PAGI para pemilik toko, pedagang kaki lima masih tetap sedikit
lebih baik dari pencuri. Tapi jumlah pedagang jenis ini semakin
bertambah, di mana-mana. Tidak hanya di Asia atau Amerika Latin.
Tidak hanya di Jakarta atau Medan. Tapi di kota-kota kecil
sekalipun. Berbagai usaha pemerintah kota untuk menertibkan
mereka tampaknya belum membawa hasil. Setidak-tidaknya karena
terlihat jumlah mereka tidak semakin berkurang.
Berdagang di kaki lima memang bukan saja merupakan tempat paling
baik bagi pedagang bermodal kecil. Juga sebagai tempat belanja
paling memadai bagi para pembeli bersandal jepit berkantong
tipis, bagian terbesar penghuni kampung-kampung dan
pinggiran-pinggiran kota. Karena itu tak mengherankan bila arena
kaki lima selalu menjadi pusat pertemuan akrab kedua golongan
itu.
Jauh Dari Cukup
Keadaan serupa itu dengan mudah terlihat misalnya di Jakarta,
Medan maupun Surabaya. Di Jakarta dengan berbagai usaha Gubernur
Tjokropranolo untuk "mendahulukan kepentingan pedagang bermodal
lemah" yang juga mencakup mereka yang di kaki lima, seakan
membuahkan tindakan yang saling berlawanan. Satu pihak mereka
selalu diusir dari setiap ujung jalan, sementara di pihak lain
keinginan untuk mengangkat mereka ke tingkat lebih atas belum
banyak menampakkan hasil. Namun semua itu akan terlihat sebagai
tindakan yang memadai bila disadari kemampuan yang dimiliki
Pemda DKI hingga saat ini.
Pekan lalu razia terhadap para pedagang kaki lima di Jaharta
hampir tak menarik perhatian warga kota lagi. Sebab seperti yang
terjadi sebelumnya, mereka kembali bercokol di tempat itu begitu
bayangan petugas Kamtib (Keamanan & ketertiban) luput dari
pandangan. "Tapi razia itu bukan untuk membuat mereka jera,"
kata Ka-Humas DKI Jaya, B. Harahap, "hanya melaksanakan
ketetapan pemerintah daerah." Jadi mengusir para pedagang itu
hanya untuk melaksanakan salah satu dari 8 --
penertiban-penertiban perkeretaapian, tanah & bangunan, banjir,
listrik, tunakarya & tunawisma serta sosial & politik. Sebab,
"kita menyadari, razia terhadap mereka tidak akan efektif
selama sarana penampungannya belum cukup," tambah Harahap.
Sejak tahun lalu Pemda DKI mulai menyediakan tempat penampungan
bagi para pedagang kaki lima. Yaitu di pasar-pasar Inpres,
tempat-tempat khusus (ada 40 lokasi) dan lorong-lorong pasar
tertentu (seperti Tanah Abang dan Cempaka Putih). Tapi dengan
88.000 pedagang kaki lima yang tersebar di seluruh wilayah
ibukota ini, tentu saja tempat-tempat penampungan tadi masih
jauh dari cukup. Mereka yang telah mendapat penampungan pun
belum seluruhnya lepas dari masalah. Sebab di Pasar Inpres Senen
misalnya, jumlah pedagang masih lebih banyak dari pembeli,
meskipun belum seluruh kios yang dibagikan telah diisi
pemiliknya. "Seharusnya pemerintah segera dan tegas membersihkan
tempat-tempat dagang kaki lima di sekitar Senen ini," kata
Razali (64 tahun) pedagang buku bekas di pasar Inpres itu.
Sebab bagi Razali dan kawan-kawannya para pedagang kaki lima di
sekitar Senen itu merupakan saingan mereka yang lebih mampu
menyedot pembeli dibanding di Pasar Inpres tadi. Dengan setengah
marah bapak tua ini mengusulkan agar para hansip juga diserahi
tugas mengusir pedagang kaki lima di wilayah masing-masing.
Razali membandingkan, ketika ia masih berdagang di kaki lima
lapangan Banteng dulu, setiap hari ia bisa mengantongi uang Rp 5
sampai Rp 10 ribu. "Tapi seharian ini di kantong saya cuma Rp
200," keluhnya. Karena itu kalau boleh memilih, Razali sekarang
akan memilih berjualan di kaki lima daripada di kios tempatnya
sekarang.
Sebaliknya, Karna (40 tahun) pemilik warung kopi di Jalan
Matraman merasa repot kena razia terus-terusan. "Saya mau
ditampung, asal di tempat ramai," katanya, "dari pada
dikejar-kejar terus." Ia telah berkali-kali kena razia. Bahkan
sempat disidangkan 2 kali di kantor walikota untuk menebus
gerobak dan peralatan dagang lainnya. Kalau sedang tak ada razia
secara tetap ia kena pungutan Rp 100 sehari sebagai uang
retribusi.
Di Medan
Penertiban pedagang kaki lima di Medan tak kurang gencar. Awal
Desember lalu misainya Lindung Marpaung (20 tahun) dan Sabir (18
tahun) dua orang pedagang kacamata di kaki lima Jalan Sutomo
dimakan peluru petugas Tibum (ketertiban umum). Dalam satu
razia, Lindung menolak beranjak dari tempat berdagangnya dan si
petugas karena merasa dikerubungi para pedagang melepaskan
tembakan.
Perut Lindung robek. Tapi ketika si petugas dikejar teman-teman
Lindung, sekali lagi ia melepaskan tembakan. Sabir luka. Untung
nyawa keduanya sempat diselamatkan.
Beberapa bulan sebelumnya, yaitu April 1979, penertiban terhadap
pedagang kaki lima ini malah merenggut nyawa salah seorang dari
mereka. Seorang pedagang wanita, Punia boru Nababan, menolak
diangkut ke balaikota. Tapi ketika ia bersama barang dagangannya
berhasil dinaikkan ke atas truk, ia terjatuh dengan kepala lebih
dahulu, karena kendaraan itu buru-buru bergerak sebelum si
pedagang sempat berpegangan.
Dengan berbagai kejadian itu agaknya tak mengendurkan semangat
Pemda Kodya Medan untuk menertibkan kaki lima. "Pemda
berketetapan hati untuk terus melaksanakan operasi penertiban,"
tutur Ka-Humas Pemda Kodya Medan, Dailami. Di seluruh Kota Medan
memang terdapat 41 buah pasar (5 di antaranya Inpres) yang mampu
menampung sekitar 13.000 pedagang. Dan tercatat lebih dari 3.000
orang yang belum mendapat tempat berdagang sehingga harus
nongkrong di kaki-kaki lima. Menurut perhitungan Kepala Seksi
Evaluasi Dinas Pasar Medan, Mahmud R. Meliala, untuk menampung
seluruh pedagang kaki lima yang masih liar itu diperlukan tak
kurang dari 10 buah pasar lagi.
Tapi tak seluruhnya benar bahwa karena kekurangan jumlah pasar
maka pedagang kaki lima tak tertampung. Sebuah pasar Inpres di
Jalan Halat selesai tahun lalu untuk sekitar 300 pedagang. Tapi
tak lama setelah mereka ditampung, di tempat mereka semula
muncul kembali pedagang liar baru. "Mereka pedagang kaki lima
yang baru datang dari luar kota," kata Dailami.
Di Surabaya
Pemda Kodya Surabaya tampaknya tak kurang kualahan menghadapi
penyakit kaki lima ini. Karena itu penertiban yang dilancarkan
akhir-akhir ini hanya ditujukan kepada mereka yang berjualan di
jalan-jalan protokol dan tempat-tempat yang dapat mengganggu
kelancaran lalulintas. "Mereka yang kedapatan berdagang di jalan
protokol diajukan ke pengadilan," kata Soetarto SH dari Bagian
Ketertiban Kodya Surabaya. Dari Januari hingga November tahun
ini sudah tercatat 329 buah kasus pelanggaran pedagang kaki lima
yang masuk ke pengadilan, lebih separuhnya telah diputus dengan
hukuman denda antara Rp 2.000 sampai Rp 5.000.
Karena itu tak heran, bila di jalan-jalan biasa di seluruh
pelosok kota buaya ini mudah menjumpai pedagang kaki lima. Satu
hal yang dengan segera dapat dilihat akibatnya, adalah kekotoran
kota. Begitu mereka meninggalkan arena perdagangan, tempat itu
segera digantikan oleh tebaran sampah. Dan kotamadya pun harus
menurunkan dinas kebersihannya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini