ADA yang biasa, ada yang sedikit menghibur, dan ada yang bisa jadi inspirasi dari cerita bola kali ini. Kesebelasan Semarang menjadi juara Liga Indonesia setelah menunggu sejak 1987. Tim "Mahesa Jenar" itu mengalahkan "Bajul Ijo" Surabaya dengan 1-0 di Stadion Klabat, Manado. Kecuali penantian Semarang yang 12 tahun itu, tak ada yang istimewa dari kejuaraan sepak bola Indonesia itu. Dari segi mutu, teknik kedua tim masih "segitu-segitu" saja. Yang sedikit menghibur barangkali lahirnya "Maradona dari Purwodadi", si kecil lincah Tugiyo, yang membobol gawang Surabaya.
Catatan lainnya serba suram. Untuk pertama kalinya kejuaraan sepak bola Indonesia yang dibuka di Jakarta itu ditandai tewasnya korban di kedua kubu. Tiga suporter Surabaya tewas sewaktu dipulangkan paksa dengan kereta api. Setibanya di Stasiun Pasarturi, Surabaya, ketiga pemuda Surabaya itu meninggal karena darah terus mengucur dari luka-luka di tubuh mereka—akibat serangan "bom molotov" yang dilemparkan penduduk sepanjang perjalanan Jakarta-Surabaya.
Di pihak Semarang, enam orang pendukungnya juga tewas terlindas kereta api. Tadinya ratusan orang itu akan dibawa aparat keamanan Jakarta ke Markas Brimob Kelapadua untuk kemudian dibawa ke Senayan. Tapi informasi simpang-siur, tak semua suporter Semarang tahu akan dibawa ke mana. Mereka marah dan mencoba menghentikan kereta api Jabotabek di Lentengagung. Tapi mana ada kereta api yang bisa mendadak berhenti seperti bus atau truk, dan akibatnya enam orang itu tewas mengenaskan.
Kekerasan sangat menonjol dalam kejuaraan ini. Ada perang batu antarpenonton. Ada adu tinju antarpemain di lapangan bola. Ada kereta api yang dihancurkan kaca-kacanya dan Perumka merugi Rp 2,5 miliar. Ada perempuan yang nyaris diperkosa penonton sepak bola. Dan puncaknya: seumur-umur baru sekali inilah final kejuaraan sepak bola yang dimulai di Jakarta harus "diungsikan jauh" ke Manado. Kepala Polisi Jakarta melarang pertandingan final Surabaya versus Semarang itu berlangsung mengingat kerusuhan terus terjadi—walaupun di pertandingan terakhir di Senayan, Jakarta, aparat mengerahkan hampir 4.500 personel.
Dan kompletlah bukti bahwa aparat keamanan (setidaknya di Jakarta) gagal menangani soal pendukung sepak bola. Jalan pintas: final diasingkan jauh ke Manado. Untuk ini ada yang bisa jadi inspirasi: kalau mengamankan Jakarta dari bonek saja tidak bisa, apalagi menangani pendukung 48 partai dalam pemilu nanti. Penyelesaian: pindahkan saja pemilu ke Manado.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini