Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Linggarjati, Sebuah Jalan

Perjanjian Linggarjati sering dianggap merugikan Indonesia. Meneguhkan eksistensi di kancah internasional.

9 Maret 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

VILA bergaya kolonial itu masih berdiri kukuh. Di atas lahan 2,4 hektare, bangunan bercat putih dan hijau lumut seluas 800 meter persegi itu seolah ingin merengkuh keindahan kaki Gunung Ciremai di Kuningan, Jawa Barat. Di bekas Hotel Rustoord itulah, di kawasan Linggarjati nan permai, 62 tahun lalu, digelar perundingan bersejarah antara Indonesia dan Belanda.

Sepanjang 11-14 November 1946, Sutan Sjahrir, perdana menteri berusia 37 tahun, memimpin pertarungan diplomasi tingkat tinggi. Anggotanya Mohammad Roem, Soesanto Tirtoprodjo—keduanya meester in de rechten—dan dokter Soedarsono.

Peran sejarah Sjahrir agak kurang terjelaskan bila kita mengunjungi vila yang sekarang menjadi museum Gedung Perundingan Linggarjati itu. Di dalam museum memang tersimpan berbagai memorabilia, mulai dari tanda tangan Sutan Sjahrir, foto perundingan, juga kursi dan meja sidang. Namun tak ada penjelasan bagaimana jalan perundingan, dan apa makna penting Linggarjati bagi Indonesia.

”Kami hanya tahu perundingan berjalan tertutup, sehingga tidak banyak informasi yang didapat,” kata Sukardi, petugas Dinas Pariwisata dan Budaya Kabupaten Kuningan, lembaga pengelola museum. ”Kami sangat berhati-hati menjelaskan, karena salah sedikit sejarawan bisa datang kemari.”

Di sekolah-sekolah selama ini cenderung diajarkan, Linggarjati adalah perjanjian yang menguntungkan Belanda. Hasilnya dianggap terlalu kompromistis. Linggarjati memutuskan, wilayah Indonesia secara de facto hanya Jawa dan Sumatera, dan Indonesia kemudian menjadi Republik Indonesia Serikat yang tergabung dalam Uni Indonesia Belanda.

”Linggarjati terutama dikritik oleh pengikut Tan Malaka, pengikut Bung Tomo, atau tentara, yang menuntut kemerdekaan 100 persen,” kata wartawan senior Sabam Siagian. Sabam melihat, selama ini ada kesalahan menilai peran Sjahrir dalam Linggarjati.

Perundingan Linggarjati adalah hasil diplomasi berliku yang diusahakan Sjahrir. Setelah Proklamasi, situasi Indonesia sangat genting. Belanda datang kembali membonceng Sekutu. Mereka mendarat di Tanjung Priok pada 29 September 1945.

Pejabat NICA (Netherlands Indies Civil Administration) berpikir bisa berkuasa dengan menangkap dwitunggal Soekarno-Hatta. Kedua pemimpin ini dianggap berkolaborasi dengan Jepang. NICA bermaksud mengambil alih semua departemen dari tangan Jepang.

Pertempuran besar meletus di berbagai kota, menghadang Belanda yang bersembunyi di balik Sekutu. Semarang diguncang perang lima hari, 14-19 Oktober 1945. Sehari kemudian, Jenderal Sudirman dan Tentara Keamanan Rakyat bergelimang darah menahan laju tentara Sekutu di Ambarawa.

Tak berapa lama, Surabaya membara pada 10 November. Perang hadir di depan mata, dan Indonesia terancam kalah. ”Adalah Sjahrir yang bisa membalik semua keadaan itu dalam waktu cepat,” kata Rushdy Hoesein, pengamat sejarah dan peneliti Linggarjati. ”Dia pasang badan.”

Pada 14 November 1945, sistem presidensial diubah menjadi sistem parlementer. Sjahrir diangkat sebagai perdana menteri pertama. Inggris mengajak berunding. Pada 23 November, kabinet Sjahrir menjawab dengan maklumat, Indonesia tak sudi berunding selama Belanda berpendirian masih berdaulat di Indonesia.

Belanda lalu memblokade Jawa dan Madura. Tapi Sjahrir melakukan diplomasi cerdik. Meskipun dilanda kekurangan pangan, Sjahrir memberikan bantuan beras ke India pada Agustus 1946. Tindakan Sjahrir ini membuka mata dunia.

Sebelumnya, pada 1 Februari 1946, ia nyaris berhasil ”memaksa” utusan Inggris, diplomat senior Sir Archibald Clark-Kerr, berbicara dengan Soekarno. Sayang, Soekarno, yang sudah berada di Yogya, menolak datang ke Jakarta.

Seperti bermain catur, sedikit demi sedikit Sjahrir terus mencoba menekan pemerintah Belanda melalui diplomasi. Ia terus-menerus mengupayakan agar Indonesia dan Belanda duduk di meja perundingan.

Kesempatan pertama datang dalam perundingan di Hoge Veluwe, Belanda, 14-16 April 1946. Ketika itu Indonesia mengajukan tiga usul: pengakuan atas Republik Indonesia sebagai pengemban kekuasaan di seluruh bekas Hindia Belanda, pengakuan de facto atas Jawa dan Madura, serta kerja sama atas dasar persamaan derajat antara Indonesia dan Belanda. Usul itu ditolak Belanda.

Peluang berunding dengan Belanda terbuka lagi ketika Inggris mengangkat Lord Killearn sebagai utusan istimewa Inggris di Asia Tenggara, sekaligus penengah konflik Indonesia-Belanda. Konsulat Inggris di Jakarta mengumumkan, selambat-lambatnya pada 30 November 1946 tentara Inggris akan meninggalkan Indonesia.

Kabinet baru Belanda kemudian mengutus Schermerhorn sebagai Komisi Jenderal untuk berunding dengan Indonesia. Schermerhorn dibantu tiga anggota: Van Der Poll, De Boer, dan Letnan Gubernur Jenderal H.J. Van Mook.

Perundingan itulah yang kemudian terjadi di Linggarjati. Lokasi itu diusulkan oleh Maria Ulfah Santoso (Menteri Sosial), yang dekat dengan Sjahrir. Ayah Maria pernah menjadi regent (bupati) Kuningan.

Kebetulan, Residen Cirebon, Hamdani, dan Bupati Cirebon, Makmun Sumadipradja, juga sahabat Sjahrir. Delegasi Belanda mulanya mengkhawatirkan keamanan. Namun Sjahrir berhasil meyakinkan kemampuannya mengontrol wilayah tersebut.

Sjahrir, sebagai bekas aktivis gerakan sosialis di Belanda, ternyata telah mengenal Schermerhorn, yang berasal dari Partai Buruh. Meski demikian, sebagaimana diduga, perundingan berlangsung alot. Dari 17 pasal yang dibahas, deadlock terjadi pada pasal mengenai pembentukan Negara Indonesia Serikat.

Pasal ini disetujui setelah Schermerhorn, tanpa diikuti Sjahrir yang kelelahan, mengunjungi Presiden Soekarno yang menginap di Kuningan. Soekarno langsung menyetujui ketika diberi tahu bahwa Negara Indonesia Serikat berdaulat di bawah Kerajaan Belanda.

Sjahrir terkejut akan sikap Soekarno, namun tak bisa menolak ketika persetujuan itu disampaikan oleh Schermerhorn. Bagi Sjahrir, itu artinya Belanda hanya mengakui Republik secara de facto.

Sjahrir kemudian memasukkan pasal tambahan tentang arbitrase. Bila ada perselisihan menyangkut perjanjian tersebut, akan diajukan ke Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa. ”Pasal ini terbukti menjadi penyelamat ketika terjadi agresi Belanda ke wilayah Republik,” kata Rusdi.

Setelah persetujuan diparaf pada 14 November 1946, kedua delegasi membawa rencana persetujuan itu ke masing-masing parlemen untuk disahkan. Republik Indonesia mengesahkan Perjanjian Linggarjati di Malang, Jawa Timur, dalam rapat Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), 25 Maret 1947.

Di Belanda, pengesahan perjanjian mendapat hujan kritik pemerintah dan parlemen. Schermerhorn tersingkir dari panggung politik. Karena tak puas dengan penyelesaian Linggarjati, pada 20 Juni 1947 Belanda melancarkan aksi militer pertama dengan menduduki kota-kota penting Republik.

Pada 14 Agustus 1947, Sjahrir memimpin delegasi Indonesia ke sidang Dewan Keamanan PBB di Lake Succes, Amerika Serikat. ”Pidato Sjahrir di Dewan Keamanan ini dimungkinkan karena adanya pasal arbritase di Linggarjati itu,” kata Rusdi Husein.

Inilah momen yang membuat Indonesia tampil di kancah internasional. Nama Indonesia bergema di Lake Succes. Dan jalan ke arah itu dibuka dari kaki Gunung Ciremai.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus