Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
UNDANGAN Rizal Ramli kepada Inpex Corporation mengundang tanda tanya Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas). Pada Rabu awal Februari lalu, Menteri Koordinator Maritim dan Sumber Daya itu meminta perusahaan minyak dan gas asal Jepang tersebut datang ke kantornya. Agenda utama rapat adalah membicarakan skenario pengembangan gas alam cair di Lapangan Gas Abadi, Blok Masela, Maluku.
Merasa aneh diundang bukan oleh kementerian teknis yang mengurus persoalan minyak dan gas, Inpex meminta izin kepada SKK Migas. "Tapi, karena yang mengundang adalah pejabat negara, saya persilakan Inpex datang," ujar Kepala SKK Migas Amien Sunaryadi, Kamis pekan lalu. Ronnie Higuchi Rusli, anggota staf ahli Menteri Koordinator Maritim, yang menyampaikan undangan tersebut.
Pertemuan berlangsung dua hari setelah rapat kabinet terbatas berlangsung di Istana Negara. Dalam rapat terbatas, Rizal Ramli dan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Sudirman Said berselisih pendapat mengenai skema pengembangan gas alam cair di Masela. Blok ini menjadi perhatian karena bisa menggenjot penerimaan negara lebih dari Rp 500 triliun selama 24 tahun. Presiden Joko Widodo ingin proyek gas dengan cadangan 10,73 triliun kaki kubik ini membantu pengembangan kawasan Maluku selatan.
Bertemu dua jam di Kantor Kementerian Koordinator Maritim di Gedung BPPT, Jakarta Pusat, Rizal Ramli meminta Inpex menjelaskan kenapa memilih kilang gas alam cair terapung di Masela. Ronnie Higuchi Rusli dan Haposan Napitupulu, anggota staf ahli Rizal lainnya, hadir di sana. Inpex antara lain diwakili Usman Slamet, Senior Manager Communication & Relations.
Menurut Ronnie, bosnya meminta Inpex memaparkan contoh sukses proyek gas alam cair dengan kilang di lepas pantai. "Kami ingin tahu sampai di mana viability FLNG (floating liquefied natural gas) yang belum pernah dipakai di dunia ini," kata Ronnie lewat pesan pendek, Kamis pekan lalu.
Karena Inpex tak bisa menjawab, Kementerian Koordinator Maritim mengusulkan perusahaan Jepang ini mengganti Shell sebagai mitra bisnis di Blok Masela. Alasannya: pasti banyak perusahaan lain yang mau bermitra dengan Inpex. Dalam pertemuan itu, tercetuslah nama Sogo Shosha, semacam kamar dagang di Jepang. Beberapa perusahaan, seperti Mitsubishi Group, Mitsui, dan Sumitomo, tergabung di sana.
Dalam pertemuan itu, Inpex menyampaikan bahwa kilang lepas pantai tetap yang paling menguntungkan bagi Masela. "Kajian atas opsi darat dan lepas pantai untuk memproduksi gas di Laut Arafuru sudah dilakukan bertahun-tahun," ujar Usman. Tim Inpex menyampaikan sejumlah data pembanding dan acuan.
Menurut Amien, dari semua proyek gas alam cair di dunia, Lapangan Abadi merupakan proyek ketujuh yang mengadopsi teknologi kilang lepas pantai. Petronas, Woodside, dan BP telah mengembangkan model kilang serupa di beberapa proyek miliknya. Petronas Floating LNG-1 diproyeksikan sudah berproduksi pada kuartal pertama tahun ini.
Rizal, yang tengah berada di Belgia, menolak menjelaskan pertemuan tersebut. Melalui pesan aplikasi WhatsApp, ia menolak wawancara. "Maaf, saya tidak tertarik," katanya, Kamis malam pekan lalu.
GAS Masela ditemukan Inpex pada 1998. Melihat besarnya potensi gas di tengah Laut Arafuru, perusahaan asal Jepang ini mengajukan permohonan mengembangkan sumber gas ke Badan Pengatur Hulu Migas. Cadangan gas terbukti di Lapangan Abadi saat itu mencapai 6,05 triliun kaki kubik.
Karena sumber gas berada di kedalaman 400 meter—dengan kondisi palung yang cukup dalam—sempat ada alternatif mengalirkan pipa ke Darwin, Australia, lalu mendirikan kilang di sana. Pemerintah Indonesia di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tak setuju terhadap usul tersebut. Alasannya, pengembangan Masela harus dilakukan sepenuhnya di Indonesia dengan pilihan di darat atau laut.
Sempat maju-mundur pada 2008, pemerintah menyetujui rencana pengembangan Lapangan Gas Abadi di Blok Masela dengan skema kilang terapung. Pada 2010, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral sepakat Inpex mengembangkan skema kilang terapung dengan kapasitas 2,5 juta metrik ton per tahun di ladang gas ini. Haposan Napitupulu, dulu Direktur Perencanaan BP Migas, ikut meneken persetujuan itu. Sebagai anggota staf ahli Rizal Ramli, sikap Haposan kini bertolak belakang.
Kegaduhan muncul tak lama setelah Inpex mengajukan perubahan plan of development dari 2,5 juta ke 7,5 juta metrik ton per tahun pada September 2015. Dengan menggunakan skema kilang terapung, proposal Inpex meningkatkan kapasitas produksi tiga kali lipat menuai kritik Rizal Ramli.
Sepekan sebelum Menteri Energi Sudirman Said mengumumkan keputusan revisi plan of development pada Oktober tahun lalu, Menteri Keuangan di era Presiden Abdurrahman Wahid itu menyatakan ladang gas Masela semestinya dikembangkan dengan membangun kilang di darat. Ia meminta SKK Migas mengkaji ulang proposal tersebut karena pembangunan fasilitas kilang laut cuma buang-buang duit. "Harus dibahas komprehensif supaya menguntungkan Indonesia," kata Rizal, akhir September tahun lalu.
Rizal menuding pembangunan fasilitas kilang terapung yang disodorkan Inpex dan Royal Dutch Shell bakal menyedot dana jumbo. Rizal disokong koleganya di Forum Tujuh Tiga (Fortuga), kumpulan alumnus angkatan 1973 Institut Teknologi Bandung. Berdasarkan hitung-hitungan Fortuga, fasilitas kilang di laut membutuhkan investasi US$ 22 miliar. Sebaliknya, pengembangan fasilitas kilang gas alam cair di darat hanya membutuhkan dana US$ 16 miliar.
Yoga Suprapto, salah satu kolega Rizal di Fortuga yang juga mantan Direktur Utama PT Badak NGL, mengatakan manfaat pengembangan kilang LNG di darat lebih besar. "Dampaknya banyak hingga ke industri hilir, kandungan dalam negeri, dan tenaga kerja," ujarnya dalam konferensi pers di Kementerian Koordinator Maritim, Desember tahun lalu.
Dari analisis manfaat dan biaya yang dilakukannya, bila semua cadangan gas alam terapung diekspor, pendapatan migas Indonesia hanya US$ 41,2 miliar dan pendapatan investor US$ 21,5 miliar. Sedangkan dengan skema kilang di darat, negara memperoleh pendapatan US$ 47,5 miliar. Adapun pendapatan kontraktor migas US$ 31 miliar.
Inpex Corporation berkata sebaliknya. Belanja modal untuk fasilitas kilang terapung hanya US$ 14,8 miliar. Dengan nilai investasi itu, penerimaan negara diperkirakan bisa mencapai US$ 51 miliar, jauh lebih tinggi dibandingkan dengan memakai kilang di darat, sekitar US$ 42,3 miliar. "Perhitungan angka itu sudah disampaikan kepada Pak Rizal," kata Usman Slamet.
DISERANG kiri-kanan pada Oktober tahun lalu, Menteri Sudirman Said mengurungkan niat menyetujui rencana pengembangan Masela. Sebagai jalan tengah, Kementerian Energi bersama SKK Migas menunjuk konsultan independen internasional. Tujuannya agar ada masukan yang netral dari pihak profesional di luar SKK Migas dan operator yang selama ini menggeluti Masela. Pemerintah akhirnya memilih Poten & Partners, konsultan energi dan transportasi asal Inggris, untuk mengevaluasi ulang skema pengembangan Masela. Poten menyisihkan 12 pesaing.
Hasil studi Poten & Partners setebal 110 halaman itu menyebutkan opsi lepas pantai untuk mengembangkan gas di Blok Masela tetap lebih menguntungkan. Tapi hasil studi Poten & Partners yang rampung pada 23 Desember 2015 itu tak lantas diterima. Dalam rapat terbatas di Istana enam hari kemudian, hasil kajian Poten & Partners tak mendapat banyak dukungan.
Seorang peserta rapat mengatakan kabinet terbelah. Tujuh menteri, di antaranya Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro, Menteri Perindustrian Saleh Husin, dan Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Sofyan Djalil, mendukung skema onshore, meski pendapatan negara hanya US$ 39,5 miliar selama 24 tahun. Alasannya: demi mendukung pengembangan daerah Maluku bagian selatan. Adapun Menteri Energi, Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi, serta Kepala SKK Migas mendukung skenario offshore. Presiden batal membuat keputusan.
Setelah rapat itu, Amien Sunaryadi bergerilya. Ia, misalnya, menemui Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro pada pertengahan Januari lalu. Ia mengatakan, dengan skema offshore, pemerintah sebenarnya memiliki peluang menyisihkan dana pengembangan wilayah Maluku bagian selatan. Dari hitung-hitungan Poten & Partners, skema kilang gas cair terapung memberi peluang kepada negara untuk memperoleh penerimaan US$ 51,7 miliar selama 24 tahun. Artinya, ada selisih penerimaan negara yang sangat besar ketimbang memakai kilang di darat. "Selisih dana itu bisa disimpan untuk mengembangkan kawasan Maluku bagian selatan," kata Amien. Menurut Amien, nilainya bisa mencapai Rp 5 triliun per tahun. Selisih dana itu nantinya dikelola sebuah badan otorita.
Konsep dana pembangunan dari selisih penerimaan negara ini juga disampaikan Amien kepada Kepala Bappenas Sofyan Djalil. Menurut mantan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi ini, selisih duit itu membuat pemerintah punya banyak ruang fiskal untuk memenuhi kebutuhan pengembangan kawasan Maluku bagian selatan. "Selisih dana itu bisa digunakan untuk menggenjot sumber daya manusia, infrastruktur, dan investasi bisnis di kawasan," ujarnya. Ia yakin dana pembangunan ini bisa meredam potensi konflik antar-penduduk di sana.
Kekhawatiran Amien merujuk pada selebaran yang ditemukan saat berkunjung ke Saumlaki. Pada suatu siang di akhir Januari lalu, Amien, yang sedang berada dalam rombongan Menteri Energi Sudirman Said, bertemu dengan pasangan bapak-ibu yang membawa kantong plastik berisi selebaran. "Mereka menunjukkan selebaran. Isinya kampanye hitam," ujarnya. Di kertas fotokopian itu tertulis, "Yang mendukung offshore pengkhianat NKRI."
Lobi-lobi Amien lumayan berhasil. Dalam rapat kabinet terbatas pada awal Februari lalu, empat menteri yang tadinya menyokong kilang gas di darat berbalik badan. Di antaranya Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro, Kepala Bappenas Sofyan Djalil, serta Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya. Rupanya, tensi belum turun. Dalam rapat itu, perseteruan antara Sudirman dan Rizal berlanjut. Seorang peserta rapat bercerita, perbedaan pendapat di antara kedua menteri ini sempat memanas. Sudirman memaparkan data offshore, Rizal ngotot dengan opsi onshore.
Amien Sunaryadi, yang hadir dalam rapat tersebut, meluruskan. Menurut dia, adu argumen sangat interaktif karena Presiden Jokowi memberikan kesempatan kepada setiap peserta untuk berbicara. Amien kebagian berbicara paling akhir. Ia lalu menceritakan pengalamannya bertemu dengan Bupati Maluku Tenggara Barat dan Bupati Maluku Barat Daya dua hari sebelumnya. "Dua bupati sama-sama ngotot merasa paling berhak kilang dibangun di wilayahnya kalau skema onshore yang dipilih," kata Amien.
Setelah itu, Jokowi meminta perdebatan selesai di ruang rapat, tak perlu dibawa ke luar, apalagi ke media. Ditanyai soal Masela, Sudirman tak banyak berkomentar. "Presiden berpesan, jangan lagi berpolemik."
Sejumlah sumber di Istana mengatakan Jokowi berencana mengumumkan keputusan Masela sepulang kunjungan ke Amerika Serikat. Belum sempat keputusan diumumkan, Rizal Ramli membuat "kegaduhan". Melalui rilis resmi Kementerian Koordinator Maritim nomor 16/II/2016, Rizal mengklaim Presiden menginginkan pembangunan kilang gas Lapangan Abadi Blok Masela di darat. "Pertimbangannya, pemerintah memperhatikan multiplier effect serta percepatan pembangunan ekonomi Maluku," ujarnya.
Presiden Jokowi, menurut sumber di Istana, terkejut oleh rilis tersebut. Itu sebabnya, juru bicara Presiden, Johan Budi, mengeluarkan rilis keesokan harinya. Menurut Johan, Presiden belum memutuskan metode pembangunan Blok Masela. "Presiden masih mengkaji seluruh aspek proyek Masela," ujarnya. Presiden, kata Johan, ingin masyarakat Maluku memperoleh manfaat maksimal dari proyek tersebut.
Vice President Corporate Services Inpex Corporation Nico Muhyiddin mengatakan masalah pengembangan Lapangan Gas Abadi ini seharusnya bukan lagi soal memilih onshore atau offshore. Sebab, revisi yang diajukan merupakan penambahan kapasitas kilang dari 2,5 juta ke 7,5 juta metrik ton per tahun. Adapun skema kilang terapung sudah disetujui sejak enam tahun lalu. "Sangat disayangkan, proses pengambilan keputusan menjadi berlarut-larut," ujarnya.
YA, Ayu Prima Sandi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo