Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JADWAL kampanye menguras stamina Megawati Soekarnoputri, 62 tahun. Toh, ia masih sanggup tampil di lima media massa dalam sehari. Setelah siaran langsung dengan Radio Republik Indonesia selama se jam penuh, Mega lalu menerima tim Tempo untuk wawancara khusus di ruang tamu rumahnya, di kawasan Teuku Umar, Menteng, Jakarta Pusat, Jumat dua pekan lalu. ”Saya flu,” katanya seraya memegang tisu.
Megawati beberapa kali batukbatuk kecil. Sesekali matanya berkacakaca ketika mengenang masa remajanya, terutama ketika ayahandanya, Presiden Soekarno, dikucilkan. Dengan tutur kata yang lancar, ia ceritakan kembali masamasa kritis ketika dia, bersama kakak dan adikadiknya, meninggalkan Istana. Drama itu pernah ia tuliskan dalam catatan harian. ”Sudah saya tulis berbukubuku, tapi diary itu hilang karena sering pindah rumah,” kata Mega.
Taufiq Kiemas, suaminya, yang juga Ketua Dewan Pertimbangan Pusat PDI Perjuangan, setelah mentraktir es cendol dan kelapa muda, sesekali bergabung sembari menambahkan jawaban. Mega juga ditemani Wakil Ketua Tim Kampanye Nasional MegaPrabowo, Sony Keraf, dan Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan Pramono Anung. Pembicaraan hangat yang berlangsung hampir dua jam itu disuguhi secangkir kopi. Mega meminta kopi threeinone, lalu bersedia dipotret sembari memegang setangkai mawar merah. Berikut ini petikannya.
Adakah peristiwa paling mengesankan di masa genting pada 1965?
Waktu itu saya mahasiswi di Universitas Padjadjaran, Bandung, dan tak tahu persis apa yang terjadi. Seluruh komunikasi terputus. Saya hanya ingat hari itu sedang dies natalis. Ketika dies berjalan, kakak saya Guntur, yang kuliah di Institut Teknologi Bandung, datang. Ia memberitahukan, ”Ayo pulang dulu.” Saya sudah tahu ada hal penting terjadi. Kami memang terbiasa diajari Bapak supaya mengenal body language, bahasa tubuh. Jadi tak perlu tanya kirikanan. Baru sesampai di rumah dikatakan bahwa ada sesuatu yang terjadi di Jakarta. Kami mendapat berita dari Motorolanya polisi yang mengirim berita secara beranting. Kami hanya mengetahui bahwa Bapak sudah tak ada di Istana, tapi kami tak bisa ke Jakarta.
Apa yang terjadi?
Setelah dua minggu, kami baru bisa ke Jakarta. Sulit bertemu Bapak yang diisolasi di Istana Bogor. Kalau kami menjenguk, harus ada izin Panglima Komando Daerah Militer Siliwangi dan Jakarta. Waktu itu Pangdam Siliwangi Hartono Rekso Dharsono, sedangkan Pangdam Jaya Umar Wirahadikusumah. Jadi, sering kalau satu kasih izin, yang lainnya tidak. Seperti dipingpong. Kami bingung mengadukan masalah ini karena memang belum ada Komnas HAM seperti sekarang, hahaha….
Lalu siapa yang memerintahkan Anda harus meninggalkan Istana?
Kami ini seperti anak kehilangan induknya. Bapak masih ada di Bogor pada 1967. Sedangkan kami di Istana. Lalu datang staf Istana membawa pesan Norman Sasono (Komandan Polisi Militer TNI Angkatan Darat setelah Cakrabirawa dibubarkan) untuk segera meninggalkan Istana. Saya menghubungi Norman untuk mengetahui kebenaran perintah itu, tapi hanya diterima stafnya. Saya menanyakan surat resminya mana. Staf itu hanya bilang perintah lisan. Kan lucu.
Kabarnya, ada pesan khusus Bung Karno sebelum Anda pergi dari Istana?
Saya lalu bertemu Bapak di Bogor. Setelah saya jelaskan, Bapak meminta saya mengangkut barang pribadi dan pergi ke rumah Ibu (Fatmawati). Perintahnya hanya barang pribadi. Semua yang tak dibeli sendiri jangan dibawa. Artinya, kalau saya, hanya satu lemari dan meja belajar. Semua barang Bapak, dari pakaian hingga lukisan, tidak ada yang diambil. Bapak memang mengajarkan untuk tak bermelodrama dan menangis apa pun yang terjadi.
Siapa yang menjadi patron ketika Bung Karno dikucilkan?
Tidak ada. Saya sendiri. Saya juga mikir, kok, bisa mengorganisasi situasi seperti itu. Bapak pindah ke Batutulis (Bogor), sedangkan kami di tempat Ibu di Jakarta. Setelah di tempat Ibu, ya, hidup kami sudah seperti rakyat biasa saja.
Suasana genting itukah yang mengasah jiwa kepemimpinan Anda?
Ya, mungkin juga karena bakat. Saya ini satusatunya anak Bung Karno yang lahir di Yogya pada zaman perjuangan. Kumpulnya pejuang terus. Bicaranya politik terus. Ibu waktu di Yogya pernah bilang saya ini anak yang mempunyai lambaran nyawa (nyawa yang kuat), hahaha…. Waktu itu Ibu, seorang first lady, buka dapur umum. Pejuang keluarmasuk. Bapak lalu dibuang ke Bangka. Kami ditampung Pak Sultan dan dicarikan rumah di Kali Code. Jadi saya pernah sebentar jadi anak Kali Code, kirakira setahun atau dua tahun.
Bagaimana Bung Karno mengajari putraputrinya soal politik?
Bapak tak mengajar seperti guru, tapi sebagai cerita saja. Banyak sekali yang kami sebut diskusi ketika makan. Biasanya, kalau makan utama, kami tak boleh ngobrol. Setelah makanan penutup, baru boleh ngobrol. Temanya macammacam dan mengalir. Saya mendapatkan ilmu langsung dari guru yang mengajarkan secara alami. Referensinya dibaca melalui buku. Jadi, kalau orang bilang saya bodoh, saya suka nanya, yang ngomong saya bodoh itu kali yang bodoh.
Dalam buku Guntur, Anda disebutsebut sangat tertarik dengan filsafat sejak kecil.
Bapak memang senang membaca buku. Aturannya, buku tak boleh berpindah tempat. Bukan berarti tak boleh dibaca. Bapak tahu betul letak buku. Misalnya buku (Swami) Vivekananda. Jadi, kalau ditarik dari raknya, kami ganjal dengan kertas dan sebagainya supaya bisa dikembalikan seperti semula. Saya ingat kebiasaannya menyimpan buku di restroom. Ada meja kecil, buku yang dibaca ditaruh di atas, umumnya bahasa Belanda, yang dikasih coratcoret dan komentar Bapak, sedangkan di lacinya ada setumpuk buku lain yang akan digilir untuk dibaca. Kami belajar banyak hal secara otodidak.
Bung Karno menggembleng semua anaknya dengan pendidikan politik atau malah menjauhkan?
Alami saja. Kami tergodok secara nature. Kejadian yang menimpa Bung Karno paling tidak membuat kami matang. Kami melihat secara langsung peristiwa Cikini, Maukar, lalu Idul Adha. Meski tak menjadi sasaran, kami lihat betul bagaimana tindak kekerasan itu. Bagaimana kekerasan itu bisa muncul dari kebencian. Makanya saya tak senang melihat kekerasan. Dari sejumlah pengalaman itu juga muncul insting berontak kalau ditekan. Misalnya, ketika saya disuruh meneken kontrak politik saat kuliah, saya berontak dan memilih keluar. Kalau saya ditekan, rasanya seperti tertantang. Padahal saya kuliah enggak ada kolusi dan nepotisme, lho. Bapak selalu bilang, dan inilah maunya, bahwa ”kepintaranmu itulah yang membuktikan”.
Sewaktu kuliah di Bandung, mengapa memilih fakultas pertanian?
Saya sebenarnya sangat tertarik dengan psikologi. Makanya, setelah saya tak boleh kuliah, dari Unpad, saya ingin meneruskan di psikologi. Tapi Bapak berusaha meyakinkan saya tiga hari tiga malam, sampai saya menangis. Beliau ingin saya kuliah di pertanian.
Alasannya?
Bapak bilang rakyat Indonesia belum perlu ahli jiwa. Indonesia masih perlu ahli dan orang pintar bidang pertanian. Saya memang senang tanaman, tapi saya bilang, malas kuliah di pertanian karena ada kimia murni. Tapi, setelah dipikir, ya betul juga. Kasihan rakyat. Sudah begitu, Bapak belum pernah menuntut apa pun kecuali kuliah di pertanian. Menurut saya rasional. Akhirnya saya coba. Selama kuliah, saya senang genetika. Misalnya membuat bibit tanaman yang baik dengan mengacu hukum Mendel. Jadi kuliah di pertanian itu paling tidak bisa disalurkan ke tanaman, meski kadang harus berpanaspanas.
Bagaimana bisa keluar kuliah?
Saya keluar karena menolak disuruh meneken kontrak politik. Bunyinya kuranglebih begini: ”Bersama ini saya mengatakan bahwa benar saya sebagai anggota Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) OsaUsep.” Waktu itu PNI Pecah. (PNI pimpinan Osa MalikiUsep Ranawidjaja dan PNI Ali SastroamidjojoSurachman—Red.) GMNI yang sering disebut onderbouwnya PNI juga pecah. Saya tak setuju meneken kontrak politik karena yang mengadilinya bukan dari GMNI, tapi Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Waktu itu senat pertanian dikuasai HMI.
Pada periode Madiun akhir 1960an, Anda menarik diri dari politik. Mengapa?
Tentu ada keinginan berpolitik. Tapi saya juga harus melihat kondisi waktu itu. Saya terbiasa untuk melihat situasi kondisi secara riil. Realita itu tak bisa saya hindari. Waktu itu, kalau saya aktif di politik, bisa masuk penjara betul. Saya mesti berpikir, memangnya kalau masuk penjara itu gagah? Kalau dipenjarakan sampai dihukum mati oleh penjajah, mungkin bermanfaat. Tapi kalau bangsa sendiri? Ini eranya sudah beda.
Apakah situasi gawat itu yang membuat keluarga sepakat tak berpolitik?
Sebetulnya media sendiri yang memanipulasi. Tak ada kesepakatan keluarga seperti itu. Hanya waktu itu dari kami semua tak ada keinginan untuk terjun ke politik. Ini akibat kami melihat situasi pada waktu itu. Kalau boleh saya katakan, mana ada kesempatan untuk mengganggu Pak Harto. Itu kan enggak ada.
Manakah masa yang paling berkesan dalam hidup Anda? Semasa remaja di Istana atau masa PDI di zaman Orde Baru?
Kalau saya lihat, itu satu kehidupan manusia yang bervariasi. Ada fluktuasinya. Memang saya tidak seperti orang pada umumnya. Bayangkan, 23 tahun sebagai anak presiden. Jadi, kalau saya ditanyai orang mengapa masih mau jadi presiden, saya tak kepingin menjadi presiden. Jadi anak presiden sama dengan presiden. Kurang apa hayo? Dihormati orang. Tapi orang juga tak banyak mengetahui bahwa di situ sarang intrik, gosip, sangat penuh kemunafikan. Tidak mudah lho tinggal di Istana.
Ibu Mega ini cenderung melankolis, romantis, atau tegar?
Apakah saya harus menilai diri sendiri? Pram aja yang menjawab. (Pramono Anung menjawab, ”Tegar. Kadang suka membatu.”)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo