100 menit. "Perlu kerja berat untuk memendekkan cerita Kera Sakti yang panjang itu," kata Tengai. Ia hanya mengambil 20 persen novel Hsi Yu Chi. Adegan perjalanan Sun Go Kong disajikan dengan tata panggung sederhana tapi cukup memukau. Berkali-kali ada sorot gambar perbukitan terjal, laut, hujan badai, pegunungan, dan permukiman.

Novel Hsi Yu Chi sesungguhnya sarat dengan ajaran Buddha. Tapi Tengai keluar dari pakem itu. Ia melucuti unsur-unsur Buddha. Orang Jepang, kata Tengai, berjarak dengan agama. Di pentas itu, ia lebih menonjolkan sisi kemanusiaan yang dikemas dengan humor. Bahkan rahib Tong Sam Cong bukanlah sosok alim. Sam Cong (diperankan V. Ginta) digambarkan mirip tuyul yang melakukan perjalanan mencari naskah rahasia. Si biksu sering petakilan, telanjang, membuka jubah, dan hanya mengenakan cawat. Ia bahkan menunjukkan bokongnya yang terluka karena digigit siluman.

Perjalanan mendampingi si biksu sangat berat, penuh dengan gangguan banyak siluman anak buah siluman kerbau. Sun Go Kong dan dua temannya harus bertarung dengan istri siluman kerbau untuk berebut kipas sakti. Pertarungan dengan para siluman berlangsung berkali-kali karena siluman selalu bersalin rupa.

Di sinilah secara menarik bagaimana sutradara berkali-kali melakukan pengulangan adegan yang disengaja. Tiba-tiba, dalam sebuah adegan pertempuran, adegan diulang lagi tapi dengan siluman lain. Mereka sama-sama menyamar menjadi tokoh lain dalam tempo cepat. "Aaah, plotnya sama," ujar Sun Go Kong saat hendak berkelahi dengan siluman lain, yang disambut tawa penonton. Sutradara Tengai Amano berharap penonton tidak bosan dengan perulangan pada banyak adegan.

Pengulangan adegan itu juga digunakan kelompok teater ini untuk strategi plot kilas balik, maju-mundur. Sebuah adegan dipotong, diulang adegan lain yang sama dengan musik yang berbeda untuk menunjukkan peristiwa masa lalu. Plot bukanlah sebuah rentetan adegan yang kronologis mengalir. "Ini seperti film-film Quentin Tarantino," ujar Show Ryuzanji, sang pendiri teater, yang bertindak sebagai produser.

Untuk mendekatkan diri dengan penonton, mereka menyelipkan beberapa kalimat bahasa Indonesia prokem (pertunjukan secara keseluruhan menggunakan sorot teks terjemahan). Tatkala siluman dipukul mati, teman-teman Sun Go Kong berucap: Astagfirullah! Mereka juga melibatkan aktor tamu. Di Yogya, mereka menyelipkan Gunawan Maryanto dari Teater Garasi sebagai Hanoman dan Ida Ayu Wayan Prihandari sebagai Dewi Sinta. Ketika Hanoman menggoda Sun Go Kong dan kawan-kawan, tiba-tiba muncul seseorang dari area penonton menuju panggung. Perempuan itu kepada Hanoman mengatakan: "Kalian salah tempat, seharusnya pentas Ramayana di Prambanan!" Gerrr....

Penonton boleh kagum pada stamina para pemain. Ada 12 pemain yang tampil malam itu. Mereka rata-rata berusia 40 tahun. Unsur silat digunakan dalam banyak adegan pertempuran. Tengai menyiapkan pentas ini selama satu bulan.

Ryuzanji Company berdiri pada Juli 1984. Show Ryuzanji, merintis gerakan teater kecil Jepang selama lebih dari 30 tahun. Produksi panggungnya lebih dari 250 karya. Ia berkeliling dunia untuk mencari kebebasan dalam teater.

Kelompok teater Ryuzanji menyatukan kelompok-kelompok teater kecil untuk memproduksi pentas lintas kelompok. Ryuzanji juga mendorong kegiatan pertukaran budaya secara internasional. Mereka mencari kemungkinan ekspresi panggung segala genre, dari Kabuki, Shakespeare, hingga karya-karya eksperimental. Setelah berpentas di Yogyakarta, kelompok teater itu akan tampil di Candi Borobudur, Magelang, Jawa Tengah. Lalu mereka mampir ke Bali.

Masih segar dalam ingatan tatkala Sun Go Kong kesal karena dianggap sang guru tak "berperikemanusiaan" lantaran membunuh banyak siluman. "Tapi aku kan menyelamatkanmu, Bos. Itu siluman yang akan memakanmu."

Dian Yuliastuti (Jakarta), Shinta Maharani (Yogyakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus