Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Leluhur Para Raja Melayu

Sulalatus Salatin mengurai sejarah, adat, dan silsilah raja-raja di kawasan Melayu. Sempat muncul kontroversi tentang siapa pengarangnya.

6 Februari 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kitab itu tebalnya sekitar 300 halaman serta ditulis dalam bahasa Melayu lama dan huruf Jawi atau Arab Melayu. Sejauh ini Sulalatus Salatin karya Tun Sri Lanang masih menjadi rujukan utama mengenai sejarah awal kerajaan-kerajaan di sekitar Selat Malaka. "Tak ada tulisan Melayu yang demikian banyaknya diselidiki (selain kitab itu)," tulis C. Hooykaas dalam Perintis Sastra (1950).

Oman Fathurahman, pengajar di UIN Syarif Hidayatullah, dalam seminar di Bireuen baru-baru ini menyatakan sudah banyak buku dan artikel yang membahas kitab itu dalam kurun dua abad ini. Yang paling mutakhir, katanya, adalah kajian Abdurrahman dan kawan-kawan, yang mengkaji ayat-ayat Al-Quran yang dikutip dalam kitab itu, yang disampaikan dalam sebuah konferensi ilmu sosial di Shanghai, Cina, Oktober lalu.

Sulalatus Salatin secara harfiah berarti "silsilah para raja", tapi sering diterjemahkan sebagai "sejarah Melayu" karena kandungannya. Kitab ini mengurai sejarah, adat, dan silsilah raja-raja di kawasan Melayu. Isinya bercampur aduk antara fakta dan legenda. Di situ dikisahkan bagaimana para raja Melayu merupakan keturunan anak-cucu Iskandar Zulkarnain, pertempuran Majapahit melawan Singapura, hubungan Malaka dengan Siam dan Campa, kisah Laksamana Hang Tuah, hingga kejatuhan Malaka setelah diserang Portugis.

Tun Sri Lanang mulai menulisnya saat dia menjadi bendahara di Johor, di bawah kepemimpinan Sultan Alaudddin Riayat Syah III dan penggantinya, Sultan Abdullah Maayat Syah, pada 1613. Namun kitab tersebut tidak sempat selesai akibat gempuran pasukan Aceh di bawah pimpinan Sultan Iskandar Muda.

Tun Sri Lanang lalu dibawa ke Aceh dan berjumpa dengan ulama dan pengarang terkemuka, seperti Syekh Syamsuddin Pasai, ulama dan sekaligus penasihat Sultan Iskandar Muda; Hamzah Fansuri, kadi atau hakim di Aceh; Bukhari al-Jauhari, penulis kitab Tajus Salatin (Mahkota Raja-raja), dan Syekh Nuruddin ar-Raniri, pengarang Bustanul Salatin (Taman Raja-raja). Saat bermukim di Samalanga, Tun Sri Lanang menyelesaikan kitab yang kemudian menjadi pegangan para sultan di Semenanjung Malaka itu pada 1617.

Saat ini ada beberapa versi salinan kitab itu dalam bentuk tulisan tangan, yang mengandung sedikit perbedaan antara satu naskah dan naskah yang lain, baik panjang maupun ejaannya. Itu bisa jadi karena kurang tertibnya penyalinan dan penyuntingan, karena beberapa naskah tampak ditulis sembarangan.

Naskah pertama yang dibukukan adalah Sejarah Melayu, yang disunting Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi dan diterbitkan di Singapura pada 1841. W.G. Shellabear menerbitkan dengan judul yang sama pada 1898. Berdasarkan manuskrip koleksi Thomas Stamford Raffles, Sir Richard Winstedt menerbitkan The Malay Annals or Sejarah Melayu: The Earliest Recension from MS 18 of the Raffles Collection di jurnal JRASMB pada 1938 dan diterjemahkan ke bahasa Inggris oleh C.C. Brown di jurnal yang sama pada 1952. Edisi bahasa Indonesia pertama ditulis Aman Datuk Madjoindo pada 1952. Salinan yang kini populer adalah Sulalatus Salatin karya A. Samad Ahmad, yang diterbitkan Dewan Bahasa dan Pustaka Malaysia pada 1979.

Seperti kebanyakan kitab kuno, Sulalatus Salatin tak mencantumkan nama pengarang. Hal ini sempat memicu silang pendapat di kalangan sejarawan mengenai siapa sesungguhnya pengarang kitab itu. Winstedt, salah satu yang ragu Tun Sri Lanang sebagai pengarangnya, memperkirakan penulisnya adalah Raja Bongsu, nama lain dari Sultan Abdullah. Tapi Samad membantahnya karena sang Rajalah yang meminta naskah itu ditulis sehingga bukan dia yang mengarang.

Samad memastikan kitab itu benar dikarang Tun Sri Lanang dengan mengutip keterangan Syekh Nuruddin ar-Raniri dalam Bustanul Salatin. "Kata Bendahara Paduka Raja yang mengarang kitab misrat Sulalatus Salatin, ia mendengar daripada bapanya, ia mendengar daripada neneknya dan datuknya, tatkala pada hijrat al-Nabi sail a ’llahu ’alaihi wa sallama seribu dua puluh esa, pada bulan Rabiul-awal pada hari Ahad, ia mengarang hikayat pada menyatakan segala raja-raja yang kerajaan di negeri Melaka, Johor dan Pahang, dan menyatakan bangsa, dan salasilah mereka itu daripada Sultan Iskandar Zu’l Karnain," tulis Nuruddin.

"Sulalatus Salatin merupakan karya sastra yang agung. Karya itu juga sekaligus buku sejarah dan panduan istiadat yang penting dalam peradaban, kebudayaan, dan sistem pemerintahan Melayu yang hingga kini masih relevan," kata Dato’ Sri Wan Abdul Wahid, pengurus Persatuan Sejarah Malaysia Cabang Pahang.

Kitab itu memaparkan sejarah kerajaan Melayu yang berhasil memimpin negeri Semenanjung Malaka yang hebat dan kuat, setara dengan Majapahit di Jawa dan Samudra Pasai di Aceh pada abad ke-15. Ia juga membahas, antara lain, konsep politik saling setia (kontrak sosial), yakni rakyat tetap setia kepada raja selama raja mengutamakan kepentingan rakyat, dan struktur birokrasi di kerajaan, dari raja hingga laksamana, serta peran ulama dan agama. "Tun Sri Lanang tidak hanya pandai dalam sejarah, juga pandai ilmu agama," kata profesor linguistik Universiti Malaya, Asmah Hj. Umar, dalam Bahasa dan Sejarah Melayu.

Sidang pleno dalam seminar di Bireuen pada Desember lalu menyatakan kitab itu sebagai salah satu dari bukti-bukti peradaban Melayu yang pertama sekaligus sebagai karya sastra sejarah pertama di tanah Melayu. Selain itu, diusulkan agar ketokohan Tun Sri Lanang dan Sulalatus Salatin dimasukkan ke kurikulum muatan lokal di sekolah-sekolah di Aceh.

Pocut Haslinda Muda Dalam Azwar mengatakan salinan asli kitab itu kini berada di Inggris dan Belanda. "Kitab itu ada dalam bahasa Melayu Jawi dan coba saya terjemahkan agar generasi mendatang dengan mudah membacanya," kata perempuan yang tahun lalu menerbitkan Sulalatus-Salatin Sejarah Melayu berdasarkan naskah Samad itu.

Kurniawan, Imran M.A.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus