Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ALKISAH, suatu ketika Nabi Konghucu dan murid-muridnya diusir dari suatu kerajaan. Ketika melintas di sebuah hutan, rombongan Konghucu menjumpai seorang perempuan bersimbah air mata di samping pusara yang masih baru.
Seorang muridnya bertanya kenapa dia menangis. ”Pertama, mertuaku dibunuh harimau di sini. Berikutnya giliran suamiku. Dan sekarang gantian anakku,” kata perempuan itu. Kemudian Konghucu ganti bertanya mengapa dia tidak pergi meninggalkan hutan yang berbahaya itu.
”Sebab, tak ada pemerintah yang menindas di sini,” jawab perempuan tersebut. Nabi Konghucu pun berpaling kepada murid-muridnya dan berpetuah, ”Ingatlah! Pemerintah yang sewenang-wenang jauh lebih menakutkan ketimbang harimau.” Presiden Soeharto terang bukan harimau, tapi selama berpuluh tahun, kebijakan-kebijakan rezim Orde Baru demikian galak kepada para pengikut ajaran Konghucu.
Pada masa Presiden Sukarno, penganut Konghucu sempat menikmati kebebasan. Bahkan, pada 1961, pelajaran agama Konghucu masuk kurikulum sekolah. Lewat Penetapan Presiden Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, Presiden Sukarno menyatakan Konghucu merupakan satu di antara enam agama yang dipeluk rakyat Indonesia. Dalam penjelasan peraturan itu juga diterangkan pemerintah tidak melarang ajaran lain seperti Yahudi, Shinto, Taoisme, dan Zarathustra.
Masa bulan madu itu tak berumur panjang. Angin politik berbalik melawan pengikut Konghucu. Peristiwa G-30-S pada 1965 pecah dan aktivis politik keturunan Tionghoa dinilai punya keterkaitan dengan pemerintah Tiongkok dan Partai Komunis Indonesia.
Semula Presiden Soeharto masih menunjukkan sikap mendua. Di satu pihak, ia mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 14/1967 yang mencekik adat-istiadat Tionghoa. Di pihak lain, pada 23 Agustus tahun yang sama, ia memberikan sambutan bernada positif dalam Kongres VI Gabungan Perhimpunan Agama Konghucu se-Indonesia di Solo, Jawa Tengah. ”Agama Khonghutju mendapat tempat jang lajak dalam negara kita jang berlandaskan Pantjasila ini,” demikian tertulis dalam naskah sambutannya.
Lewat rupa-rupa peraturan, pemerintah Soeharto mengetatkan ikatan bagi penganut Konghucu, misalnya terbitnya Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Tahun 1978 yang hanya mencantumkan lima agama, tanpa menyertakan Konghucu. Akibatnya, penganut Konghucu tak pernah lolos dari segala urusan administrasi kependudukan. Menteri Pendidikan Teuku Syarif Thayeb menghapus pelajaran agama Konghucu dari kurikulum pada 1974. Sejak saat itu, penganut Konghucu seolah-olah tak ada di negeri ini.
”Saya terpaksa mencantumkan agama Islam dalam KTP,” Purwani, 57 tahun, warga Kota Solo, mengenang sulitnya mendapatkan kartu tanda penduduk. Pendeta Muda Konghucu Adjie Chandra, 52 tahun, memilih membiarkan kolom agama di kartu penduduk miliknya kosong.
Ketika Imlek tiba, mereka pun tak leluasa merayakannya. Menurut Pendeta Adjie, untuk menghindari masalah, sebagian besar memilih merayakannya di rumah—walaupun litang tetap dibuka bagi pengikut Konghucu yang hendak berdoa. ”Kami hanya berkeliling di halaman litang, tidak berani ke luar halaman,” ujar Purwani.
Untuk beribadah saja susah, apalagi untuk melakukan atraksi barongsai. Sakandi Talok, 58 tahun, Ketua Majelis Agama Konghucu Indonesia di Kalimantan Barat, mengenang bagaimana mereka sembunyi-sembunyi ”bermain” barongsai di gang-gang kecil Kota Pontianak demi menghindari mata aparat. Kalau lagi apes dan ketahuan, bisa-bisa harus berurusan dengan polisi.
TAK jelas benar berapa jumlah penganut Konghucu saat ini. ”Mungkin sekitar empat juta orang, termasuk Konghucu ’santri’ dan ’abangan’,” kata Budi Santoso Tanuwibowo, anggota Presidium Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia, pertengahan Januari lalu. Menurut Budi, jumlah pengikut Nabi Konghucu pada 1977 setara dengan pemeluk Buddha, yakni sekitar 0,9 persen penduduk Indonesia.
Sulitnya hidup beragama Konghucu pada masa Presiden Soeharto ada kemungkinan menyusutkan pengikutnya. Seperti keluarga Lim Buan Teng yang berpindah ke agama Kristen Protestan. ”Dulu saya terpaksa beralih ke agama Buddha, tapi sekarang kembali ke Konghucu,” kata Nge Chun Hur alias Atang, 51 tahun, warga Pontianak.
Pendeta Adjie Chandra mengatakan dulu dia aktif di organisasi pemuda Konghucu di Solo. Pada 1970-an itu ada sekitar 40 pemuda Konghucu yang aktif berorganisasi. ”Tapi paling sekarang tinggal empat-enam orang yang masih memeluk Konghucu.”
Sekolah-sekolah Konghucu ditutup. Kelenteng-kelenteng Konghucu pun beralih menjadi vihara tridarma untuk tiga agama: Buddha, Konghucu, dan Taoisme. Seperti kelenteng di Banjar, Jawa Barat. Di dalamnya ada patung Konghucu diapit patung Buddha Gautama dan Nabi Tao, Lao Tse. Namun, prakteknya, vihara itu hanya dipakai pengikut Konghucu. ”Tidak ada penganut Buddha ataupun Tao di Banjar,” kata Widi Priatno, rohaniwan Konghucu.
Setelah Presiden Abdurrahman Wahid mencabut Instruksi Presiden Tahun 1967 dan Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Tahun 1978, rantai yang membelenggu pengikut Konghucu terputus. Apalagi setelah Departemen Agama juga mengakui perkawinan Konghucu pada 2006. Kebebasan ini memberi angin segar bagi agama Konghucu.
Sebelum Gus Dur mencabut dua peraturan itu, Adjie mencatat penganut Konghucu di Solo hanya berkisar 40 orang. Namun, semenjak diterbitkan Keputusan Presiden Nomor 6/2000, umat Konghucu berlipat menjadi sekitar 100 orang. ”Tapi hanya 60 orang yang aktif datang beribadah di litang setiap minggu,” kata Pendeta Adjie.
Menjelang Imlek tahun ini, Pontianak, yang hampir 20 persen warganya beragama Konghucu, pun bersolek dengan lampion di seluruh penjuru kota. Arak-arakan atraksi barongsai juga sudah bersiap jauh-jauh hari. Kala Imlek ini, sebagian keturunan Tionghoa asal Pontianak dan Singkawang di rantau ramai-ramai pulang kampung. ”Semua kamar kami sudah ludes dipesan,” kata Lusi, Manajer Umum Hotel Mahkota, Singkawang, sekitar tiga jam perjalanan dari Pontianak.
SP, Ukky Primartantyo (Solo), Harry Daya (Pontianak), Nur Khoiri (Banjar)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo