Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

arsip

Observasi dan Prognosis 2020

Adrian Panggabean, Kepala Ekonom Bank CIMB Niaga

7 Desember 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DALAM membangun sebuah prognosis terhadap perekonomian Indonesia, sudah lama saya menggunakan teknik observasi, baik empiris maupun anekdotal, terhadap lima hal. Bukan semata-mata model statistik, teknik ini membantu saya mengkonfirmasi data dengan realitas.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Observasi pertama terkait dengan struktur ekonomi Indonesia, yang relatif mirip dalam 10 tahun terakhir. Pangsa konsumsi dalam total produk domestik bruto (PDB) yang sangat besar berada di kisaran 55-56 persen. Adapun pangsa investasi selalu di kisaran 31-33 persen. Pangsa cross-border income (elemen ekspor dan impor dalam PDB) juga tidak berubah signifikan. Naik-turunnya laju pertumbuhan ekspor ataupun impor banyak ditentukan oleh harga komoditas. Relatif statisnya struktur ekonomi memberi nuansa kental bahwa Indonesia sebetulnya tidak pernah mengalami transformasi yang berarti dalam 10 tahun terakhir.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Struktur PDB secara sektoral relatif sama. Besaran relatif antara sektor primer, sekunder, dan tersier tidak berubah banyak dalam satu dekade terakhir. Perubahan di setiap subsektor juga mudah dikenali. Pangsa pasar subsektor manufaktur di dalam PDB, misalnya, memiliki pola yang cenderung menurun dalam 10 tahun terakhir. Dari dinamika konsumsi dan investasi, yang mengambil porsi 86-89 persen dari PDB, saya sudah bisa menduga arah trajektori ekonomi pada tahun berikutnya. Efeknya, proses estimasi koefisien untuk proyeksi menjadi lebih mudah.

Observasi kedua terkait dengan konsep dan teknik perhitungan data PDB serta pemahaman praktis terhadap faktor utama penggerak konsumsi di Indonesia. Di sini saya melihat adanya hubungan menarik antara koefisien pengganda konsumsi kita (consumption multiplier) yang uniknya relatif stabil dan angka pertumbuhan konsumsi dalam PDB. Hubungan ini membuat proyeksi angka pertumbuhan konsumsi (antartahun) menjadi lebih mudah, yakni akan berada di kisaran 4,9-5,2 persen, meski terjadi fluktuasi yang tajam dalam aktivitas bisnis. Dengan koefisien itu, saya selalu menduga besaran margin kontribusi konsumsi dalam pertumbuhan PDB berada di kisaran 2,8 percentage point. Efeknya, dalam membangun sebuah proyeksi, saya mudah menarik garis bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia (year-on-year) sulit jatuh di bawah 4,5 persen.

Observasi ketiga terkait dengan relatif stabilnya angka koefisien pengganda konsumsi (consumption multiplier) di atas, Hal ini menarik perhatian karena di balik angka koefisien tersebut ada pola kecenderungan konsumsi (propensity to consume) dari masyarakat. Pertanyaannya: apakah benar pola kecenderungan konsumsi masyarakat kita tidak berubah selama satu dekade terakhir? Bila ya, mengapa hal itu bisa terjadi? Yang pasti, observasi ini membantu saya dalam melakukan prognosis terhadap setengah dari angka PDB.

Relatif stabilnya pola kecenderungan konsumsi mungkin terjadi karena beberapa faktor. Mungkin akibat struktur pajak atau subsidi yang tidak berubah sehingga tidak ada insentif buat masyarakat mengubah pola belanjanya. Teori juga mengajarkan bahwa pola konsumsi tidak berubah bila tingkat pendapatan tidak berubah. Tapi teori ini mudah dibantah dalam kasus Indonesia. Pendapatan per kapita kita naik, bahkan bila dikoreksi dengan inflasi. Apakah mungkin tingkat dan pola tabungan masyarakat tidak berubah? Atau mungkin akibat distribusi pendapatan antarkelompok pendapatan yang tidak mengalami perubahan?

Bila jawaban dari semua pertanyaan itu adalah “ya, tidak ada perubahan”, pertanyaan berikutnya: apa peran dari kebijakan ekonomi selama ini? Tapi, bila jawaban dari beberapa pertanyaan itu adalah “tentu ada perubahan pola konsumsi”, pertanyaan berikutnya mengapa angka koefisien pengganda konsumsinya relatif statis? Observasi ini jelas membantu saya saat melihat angka indeks penjualan retail dan indeks produksi dalam menjelaskan dinamika permintaan agregat.

Observasi keempat terkait dengan bentuk kurva imbal hasil (yield curve) di pasar finansial. Yield curve merefleksikan perilaku atau sentimen pasar keuangan akibat pergerakan antar dan intra aset. Dalam 10 tahun terakhir, bentuk kurva di pasar finansial kita agak mirip. Gradiennya tidak pernah terlalu curam atau terlalu rata, bahkan pada saat terjadi kenaikan atau penurunan tajam suku bunga. Bentuk gradien seperti itu memberi sinyal bahwa laju pertumbuhan PDB akan sulit menanjak jauh di atas 5 persen. Bentuk gradien tercipta dari keseimbangan tabungan-investasi di pasar keuangan. Dan pola keseimbangannya memang tidak pernah berubah dalam 10 tahun terakhir. Pasar keuangan kita secara kronis bergantung pada modal asing. Keseimbangan neraca pembayaran kita selalu ditentukan oleh arus masuk portfolio dan tuas kebijakan moneter (baca: fluktuasi suku bunga acuan). Walhasil, dengan savings rate yang hanya 30-3 persen dari PDB, sulit buat saya untuk membuat skenario pertumbuhan ekonomi yang terlalu tinggi. Saya mencatat sebuah rule-of-thumb: diperlukan savings rate 40 persen untuk bisa menggapai laju pertumbuhan PDB di kisaran 7-8 persen. Ironisnya, dalam 30 tahun terakhir, kita belum pernah melihat terobosan kebijakan untuk menaikkan savings rate ke level 40 persen. Efeknya, mudah untuk menarik garis estimasi pertumbuhan maksimum 5,5 persen saat melakukan prognosis.

Observasi kelima terkait dengan momentum pertumbuhan. Data resmi yang diterbitkan Badan Pusat Statistik memperlihatkan angka pertumbuhan (year-on-year) yang stabil di kisaran 5 persen. Yang menarik, bila faktor musiman (seasonality) kita hilangkan dari data PDB, saya menemukan sebuah gambaran yang mengkhawatirkan. Momentum ekonomi kita, yang dihitung lewat laju pertumbuhan antarkuartal (seasonally-adjusted, quarter-on-quarter) ternyata terus menurun, bahkan sejak 2009. Seorang teman yang punya rasa humor tinggi bahkan menghitung gradien penurunan momentum ekonomi kita, “Sekitar 10 derajat.” Buat saya, kecuraman 10 derajat cukup signifikan untuk menyalakan sinyal kewaspadaan. Dengan metode yang sama, saya melihat pertumbuhan konsumsi kita pada kuartal ketiga 2019 sudah jatuh cukup dalam. Angkanya 3,4 persen, terendah dalam sembilan setengah tahun terakhir. Penyebabnya, antara lain, efek dari over-tightening pada 2018. Dari perspektif kebijakan, kejatuhan momentum ekonomi selama satu dekade hanya bisa terjadi saat pemangku kebijakan lalai dalam merevitalisasi strategi dan kebijakan ekonominya. Efeknya, mudah untuk menarik garis maksimum pertumbuhan tahun 2019 dan 2020 tidak lebih dari 5,2 persen.

Saat kelima observasi itu diaplikasikan dalam model proyeksi, saya melihat bahwa laju pertumbuhan PDB tahun 2019 tampaknya akan berakhir di angka 5 persen. Saya sebetulnya melihat potensi pertumbuhan ekonomi yang sedikit lebih rendah dari 5 persen pada 2020. Tapi saya enggan membuat proyeksi yang terlalu akurat sehingga lebih cenderung mengatakan “5 persen”.

Observasi terakhir terkait dengan perbedaan model atau metodologi, yang menghasilkan variasi marginal antara satu proyeksi dan lainnya. Ada model yang menghasilkan sebuah rentang, yaitu dari 5,1 sampai 5,4 persen. Dengan asumsi berbeda, ada model lain yang menghasilkan proyeksi di rentang 4,8-5,1 persen. Ada pula instansi yang tampaknya menjunjung tinggi akurasi, dengan presisi dua digit di belakang koma sehingga mirip ilmu fisika, misalnya 5,05 persen. Tapi rerata konsensus dari kesemuanya adalah “5 persen”. Tanpa mengurangi rasa hormat terhadap perbedaan metodologi dan efek psikologis yang mungkin muncul dari variasi 0,1-0,2 persen di sekitar “5 persen”, para pelaku bisnis pengguna proyeksi biasanya mengambil angka bulat. Mereka menganggap laju pertumbuhan Indonesia ke depan (underlying business dynamics) sebenarnya akan sama saja. Dalam bahasa mereka: “business volume that we saw yesterday and today is what we’d probably see tomorrow”. Ini bukan pesimisme atau optimisme. Ini realisme. 

Akhir kata, yang mungkin lebih penting disampaikan bukanlah angka 5 persen, melainkan gumaman para pelaku ekonomi di lapangan: “If our policy continue to employ the same thinking process and using the same business process, then we should not expect a different outcome”.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus