Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Lingkaran setan di kaki lima

Masalah penertiban pedagang kaki lima, merupakan urusan yang sulit dicari penyelesaiannya. razia yang dilakukan tiap hari selalu diikuti dengan pemunculan kembali. (kt)

29 Desember 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PAGI para pemilik toko, pedagang kaki lima masih tetap sedikit lebih baik dari pencuri. Tapi jumlah pedagang jenis ini semakin bertambah, di mana-mana. Tidak hanya di Asia atau Amerika Latin. Tidak hanya di Jakarta atau Medan. Tapi di kota-kota kecil sekalipun. Berbagai usaha pemerintah kota untuk menertibkan mereka tampaknya belum membawa hasil. Setidak-tidaknya karena terlihat jumlah mereka tidak semakin berkurang. Berdagang di kaki lima memang bukan saja merupakan tempat paling baik bagi pedagang bermodal kecil. Juga sebagai tempat belanja paling memadai bagi para pembeli bersandal jepit berkantong tipis, bagian terbesar penghuni kampung-kampung dan pinggiran-pinggiran kota. Karena itu tak mengherankan bila arena kaki lima selalu menjadi pusat pertemuan akrab kedua golongan itu. Jauh Dari Cukup Keadaan serupa itu dengan mudah terlihat misalnya di Jakarta, Medan maupun Surabaya. Di Jakarta dengan berbagai usaha Gubernur Tjokropranolo untuk "mendahulukan kepentingan pedagang bermodal lemah" yang juga mencakup mereka yang di kaki lima, seakan membuahkan tindakan yang saling berlawanan. Satu pihak mereka selalu diusir dari setiap ujung jalan, sementara di pihak lain keinginan untuk mengangkat mereka ke tingkat lebih atas belum banyak menampakkan hasil. Namun semua itu akan terlihat sebagai tindakan yang memadai bila disadari kemampuan yang dimiliki Pemda DKI hingga saat ini. Pekan lalu razia terhadap para pedagang kaki lima di Jaharta hampir tak menarik perhatian warga kota lagi. Sebab seperti yang terjadi sebelumnya, mereka kembali bercokol di tempat itu begitu bayangan petugas Kamtib (Keamanan & ketertiban) luput dari pandangan. "Tapi razia itu bukan untuk membuat mereka jera," kata Ka-Humas DKI Jaya, B. Harahap, "hanya melaksanakan ketetapan pemerintah daerah." Jadi mengusir para pedagang itu hanya untuk melaksanakan salah satu dari 8 -- penertiban-penertiban perkeretaapian, tanah & bangunan, banjir, listrik, tunakarya & tunawisma serta sosial & politik. Sebab, "kita menyadari, razia terhadap mereka tidak akan efektif selama sarana penampungannya belum cukup," tambah Harahap. Sejak tahun lalu Pemda DKI mulai menyediakan tempat penampungan bagi para pedagang kaki lima. Yaitu di pasar-pasar Inpres, tempat-tempat khusus (ada 40 lokasi) dan lorong-lorong pasar tertentu (seperti Tanah Abang dan Cempaka Putih). Tapi dengan 88.000 pedagang kaki lima yang tersebar di seluruh wilayah ibukota ini, tentu saja tempat-tempat penampungan tadi masih jauh dari cukup. Mereka yang telah mendapat penampungan pun belum seluruhnya lepas dari masalah. Sebab di Pasar Inpres Senen misalnya, jumlah pedagang masih lebih banyak dari pembeli, meskipun belum seluruh kios yang dibagikan telah diisi pemiliknya. "Seharusnya pemerintah segera dan tegas membersihkan tempat-tempat dagang kaki lima di sekitar Senen ini," kata Razali (64 tahun) pedagang buku bekas di pasar Inpres itu. Sebab bagi Razali dan kawan-kawannya para pedagang kaki lima di sekitar Senen itu merupakan saingan mereka yang lebih mampu menyedot pembeli dibanding di Pasar Inpres tadi. Dengan setengah marah bapak tua ini mengusulkan agar para hansip juga diserahi tugas mengusir pedagang kaki lima di wilayah masing-masing. Razali membandingkan, ketika ia masih berdagang di kaki lima lapangan Banteng dulu, setiap hari ia bisa mengantongi uang Rp 5 sampai Rp 10 ribu. "Tapi seharian ini di kantong saya cuma Rp 200," keluhnya. Karena itu kalau boleh memilih, Razali sekarang akan memilih berjualan di kaki lima daripada di kios tempatnya sekarang. Sebaliknya, Karna (40 tahun) pemilik warung kopi di Jalan Matraman merasa repot kena razia terus-terusan. "Saya mau ditampung, asal di tempat ramai," katanya, "dari pada dikejar-kejar terus." Ia telah berkali-kali kena razia. Bahkan sempat disidangkan 2 kali di kantor walikota untuk menebus gerobak dan peralatan dagang lainnya. Kalau sedang tak ada razia secara tetap ia kena pungutan Rp 100 sehari sebagai uang retribusi. Di Medan Penertiban pedagang kaki lima di Medan tak kurang gencar. Awal Desember lalu misainya Lindung Marpaung (20 tahun) dan Sabir (18 tahun) dua orang pedagang kacamata di kaki lima Jalan Sutomo dimakan peluru petugas Tibum (ketertiban umum). Dalam satu razia, Lindung menolak beranjak dari tempat berdagangnya dan si petugas karena merasa dikerubungi para pedagang melepaskan tembakan. Perut Lindung robek. Tapi ketika si petugas dikejar teman-teman Lindung, sekali lagi ia melepaskan tembakan. Sabir luka. Untung nyawa keduanya sempat diselamatkan. Beberapa bulan sebelumnya, yaitu April 1979, penertiban terhadap pedagang kaki lima ini malah merenggut nyawa salah seorang dari mereka. Seorang pedagang wanita, Punia boru Nababan, menolak diangkut ke balaikota. Tapi ketika ia bersama barang dagangannya berhasil dinaikkan ke atas truk, ia terjatuh dengan kepala lebih dahulu, karena kendaraan itu buru-buru bergerak sebelum si pedagang sempat berpegangan. Dengan berbagai kejadian itu agaknya tak mengendurkan semangat Pemda Kodya Medan untuk menertibkan kaki lima. "Pemda berketetapan hati untuk terus melaksanakan operasi penertiban," tutur Ka-Humas Pemda Kodya Medan, Dailami. Di seluruh Kota Medan memang terdapat 41 buah pasar (5 di antaranya Inpres) yang mampu menampung sekitar 13.000 pedagang. Dan tercatat lebih dari 3.000 orang yang belum mendapat tempat berdagang sehingga harus nongkrong di kaki-kaki lima. Menurut perhitungan Kepala Seksi Evaluasi Dinas Pasar Medan, Mahmud R. Meliala, untuk menampung seluruh pedagang kaki lima yang masih liar itu diperlukan tak kurang dari 10 buah pasar lagi. Tapi tak seluruhnya benar bahwa karena kekurangan jumlah pasar maka pedagang kaki lima tak tertampung. Sebuah pasar Inpres di Jalan Halat selesai tahun lalu untuk sekitar 300 pedagang. Tapi tak lama setelah mereka ditampung, di tempat mereka semula muncul kembali pedagang liar baru. "Mereka pedagang kaki lima yang baru datang dari luar kota," kata Dailami. Di Surabaya Pemda Kodya Surabaya tampaknya tak kurang kualahan menghadapi penyakit kaki lima ini. Karena itu penertiban yang dilancarkan akhir-akhir ini hanya ditujukan kepada mereka yang berjualan di jalan-jalan protokol dan tempat-tempat yang dapat mengganggu kelancaran lalulintas. "Mereka yang kedapatan berdagang di jalan protokol diajukan ke pengadilan," kata Soetarto SH dari Bagian Ketertiban Kodya Surabaya. Dari Januari hingga November tahun ini sudah tercatat 329 buah kasus pelanggaran pedagang kaki lima yang masuk ke pengadilan, lebih separuhnya telah diputus dengan hukuman denda antara Rp 2.000 sampai Rp 5.000. Karena itu tak heran, bila di jalan-jalan biasa di seluruh pelosok kota buaya ini mudah menjumpai pedagang kaki lima. Satu hal yang dengan segera dapat dilihat akibatnya, adalah kekotoran kota. Begitu mereka meninggalkan arena perdagangan, tempat itu segera digantikan oleh tebaran sampah. Dan kotamadya pun harus menurunkan dinas kebersihannya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus