Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SPESIALIS custom furniture sesuai selera, dengan harga bikin pusing kepala”. Begitu bunyi profil sebuah akun Instagram bernama @sebat_project yang menawarkan mebel model kekinian berciri paduan warna putih bersih dan aksen kayu natural. Foto-foto produk di akun itu tak begitu istimewa, tapi keterangan fotonya yang bikin geleng-geleng kepala. Alih-alih berisi informasi rinci soal produk, material, dan harga, caption @sebat_project sengaja dibuat nyeleneh. “Selalu bersyukur, meski beli apa-apa selalu ngangsur,” begitu misalnya. Atau, “Jangan malu apalagi takut nanya harga, karena itu bukan perbuatan dosa. Kalau gak mahal, ya mahal banget biasanya.”
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Akun dengan hampir 32 ribu pengikut itu milik perusahaan mebel skala kecil-menengah yang berbasis di Sukoharjo, Jawa Tengah. Pemilik Sebat Project, Dhedy Hendro Prasetyo, 33 tahun, mengatakan tulisan-tulisan lucu di caption Instagram itu terbukti menjadi strategi jitu yang membuat usahanya terus meningkat sejak didirikan pada 2016. Seperti pengusaha mebel kecil-kecilan di Solo dan sekitarnya, Dhedy bersama adiknya, Fajar Nugroho, memulai usaha dengan mendirikan bengkel, menjaring tukang, memproduksi mebel, lalu menjajakannya secara door to door. Selama beberapa bulan, tak ada hasil menggembirakan. “Mentok di angka Rp 10-20 juta,” kata Dhedy, awal November lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sejak awal, Dhedy sebenarnya sudah memanfaatkan media sosial untuk memasarkan produk. Namun, dengan foto dan caption yang lurus-lurus saja, tak ada perubahan penjualan yang signifikan. Iseng, Dhedy mengganti keterangan foto dengan kata-kata sekenanya. Ternyata banyak pengguna Instagram terpancing oleh keisengan itu. “Tujuan saya bukan agar orang beli, tapi hanya agar diingat karena beda dari yang lain,” ujar Dhedy.
Bermodal akun Instagram dan kreativitas Dhedy membuat caption, pada 2017 Sebat Project mencatat kenaikan omzet menjadi Rp 80-90 juta per bulan. Tren itu terus membaik hingga mencapai puncaknya empat bulan terakhir. Pembeli datang dari berbagai wilayah di Indonesia, paling banyak dari Jakarta. Sebat Project kini dapat membukukan pemasukan Rp 230-350 juta setiap bulan. Angka itu sebenarnya bisa lebih tinggi karena permintaan yang datang sebenarnya lebih besar. “Tapi memang kapasitas maksimal kami baru pada angka 200-an juta, lebih dari itu bisa kewalahan,” katanya.
Kini Sebat Project memusatkan Instagram sebagai sarana promosi dan penjualan. Hampir 90 persen pembeli mengetahui produk mereka dari media sosial itu. Dhedy juga mengubah pola bisnis dari memproduksi sendiri produk mebelnya menjadi menjalin kemitraan dengan sembilan bengkel di Sukoharjo, masing-masing dengan spesialisasi sendiri, seperti spesialis furnitur berkaki besi, spesialis tempat tidur, atau custom rumit sesuai dengan permintaan pelanggan. Selain itu, Dhedy mempelajari skema bisnis lewat media sosial untuk menumbuhkan akun, misalnya lewat endorsement. Dia mengingat saat Sebat Project diiklankan influencer @amrazing. Lewat satu story saja, pengikut Sebat Project bertambah 3.000, yang berbuah penjualan produk senilai Rp 25 juta.
Media sosial tak hanya berdampak besar bagi pemain mebel lokal seperti Sebat Project. Perusahaan mapan seperti Vivere juga menyadari mereka harus lebih agresif menggunakan media sosial dalam strategi pemasaran. Terutama karena pangsa pasar terbesar masih dari domestik. “Kami meningkatkan budget mar-keting di dunia digital untuk awareness dan leads generator,” ujar Direktur PT Vivere Multi Kreasi William Simiadi lewat wawancara tertulis.
Selain menampilkan katalog produk di Instagram, Vivere memanfaatkan fitur tagar #VIVEREstories untuk mendorong engagement lewat foto-foto proses produksi di balik layar dengan sentuhan cerita humanis tentang nilai-nilai yang dianut perusahaan tersebut. Lewat tagar itu, Vivere menonjolkan keunggulan mereka, seperti pemilihan bahan baku ramah lingkungan dan pengerjaan detail yang menggunakan sentuhan tangan, dua hal yang belakangan menjadi perhatian konsumen furnitur global.
Industri mebel Tanah Air sedang menunggangi angin perubahan yang positif. Selama beberapa waktu, pertumbuhan industri mebel Indonesia terus tertinggal dibanding negara lain, seperti Cina, India, dan Vietnam, yang merupakan pemain terbesar pasar furnitur dunia. Dibandingkan dengan nilai produksi mebel Cina yang mencapai US$ 250 miliar per tahun atau Vietnam yang menyentuh angka US$ 11 miliar, industri mebel Indonesia, yang baru berkisar pada angka sedikit di atas US$ 1 miliar, belum apa-apa. Namun peluang untuk menguat terbuka lebar.
Bengkel furnitur Sebat Project di Sukoharjo, Jawa Tengah./Dok. Sebat Project
Direktur Jenderal Industri Kecil-Menengah dan Aneka Kementerian Perindustrian Gati Wibawaningsih mengatakan industri furnitur nasional terus bertumbuh, baik dalam nilai ekspor maupun pasar domestik. Sepanjang Januari-September tahun ini, total ekspor produk furnitur yang terbuat dari rotan dan kayu mencapai US$ 1,38 miliar, lebih tinggi 10 persen dibanding periode yang sama pada 2018. “Diprediksi akhir 2019 total ekspor produk furnitur meningkat menjadi US$ 1,8 miliar,” ucap Gati.
Kenaikan nilai ekspor terjadi antara lain karena faktor perang dagang Amerika Serikat versus Cina. Dengan dibatasinya keran produk Cina, produk mebel Indonesia memiliki celah menembus pasar negara Presiden Donald Trump. Hingga September 2019, Gati mencatat ekspor produk furnitur Indonesia ke Amerika mencapai US$ 656 juta. Angka tersebut berpeluang tumbuh terus sebesar 10-15 persen. “Pemerintah mengincar potensi ekspor senilai Rp 1.344 triliun ke pasar Amerika Serikat,” kata Gati.
Dari pasar domestik, ada kenaikan kontribusi industri furnitur untuk produk domestik bruto sebesar Rp 2,8 triliun pada triwulan ketiga 2019 dibanding tahun sebelumnya. Menurut Gati, seiring dengan tumbuhnya industri properti dan meningkatnya pendapatan kelas menengah di kota-kota besar, penjualan produk furnitur di pasar domestik dapat tumbuh 11 persen.
Sekretaris Jenderal Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia Abdul Sobur mengatakan pasar domestik bisa menjadi peluang yang sangat menjanjikan digarap pemain industri furnitur. Dia mengambil contoh Thailand, yang dapat memanfaatkan pertumbuhan industri pariwisatanya untuk memperkuat penjualan furnitur dalam negeri. “Selama ini, pasar domestik kita belum serius dibicarakan. Malah brand luar, seperti IKEA dan Informa, yang masuk ke sini dan memperebutkan pasar dalam negeri,” ujar Abdul.
Gati membenarkan ada persaingan pelaku industri lokal dengan produk furnitur impor. Meski secara angka penjualan merek furnitur lokal masih lebih tinggi dari merek luar, konsumen mulai melihat pilihan lain dalam memilih mebel sehingga pertumbuhan penjualan furnitur impor terus meningkat. Produsen dalam negeri dituntut berinovasi untuk mempertahankan pangsa pasarnya.
Akun Instagram Sebat/Tempo/Ratih Purnama Project (bawah).
Menurut Gati, Indonesia punya keunggulan berupa ketersediaan bahan baku kayu yang melimpah dan furnitur dengan bahan kayu alami masih menjadi favorit konsumen. Namun meningkatnya kepedulian konsumen terhadap kelestarian lingkungan membuat aspek proses produksi dan material ramah lingkungan menjadi faktor yang harus diperhatikan.
Untuk perusahaan sekelas Vivere, tuntutan sustainability telah lama menjadi poin yang diperhatikan. Menurut William Simiadi, semua sumber bahan kayu yang digunakan perusahaannya sudah ramah lingkungan dan sesuai dengan ketentuan sertifikasi verifikasi legalitas kayu. Material seperti particle board dan me-lamine face chipboard dipastikan memiliki kadar formaldehida yang sangat rendah. Untuk bahan rotan, Vivere mengedukasi mitra petani mereka untuk memanen dengan cara yang dapat lebih berkelanjutan. “Dalam beberapa tahun terakhir, finishing produk kami juga sudah menggunakan bahan berbahan dasar air, yang sudah pasti lebih ramah lingkungan,” ujar William.
Tapi tuntutan untuk memenuhi standar sustainability global, seperti legalitas kayu dan material yang betul-betul ramah lingkungan, masih sulit dipenuhi pemain seperti Sebat Project. “Standar itu ketinggian untuk kami. Kami butuh edukasi dan pendampingan dari pemerintah,” kata Dhedy Hendro Prasetyo.
Menembus Pasar dengan Bahan Ramah Lingkungan
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo