Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
AMIEN Sunaryadi terkejut saat meninjau lokasi lahan di Desa Olilit, Saumlaki, Pulau Yamdena, Kabupaten Maluku Tenggara Barat. Datang ke sana akhir tahun lalu, Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) itu ingin mengecek kabar terhambatnya pembebasan tanah, yang rencananya digunakan sebagai pangkalan logistik Inpex Masela.
"Sebagian besar lahan ternyata sudah dikuasai salah satu pengusaha lokal," kata Amien kepada Tempo, Kamis pekan lalu. Ia kembali berkunjung ke lokasi itu bersama Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Sudirman Said pada awal Januari lalu.
Menurut Amien, lahan yang berdempetan di sisi selatan dengan depot bahan bakar minyak PT Pertamina itu sudah dipagari pemiliknya, keluarga Tanjaya. Pagar kayu itu menjadi pemisah lahan milik keluarga Tanjaya dengan lahan penduduk setempat.
Luasnya lumayan fantastis. Bupati Maluku Tenggara Barat Bitzael Sylvester Temar menyebutkan, hingga saat ini, keluarga Tanjaya menguasai 34 hektare dari total 41,5 hektare lahan untuk pangkalan logistik.
Roky Olinger, warga Saumlaki, membenarkan pernyataan Amien. Hingga Rabu pekan lalu, pagar-pagar kayu itu masih berdiri. Bukan hanya keluarga Tanjaya, pemilik lahan di sekitarnya juga belum mau menjual tanahnya. Roky mengatakan warga Saumlaki menunggu kepastian dari Inpex, khususnya mengenai lahan yang akan dipakai untuk pembangunan fasilitas kilang di darat.
Menurut Amien, penguasaan lahan oleh keluarga Tanjaya belum lama terjadi. "Seorang pensiunan pegawai SKK Migas telah membocorkan informasi rencana pengembangan fasilitas darat ke spekulan," ujarnya. Setiap kali tim investor Inpex Corporation melakukan survei tanah, tak lama kemudian spekulan tanah memborong lokasi yang disurvei.
Pada 2011, misalnya, Inpex mensurvei desa di Pulau Selaru. Tak lama kemudian, tanah di desa itu sudah dikuasai sebuah perusahaan. Setelah itu, Inpex mensurvei beberapa titik di Saumlaki. Besoknya, tanah diborong lagi. "Ya, seperti itu kejadian di lapangan," kata Amien.
Kondisi ini menyulitkan SKK dan Inpex sebagai investor. Sebab, keluarga Tanjaya menolak melepas tanahnya. Dengan bendera PT Kanawa Panorama, keluarga Tanjaya berkongsi dengan PT Alfa Karya Persada. Mereka hendak membangun basis logistik di Saumlaki. Inpex dan investor lain boleh memakai dengan sistem sewa-menyewa.
Bupati Bitzael Sylvester Temar terus berupaya meyakinkan warganya agar mendukung proyek kilang Blok Masela. Dari 62 pemilik lahan yang akan dipakai untuk pangkalan logistik, masih ada tujuh pemilik yang belum setuju melepas. Berulang kali konsultasi publik digelar, tapi tujuh anggota keluarga Tanjaya itu selalu menolak.
Pemilik lahan itu antara lain Lydi Tandjaja, Philips Richard Tandjaja, Philips Ricson Tandjaja, Diana Tandjaja, Freddy Tandjaja, dan Thiodorus Gaspers. Melalui surat tertulis, mereka menyatakan keberatan menjual tanahnya ke Inpex ataupun SKK Migas karena akan membangun pangkalan logistik untuk disewakan.
Bito—sapaan Bitzael—mengaku sudah tiga kali mengundang keluarga Tanjaya. Upayanya untuk meyakinkan keluarga itu gagal. Bahkan, pada dua kali panggilan pertama, ia tidak diindahkan. "Saya sempat naik pitam," ujarnya. Ia menuding keluarga ini berbisnis tidak fair.
Mereka, kata Bito, membeli tanah dari warga sangat murah, lalu memanfaatkannya untuk mencari untung sebesar-besarnya. Sikap itu menghambat proyek strategis negara. Ia khawatir masalah ini akan mengundang kemarahan penduduk di sana. "Saya mendapat laporan ada warga (yang marah) mematok aset milik keluarga ini," ujarnya. Bupati akan merekomendasikan lahan lain bila negosiasi dengan keluarga Tanjaya tidak mencapai kesepakatan.
Nico Muhyiddin, Vice President Corporate Services Inpex Corporation, berharap pemerintah membantu mempercepat pembebasan lahan. Inpex khawatir masalah ini akan semakin menunda pengembangan Blok Masela. Fasilitas di darat sangat vital untuk mendukung operasi floating liquefied natural gas di laut. "Jadwal mulai konstruksi pada 2018 akan tertunda," kata Nico kepada Tempo.
Juru bicara keluarga Tanjaya, Philip Hendrik, menegaskan bahwa keluarganya tidak akan melepas lahan milik mereka. Alasannya, mereka sudah punya rencana membangun pangkalan logistik untuk mendukung kegiatan perusahaan minyak dan gas yang sedang dan akan beroperasi di sana. "Ada peluang 15 blok migas di seputaran Pulau Yamdena bisa memanfaatkan depot logistik ini."
Ia mengakui punya kontak bisnis dengan Anto Perwata, pemilik Alfa Persada. Perusahaan yang berbasis di Marunda, Jakarta Utara, ini dikenal sebagai pemain supply base untuk minyak dan gas. Anto menolak berbicara. "Nanti kita bicara soal itu," ujarnya. Setelah itu, ia tak lagi merespons pesan dan tidak mengangkat panggilan telepon.
Philip Hendrik menyebutkan keluarganya sudah memiliki lahan di Pantai Kelyar, Desa Olilit, sejak 2003. Saat itu, kata dia, luasnya baru 7,5 hektare. Sejak 2014, ia mengakui keluarga Tanjaya membeli tanah-tanah di sekitarnya. Sekarang luas lahan milik keluarga ini secara keseluruhan 34 hektare. Sebanyak 16 hektare bersertifikat. Sisanya ada yang dalam proses pelepasan atau sudah ada pengikatan (jual-beli). Ia membantah mendapat bocoran informasi dari pensiunan pegawai SKK Migas.
Amien Sunaryadi mengatakan tidak jadi masalah jika keluarga Tanjaya menolak lahannya dibebaskan. Menurut dia, ada mekanisme negara bisa memaksa. Setelah plan of development terbit, Gubernur Maluku bakal menetapkan area yang akan dibebaskan. Mau tidak mau, pemiliknya harus memberikan. Duitnya nanti ditaruh di pengadilan. "Caranya begitu. Sudah aku pelajari undang-undangnya," ujar Amien.
Ia yakin cara itu harus ditempuh. Banyak orang memborong tanah karena tahu lokasinya bakal menjadi pangkalan operasi migas. Amien mengaku sudah beberapa kali bertemu langsung dengan Philip. Di depan Philip, Amien menjelaskan rencana SKK Migas membangun Maluku. Ia mengajak Philip memberikan sumbangsih.
Menurut Amien, keluarga itu masih bertahan untuk membangun sendiri pangkalan logistik, lalu pihak lain dipersilakan menyewa. "Kalau mentok, kami pakai mekanisme pengadilan," katanya. "Tidak bisa proyek besar seperti ini jantungnya dipegang dia."
Agus Supriyanto, Ayu Prima Sandi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo