Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Luka Batin Gadis Pendiam

Megawati tumbuh pada masa sulit sebelum dan setelah kekuasaan Bung Karno. Bukan anak ideologis.

29 Juni 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

7 Agustus 1967.

HARI yang dicemaskan itu tiba juga. Setahun setelah Majelis Permusyawaratan Rakyat mengangkatnya menjadi presiden, Soeharto menghalau anakanak Soekarno yang masih tinggal di Istana Negara.

Jenderal yang sedang di atas angin itu tak berkenan masih ada keluarga orang yang dituding biang ”Gerakan 1 Oktober 1965” di pusat pemerintahan, ketika untuk pertama kalinya ia menjadi inspektur upacara peringatan Proklamasi.

Dyah Permata Megawati Setyawati Soekarnoputri, anak kedua, harus mengambil keputusan akan pergi ke mana. Si sulung Guntur masih studi elektro di Institut Teknologi Bandung. Megawati dan tiga adiknya tak bisa mengontak siapa pun, karena telepon yang masuk dan keluar Istana dibatasi.

Megawati memutuskan akan menemui ayahnya, yang ditahan di Istana Batutulis, Bogor. Tapi menemui ayah sendiri, yang menjadi tawanan politik, bukan hal mudah. Harus ada izin tertulis dari panglima tentara daerah Jakarta dan Jawa Barat.

Berkat pertolongan Komandan Detasemen Kawal Pribadi, Komisaris Besar Polisi Mangil Martowidjojo, Mega bisa keluar Istana dengan jip Willys, lewat Semplak. Soekarno, yang mulai gering, menyambut di beranda.

Ia bertanya bagaimana gadis kesayangannya itu bisa keluar dan lolos penjagaan. Megawati menceritakan semuanya dengan rasa sedih yang tertahan. ”Jangan menangis,” kata Bung Karno. ”Lebih baik kau ikut ibumu, dan bawa adikadikmu ke sana.”

Megawati, 62 tahun, mengingat terus pesan itu hingga sekarang. ”Jangan menangis” adalah pesan Bung Karno kepada anakanaknya pada masa sulit awal Orde Baru. Mereka tinggal bersama Fatmawati di Wisma Angkasa, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, tanpa bekal cukup. Fatmawati, yang keluar dari Istana pada 1957 karena menolak pernikahan Soekarno dengan Hartini, harus menjual barangbarangnya untuk membiayai hidup.

Soeharto melarang Mega dan adikadiknya membawa perabotan pribadi dari Istana. ”Kami keluar hanya dengan satu lemari pakaian,” kata Mega kepada Tempo, pekan lalu. Tapi ia tak mengeluh. Ia menelan rasa sakit sebagai anak presiden yang disingkirkan dengan menempuh harihari yang terus diawasi intel. ”Saya jalani itu semua sebagai bagian dari fluktuasi hidup,” katanya.

Ia memang saksi sukaduka Bung Karno sebagai presiden dan tawanan politik. Megawati lahir pada 23 Januari 1947 malam di sebuah rumah persalinan di Yogyakarta, yang ambruk diterjang badai dan banjir. Bung Karno tak bisa memindahkan keluarganya ke tempat yang layak karena Belanda akan menggempur Yogya, ibu kota Republik ketika itu.

Karena itulah Megawati menjadi anak istimewa Soekarno, selain karena ia anak perempuan pertama. Dalam Penyambung Lidah Rakyat, kepada Cindy Adams, Bung Karno menuturkan bahwa ia menyayangi semua anaknya, Tapi... ”pada Gadis, aku punya perasaan lain.” Sampai usia tiga tahun, Mega tinggal di permukiman rudin Kali Code sebelum hidup nyaman di Istana setelah ibu kota kembali ke Jakarta.

Di Istana, ia terbiasa mendengar diskusi politik ayahnya dengan para pendiri Republik. Dari balik pintu kupukupu yang menghubungkan ruang tengah Istana Merdeka dan kantor presiden, Mega suka mengintip rapatrapat kabinet yang sengit dalam bahasa Belanda dan Jawa. Seusai makan siang yang tertib karena tak boleh bicara, sambil makan buahbuahan Bung Karno mengajak Guntur dan Mega mengobrol tentang situasi politik terbaru.

Dua anak ini juga sering dibawa bepergian ke luar negeri. Soekarno tak cuma juru cerita yang pintar. Ia mengenalkan langsung dua anaknya ini ke arena nyata politik. Soal gerakan Nonblok, misalnya, Guntur dan Mega diboyong untuk menyaksikan konferensinya di Beograd, Yugoslavia, pada 1961. Seusai pertemuan, Bung Karno menjelaskan deal dan sikap politiknya, seperti jika ia selesai membaca sebuah buku.

Mega mewarisi cara membaca Soekarno yang sporadis. Bung Besar terbiasa membaca lima buku sekaligus. Di toiletnya, ada satu meja dua laci yang menyimpan bukubuku yang sedang ia baca. Suatu kali Mega mengambil salah satu dan tak mengembalikan. Bung Karno menyetrapnya karena Mega lupa pada halaman berapa buku itu sedang terbuka.

Dalam Bung Karno, Bapakku, Kawanku, Guruku, Guntur menuturkan suatu kali pada 1958 ketika ia sedang bercakap tentang filsafat dengan ayahnya, Mega tibatiba menyela. ”Pak, kalau artinya dharma eva hato hanti itu apa?” Kaget, Bung Karno menjawab. ”Pintar kau. Dengar dari mana semboyan itu? Itu artinya kita kuat karena kita bersatu.”

Mega mengaku suka sejarah. Kegemarannya pada humaniora itu juga yang membuatnya berdebat dengan ayahnya tentang pilihan jurusan kuliah. Mega ingin belajar psikologi, Soekarno ingin anaknya menekuni pertanian. ”Indonesia belum membutuhkan seorang ahli jiwa,” begitu Soekarno beralasan. Ia keukeuh meski Mega menangis.

Butuh tiga hari tiga malam buat Bung Karno untuk meyakinkan anaknya. Mega kemudian diterima di Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran, Bandung, pada 1965. Represi Orde Baru menghentikan kuliahnya dua tahun kemudian. Ia dipaksa keluar dari Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia, organisasi onderbouw Partai Nasional Indonesia yang didirikan ayahnya.

Tekanantekanan politik itulah yang membentuk Mega tumbuh menjadi seorang pendiam, sampai menjadi sikap politik dan wataknya seharihari. Jika ia berdebat, Mega meniru adab ibunya ketika menyela Bung Karno atau siapa pun yang pemikirannya tak ia setujui. ”Sikapnya dinyatakan dengan kalimat yang tak menyakitkan, namun tepat sasaran,” kata Mega dalam Tujuh Ibu Bangsa.

Tapi adiknya, Rachmawati, menilai sikap diam kakaknya itu sudah terlihat sejak kecil. Hobi Mega merawat tanaman dan kebun membuatnya kerap menyendiri. ”Dia introvert sekali, jarang berinteraksi bahkan dengan saudarasaudaranya,” kata Rachma, yang terpaut tiga tahun. Dalam Bapakku Ibuku, Rachma menduga sikap diam itu timbul karena luka batin akibat retaknya hubungan ayah dan ibu mereka.

Megawati mengakui, ketika ibunya keluar Istana, dan ayahnya sering ke Bogor mengunjungi Hartini, ia seperti kehilangan induk semang. Nek Joyo dan Bu Citro, para pengasuh yang setia, kemudian dianggapnya sebagai ibu sendiri. Keduanya jugalah yang memberikan pendidikan awal sebelum Mega sekolah di Perguruan Cikini hingga SMA. ”Temannya tak banyak, selalu dikawal Cakrabirawa,” kata seorang wartawan tua dari masa itu.

Dalam soal ideologi, Rachma tak melihat kakaknya sungguhsungguh menekuni ajaran Marhaenisme. Sementara Rachma menjuluki dirinya sebagai ”anak ideologi”, Mega hanya ”anak biologis” Soekarno. Sampai 1987, kata Rachma, kakaknya itu hanya seorang ibu rumah tangga biasa. Setelah itu hidupnya berubah jadi ingar ketika diminta memimpin Partai Demokrasi Indonesia.

Erros Djarot, sineaspolitikus yang mendampingi Mega klandestin pada zaman Orde Baru, juga memberikan kesaksian yang sama. ”Kalau ada komunitas pembaca Bung Karno, dia bukan salah satu anggotanya,” kata Erros. Dia meninggalkan Mega dan mendirikan Partai Nasional Banteng Kemerdekaan karena menganggap teman masa kecilnya itu tak lagi menerapkan ajaran Bung Karno.

Soal ideologi, Mega menanggapinya dengan senyum. Menurut penyuka burung hantu dan buku risalah tanaman ini, pemikiran dan pidato ayahnya terserak dalam pelbagai kitab. ”Saya belajar langsung dari orangnya,” katanya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus