Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
APAKAH yang masih menarik dari Pemilu Presiden 2009? Debat presiden dan wakil presiden seperti lesu darah. Tiga calon pemimpin, juga calon wakilnya, lebih cocok disebut bermonolog ketimbang berdialog—apalagi berlaga argumen.
Pemaparan visi dan misi jadi ajang umbar janji yang jauh di awang-awang. Kampanye di lapangan terbuka tak ditunggu orang ramai, kecuali ketika penyanyi dangdut bergoyang.
Pamflet, iklan televisi, perang mulut para pendukung di koran-koran hanya pantas jadi pembicaraan saat rehat makan siang, untuk kemudian dilupakan begitu saja. Dua pekan menjelang hari pencontrengan, 8 Juli 2009, politik memang telah kehilangan pesona.
Tapi politik tak melulu diawali dengan ”p” kecil—simbol pragmatisme dan pertarungan kekuasaan semata. Politik juga berarti pengaturan, pembagian kekuasaan yang beradab untuk kepentingan orang ramai. Politik dengan ”P” besar adalah cita-cita reformasi yang dicetuskan 11 tahun silam.
Itulah sebabnya Tempo tetap merasa perlu membuat edisi khusus pemilu—sesuatu yang jadi tradisi lima tahunan. Bukan untuk mengejek pesta demokrasi itu, melainkan untuk memberikan bekal kepada pemilih sebelum masuk bilik suara.
Persoalan muncul: bekal seperti apa yang dibutuhkan calon pemilih—sesuatu yang tak klise dan tak makin membuat orang mereduksi politik dari ”P” besar menjadi ”p” kecil?
Lima tahun lalu kami pernah memetakan profil orang di sekeliling calon presiden. Idenya sederhana: sepanjang sejarah republik, baik-buruknya presiden kerap ditentukan oleh ”bisikan” dan ”kelakuan” para pendamping. Informasi tentang sepak terjang punggawa di ring satu ini diharapkan bisa memberi tahu calon pemilih tentang siapakah angels and demons di sekitar calon pemimpin mereka. Menjelang pemilu legislatif, April lalu, kami pernah menelusuri genealogi partai politik.
Tapi kami tak ingin ”menghangatkan nasi kemarin”—mengulang ide, menanaknya berulang-ulang, lalu menyuguhkannya menjadi sajian tanpa selera. Kami sadar, di dalam kata ”news”, sesuatu yang kami geluti sehari-hari, terkandung kata ”new” alias kebaruan. Dan bagi sebuah majalah berita, kebaruan itu bisa berarti kecerdikan dalam memilih sudut pandang.
Melalui serangkaian diskusi, sampailah kami pada sudut pandang itu. Bahwa yang akan disoroti adalah masa lalu keenam calon presiden dan wakilnya. Bukan sembarang masa lalu, melainkan masa ketika karakter mereka sebagai pemimpin terbentuk.
Periodisasinya memang bervariasi. Kami, misalnya, menganggap perlu menggali Megawati Soekarnoputri, calon presiden dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, ketika ia hidup di Istana sebagai putri presiden. Kami menganggap itulah masa ketika ia merasakan pahit-manisnya kekuasaan—sesuatu yang pernah dan mungkin akan ia genggam.
Prabowo Subianto ditelusuri dari era ketika ia menjadi anak pelarian pemberontak Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia/Permesta di luar negeri. Pada 1950-an, ayah Prabowo, Sumitro Djojohadikusumo, merupakan tokoh penting gerakan itu. Di tanah buanganlah karakter Prabowo terbentuk. Sejumlah sumber bercerita tentang Prabowo yang suka bertinju dan menggemari dunia militer ketika remaja. Temperamental, tak sabaran, dan serba ingin cepat terbentuk pada masa itu.
Wiranto, calon wakil presiden dari Partai Hati Nurani Rakyat, disoroti sejak ia menjadi ajudan Soeharto. Susilo Bambang Yudhoyono ditelisik ketika masih bersekolah di Pacitan. Perceraian kedua orang tuanya terbukti juga mempengaruhi pribadi sang incumbent.
Dengan sudut pandang ini, sejumlah cerita memang harus diabaikan. Bukan karena tak penting, melainkan karena kami tak ingin berkhianat terhadap angle. Kami, misalnya, harus menyimpan kisah tentang penculikan aktivis 1998, cerita kelam yang menyeret nama Prabowo Subianto. Kisah tentang peran Wiranto dalam insiden Semanggi dan bumi hangus Timor Timur juga terpaksa tak kami ketengahkan.
Hidup memang menyimpan sejuta pilihan. Kali ini kami memilihkan berita untuk Anda, para pembaca—sesuatu yang moga-moga saja bisa menjadi bekal memilih 8 Juli nanti.
TIM EDISI KHUSUS PEMILIHAN PRESIDEN 2009: Penanggung Jawab: Arif Zulkifli Penyunting: Arif Zulkifli, Amarzan Loebis, Wahyu Muryadi, M. Taufiqurohman, Budi Setyarso, Leila S. Chudori, Yos Rizal Suriaji, Idrus F. Shahab, Toriq Hadad, Hermien Y. Kleden, Bina Bektiati, Purwanto Setiadi, Putu Setia Penulis: Yandi M. Rofiyandi, Wahyu Dhyatmika, Sunudyantoro, Dwidjo U. Maksum, Budi Riza, Agus Supriyanto, Arif Zulkifli, Bagja Hidayat, Rini Kustini, Kurniawan, Sapto Pradityo, Adek Media Roza, Harun Mahbub, Anton Aprianto, Kurie Suditomo, Irfan Budiman, Ahmad Taufik, Ramidi, Philipus Parera, Nunuy Nurhayati, Yuliawati Penyumbang Bahan: Bernada Rurit (Yogyakarta), Dominggus Elcid Li (London), Hari Tri Wasono (Pacitan), Irmawati (Makassar), Mahbub Djunaidi (Jember), Pito A. Rudiana (Yogyakarta), Soetana Monang Hasibuan (Medan), Ukky Primartantyo (Solo), Widiarsi Agustina (Bandung) Desain: Gilang Rahadian (Kepala), Eko Punto Pambudi, Danendro Adi, Kiagus Auliansyah, Hendy Prakasa, Agus Darmawan Setiadi, Aji Yuliarto, Tri Watno Widodo Foto: Bismo Agung (Kepala), Mazmur Sembiring, Aryus P. Soekarno Bahasa: Uu Suhardi, Sapto Nugroho Dokumentasi & Riset: Endang Ishak, Soleh, Danny Muhadiansyah
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo