Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Mahasiswa Trisakti Digebuk Lagi

12 April 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sudah kantongi izin untuk berunjuk rasa, toh digebuk juga. Itulah yang dialami sekitar 200 mahasiswa Universitas Trisakti ketika berunjuk rasa di depan Kantor Departemen Pertahanan dan Keamanan (Dephankam), Jalan Merdeka Barat, Jakarta, Rabu pekan lalu. Padahal, mereka sebelumnya telah mengantongi izin?lebih tepat disebut pemberitahuan?dari Polda Metro Jaya. Tujuan mereka juga disebutkan, ingin bertemu Panglima ABRI Jenderal TNI Wiranto untuk mempertanyakan penuntasan kasus penembakan mahasiswa di Kampus Trisakti, 12 Mei tahun lalu. Kedatangan mereka pun dikawal oleh satuan polisi yang dipimpin Kapolres Jakarta Pusat, Letkol (Pol.) Imam Haryatna. Arak-arakan mereka dari Jalan Budi Kemuliaan menuju ke Jalan Merdeka Barat tenang-tenang saja awalnya. Mereka sempat dicegat aparat di perlimaan, sekitar satu kilometer dari markas Dephankam. Setelah mahasiswa "merayu" aparat, pengunjuk rasa dibolehkan melenggang. Keributan muncul ketika mahasiswa memasuki taman di sekitar Tugu Monas. Jarum menunjuk pukul 12.00. Garis batas polisi yang terpasang di antara pepohonan terputus. Tak jelas pelakunya, tapi petugas Pengendali Huru-hara (PHH) Kodam Jaya menuduh mahasiswa yang melakukannya. Pengunjuk rasa marah atas tuduhan itu. Adu mulut pun terjadi. Sebatang kayu dilemparkan entah oleh siapa dari kejauhan. Aparat marah, lalu memukuli para mahasiswa. Mereka pun lari kocar-kacir. Buntutnya, dua mahasiswa menderita luka berat dan terpaksa dilarikan ke Rumah Sakit Pertamina. Tujuh mahasiswa lain menderita luka ringan. Selain itu, tiga petugas dilaporkan menderita luka ringan. Imam Haryatna, yang berada di sekitar tempat kejadian, menyesalkan insiden itu. Protes pun terdengar. Munir S.H., Ketua Kontras, LSM untuk advokasi orang hilang dan tindak kekerasan, berpendapat agar Undang-Undang No. 9 Tahun 1998 yang mengatur unjuk rasa?dengan harus mengantongi izin?itu ditinjau kembali.

Jimmy Carter Pantau Pemilu
Mantan presiden AS Jimmy Carter datang ke Kantor Komisi Pemilihan Umum (KPU). Mau berkampanye presiden? Tentu bukan. Kedatangannya ke lembaga penyelenggara pemilu di Jalan Diponegoro, Jakarta, Rabu pekan lalu, itu untuk mendaftarkan The Carter Center, lembaga swadaya masyarakat yang dipimpinnya, sebagai pemantau pemilu di Indonesia, Juni mendatang. Langkah Carter itu atas rekomendasi Madeleine K. Albright, Menteri Luar Negeri Amerika Serikat, yang telah berkunjung ke Tanah Air beberapa waktu lalu. Presiden Habibie juga, menurut Carter, yang mengundang dia untuk datang ke Indonesia sebagai pemantau. Rencananya, lembaga Carter akan bekerja sama dengan lembaga-lembaga pemantau pemilu, baik yang lokal maupun internasional. Untuk menunjukkan keseriusan, Carter akan ikut terjun ke lapangan dan berkunjung dari tempat pemungutan suara (TPS) yang satu ke TPS yang lain. "Saya akan mengunjungi sebanyak mungkin TPS, " kata Carter kepada wartawan di Hotel Borobudur, Jakarta. Selain bertemu Ketua KPU Rudini, Carter juga menemui Presiden B.J. Habibie, Panglima ABRI Jenderal Wiranto, para pemimpin partai politik dan lembaga pemantau pemilu. The Carter Center yang berbasis di Kota Atlanta AS, adalah organisasi yang bergerak dalam bidang kemanusiaan, kesehatan, penegakan demokrasi dan hak asasi manusia. Lembaga ini telah ikut memantau pemilu di Nikaragua, Haiti, Zambia, Ghana, Guyana, dan Paraguay.

Undang-Undang Subversi Dicabut
Undang-undang subversi itu akhirnya "dikubur". Menteri Kehakiman Muladi menyampaikan langkah pemerintah tersebut di Sidang Paripurna DPR RI, Jakarta, Rabu pekan lalu. Undang-Undang No. 11/PNPS/1963 tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi itu dijuluki sebagai undang-undang "karet". Saking lenturnya, aturan itu bisa dipakai oleh pemerintah, terutama Orde Baru, untuk "menembak" para oposan. Asal berani mengkritik pemerintah, palu tuduhan subversi bisa diketukkan. Walaupun produk Orde Lama, undang-undang "karet" itu tetap dipakai Orde Baru, bahkan menjadi senjata Soeharto untuk mempertahankan kekuasaannya. Alasan pencabutan itu untuk memenuhi amanat Ketetapan X/MPR/1998 tentang reformasi. "Legal spirit yang melatarbelakanginya sudah mengalami perubahan total," kata Muladi. Sebagai gantinya, pemerintah mengajukan rencana undang-undang perubahan terhadap Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang berkaitan dengan kejahatan terhadap keamanan negara. Langkah itu menyusul pengajuan Rancangan Undang-Undang tentang Pencabutan Undang-Undang Subversi oleh pemerintah ke DPR.

Surat Hasan Tiro untuk Kofi Annan
Gejolak Aceh Merdeka ternyata semakin kuat. Tengku Hasan M. di Tiro, Presiden Aceh Merdeka, Rabu pekan lalu secara resmi berkirim surat kepada Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Kofi Annan. Menurut Hasan Tiro, yang kini bermukim di Swedia, PBB perlu bertindak tegas menghadapi memburuknya pelanggaran hak asasi manusia di Aceh. Kasus mutakhir pelanggaran HAM di Aceh, seperti dikutip Tiro, adalah luka berat yang menimpa 111 demonstran yang menginginkan dialog dengan Presiden Habibie di Masjid Raya Baiturrahman, Banda Aceh, Jumat dua pekan lalu. Sejak lepas dari status daerah operasi militer (DOM), Agustus 1998, Aceh semakin jadi perhatian dunia internasional. Harian Harakah yang terbit di Malaysia menyebutkan bahwa sepanjang sepuluh tahun status DOM, sejumlah 39.000 pejuang Gerakan Aceh Merdeka dibunuh tentara ABRI, ribuan perempuan diperkosa, dan ribuan anak-anak terpaksa jadi yatim-piatu. Sementara itu, sebuah konferensi internasional bertajuk "Masa Depan Integrasi Indonesia, dengan Fokus Aceh", digelar di Massachusetts, Amerika Serikat, Sabtu pekan lalu. Penyelenggara konferensi adalah Forum Internasional tentang Aceh (IFA), sebuah forum LSM yang punya kepedulian pada nasib Aceh. Pemerintah Indonesia sebenarnya juga diundang turut berpartisipasi dalam konferensi ini. Namun, entah kenapa, pemerintah menolak duduk bersama mencari solusi yang tepat.

Tual Meledak, Larat Memanas
Ambon masih banyak menyimpan bara. Kali ini yang terbakar adalah Tual, Ibu Kota Kabupaten Maluku Tenggara. Peristiwa buruk ini terjadi di tengah berita membaiknya situasi keamanan di kawasan Ambon, sejak Tim Khusus ABRI yang diketuai Mayjen TNI Suaidi Marasabessy diturunkan. Sejauh ini, belum jelas apa pemicu kerusuhan yang berlangsung sejak Rabu, 31 Maret lalu, pukul 04.00 dini hari, sampai Kamis, 1 April, pukul 18.00 WIT itu. Menurut catatan petugas, sudah sepuluh orang meninggal dunia, puluhan luka berat, 90 rumah terbakar, dan tiga mobil dibakar massa. Kerusuhan ternyata cepat merambat. Pulau Larat, kecamatan yang termasuk wilayah Maluku Tenggara, termasuk arena kerusuhan yang paling parah. Susahnya, hingga Jumat malam lalu, handy-talkie, satu-satunya alat komunikasi yang menghubungkan Tual dan Larat, sama sekali terputus. Begitu pula transportasi melalui laut. Akibatnya, bagaimana duduk perkara kejadian serta berapa korban yang jatuh belum bisa dideteksi. Menurut informasi sementara, kerusuhan di Larat?yang didominasi masyarakat muslim?terjadi saat salat Jumat sedang berlangsung. Informasi lain mengabarkan, kerusuhan terjadi setelah salat Jumat. Dua desa diduga saling serang, yakni Tutrean dan Metuan, dan mengakibatkan 60 rumah terbakar. Karena simpang-siurnya situasi, berapa jumlah korban belum diketahui dengan pasti. Raja Tual, Haji Muhammad Tamher, berharap agar Jakarta tidak memanaskan kondisi yang sudah kacau. Tamher memohon, "Kami di sini sekarang sedang bertahan. Tolong, upayakan situasi agar dingin."

Bocoran Surat Syahganda
Belakangan ini, Menteri Koperasi dan Pembinaan Pengusaha Kecil dan Menengah Adi Sasono ramai diperbincangkan. Pemicunya adalah sepucuk surat dari Syahganda Nainggolan, mantan aktivis ITB yang kini jadi motor Partai Daulat Rakyat (PDR). Surat yang dengan cepat beredar di internet ini dengan gamblang bercerita tentang sepak terjang politik Adi Sasono, yang kini masih Ketua DPP Partai Golkar, dan PDR. Syahganda mengawali surat untuk Adi dengan salam akrab khas kawan lama. Keduanya sama-sama alumnus ITB. Selain itu, Syahganda juga melapor dan meminta persetujuan Adi Sasono untuk berbagai soal yang menyangkut sederet tokoh penting, antara lain Abdurrahman Wahid, Siti Hardijanti Rukmana, dan Hariman Siregar. Intinya, Syahganda dan Adi sedang merancang skenario yang melibatkan PDR untuk melicinkan jalan Habibie menuju kursi presiden. Nah, apakah surat tersebut sahih? Menurut pengakuan Syahganda kepada Hardy Hermawan dari TEMPO, surat itu palsu. "Itu fitnah. Tanda tangan saya tidak seperti yang tercantum di surat itu," katanya. Syahganda juga mengakui kedekatannya dengan Adi Sasono. "Bukan apa-apa, Mas Adi punya kepedulian sangat tinggi terhadap masalah kerakyatan," kata lelaki yang pernah dipenjara tiga bulan lantaran memukul seorang polisi ini. Adi Sasono juga tak membantah kedekatannya dengan Syahganda, tapi Adi membantah keterlibatan dirinya dalam pendirian PDR. Menurut Adi, pendiri PDR adalah orang-orang merdeka yang tak perlu sosok Adi Sasono untuk mendirikan partai. "Malah, itu sama dengan menghina kalau PDR dibilang berdiri karena saya," kata Adi, kalem.

Surat Zarkasih untuk Habibie
Inilah "impeachment" gaya Indonesia. Sepucuk surat dari Fraksi Persatuan Pembangunan melayang ke kantor Presiden. Terdiri dari lima halaman, surat itu memuat tujuh pertanyaan seputar kasus "Hallo Habibie-Ghalib". Motor penggeraknya adalah Ketua FPP Zarkasih Nur, yang ngotot mempertanyakan materi pembicaraan Presiden B.J. Habibie dan Jaksa Agung Andi M. Ghalib belum lama ini, yang dikenal dengan kasus "Hallo Habibie-Ghalib". Pembicaraan itu mengesankan pemerintah tak serius mengusut mantan presiden Soeharto. Ditandatangani 62 anggota FPP, surat itu disusun penuh santun. Semua pertanyaan diawali dengan kalimat: "Sependapatkah Saudara Presiden..." Yang paling penting adalah pertanyaan yang secara tidak langsung meminta Presiden agar datang pada Rapat Paripurna DPR untuk menjernihkan kesimpangsiuran, plus embel-embel agar Presiden menjawab surat itu secara lisan, alias datang ke DPR, secepat-cepatnya. Jadi, ya, semacam impeachment (meminta pertanggungjawaban). Sayangnya, sejak surat terkirim Jumat dua pekan lalu sampai berita ini ditulis, "jawaban" dari si penerima surat belum terdengar. Jangankan presiden, fraksi-fraksi lainnya pun emoh mendukung gagasan Zarkasih.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus