Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Melesat Setelah krisis

Empat puluh nama dinobatkan majalah Forbes Asia sebagai orang terkaya di Indonesia. Tiga di antaranya melesat ke jajaran superkaya ketika badai krisis ekonomi dan keuangan mereda. Mereka adalah Trihatma Kusuma Haliman (Agung Podomoro), Eddy William Katuari (Grup Wings), dan Arifin Panigoro (Medco Energi). Apa rahasia bisnis mereka? Inilah laporan Tempo.

25 September 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
head0931.jpg

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

EDDY William Katuari bisa jadi nama yang asing bagi masyarakat di Surabaya, apalagi di Indonesia. Namanya memang hampir tak pernah nongol di media. Hanya kalangan tertentu, terutama kaum pebisnis, yang mungkin mengenal bos Grup Wings itu. Tapi majalah Forbes Asia edisi Senin pekan lalu menjadikannya bintang baru di dunia bisnis Indonesia.

Nama William Katuari masuk daftar 10 orang terkaya di negeri ini. Namanya kini sudah bisa disejajarkan dengan para pengusaha papan atas yang sudah menjadi langganan Forbes seperti Rachman Halim (Gudang Garam), Liem Sioe Liong (Salim), Budi Hartono (Djarum), atau Putera Sampoerna. Bahkan, dalam daftar itu, William di atas Liem dan Mochtar Riady (Lippo). Selain William, ada nama lain yang juga mengejutkan, yakni Trihatma Kusuma Haliman (Grup Podomoro).

Krisis finansial pada 1997 agaknya tak cuma melahirkan bencana tapi juga berkah. William dan Trihatma adalah sedikit dari pengusaha Indonesia yang luput dari terjangan krisis yang melanda Asia itu, justru ketika para raksasa lama bertumbangan. Malahan, keduanya berhasil memanfaatkan krisis untuk menjadikan perusahaannya raksasa-raksasa baru di dunia usaha Indonesia. William menjadi pengusaha bisnis barang kebutuhan konsumen, sedangkan Trihatma mencengkeram dunia properti, terutama di Jakarta.

Yang menarik, keduanya sebetulnya bukan pemain baru. Wings sudah berbisnis sejak 58 tahun silam, sementara usia Trihatma hampir memasuki 40 tahun. Kuncinya, kata Trihatma, adalah utang. Keduanya sepertinya enggan berutang dalam proporsi yang besar. Mereka sangat konservatif dan lebih mengandalkan modal sendiri. ”Pada saat krisis, keuangan William justru sangat likuid,” kata Dahlan Iskan, bos Grup Jawa Pos. Trihatma mengaku memiliki utang, tapi jumlahnya kecil. ”Kalau bisa, jangan berutang,” katanya.

Langkah mereka sangat berbeda dengan para konglomerat lain yang memacu ekspansi usaha justru dengan utang. Bank-bank didirikan hanya untuk dijadikan sapi perah. Bank pemerintah pun banyak kehilangan kendali dan mengucurkan kredit dalam jumlah jumbo. Tak mengherankan jika ketika krisis datang, suku bunga menanjak tinggi, bisnis mereka rontok akibat tak kuat menanggung beban utang.

Total jenderal ada sekitar Rp 600 triliun kredit macet yang harus ditanggung pemerintah dan masyarakat melalui program restrukturisasi perbankan. Para pengusaha diminta melunasi utangnya atau menyerahkan asetnya melalui Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Lembaga inilah yang kemudian menjual aset-aset itu untuk menutup dana negara yang sudah dikeluarkan untuk menyelamatkan perbankan.

William dan Trihatma dengan jeli melihat peluang itu. Mereka pun segera memburu aset yang hampir semuanya dijual murah. William antara lain membeli perusahaan produsen bahan baku sabun dan industri perawatan tubuh Salim Oleochemical, yang sebelumnya dimiliki Grup Salim. Trihatma memborong aset-aset yang ada di BPPN dengan cepat. ”Krisis ekonomi 1997 justru jadi peluang. It’s time to buy,” ujar Trihatma kepada Tempo.

Delapan tahun krisis berlalu, kini saatnya perusahaan-perusahaan yang tahan banting ini memanen biji yang mereka tanam sebelumnya. ”Kini saatnya kami menjual,” kata Trihatma. Hasilnya luar biasa. Dia kini tengah menyelesaikan 30-an proyek properti di beberapa sudut strategis Jakarta, di antaranya Kelapa Gading Square, Mangga Dua Square, Senayan City, dan The Pakubuwono Residence. Asetnya kini diperkirakan sudah mencapai lebih dari Rp 15 triliun.

Wings juga sudah menjelma dari sebuah perusahaan rumahan di pinggiran Surabaya menjadi konglomerasi yang menguasai banyak sektor usaha, mulai dari toiletries sampai perbankan. Wings kini sudah bisa disejajarkan dengan produsen multinasional seperti Unilever (Belanda), Procter & Gamble (Amerika Serikat), dan Kao (Jepang).

Selain tak bergantung pada utang, kedua perusahaan ini juga sangat fokus pada bisnisnya masing-masing. Wings tak pernah melepaskan cengkeramannya di bisnis toiletries, dan Podomoro juga terus berkutat di bisnis properti. ”Sampai saat ini kami masih fokus pada properti, entah nanti,” kata Trihatma. Dengan waktu yang sangat panjang itu, tak mengherankan jika mereka sangat memahami bisnisnya masing-masing.

Di luar berbagai soal tadi, keduanya sangat low profile dan lebih suka menghindari publikasi. ”Diam itu sudah menjadi kebijakan perusahaan,” ujar William Katuari kepada Tempo pekan lalu. Almarhum ayahnya, Johannes Ferdinand Katuari, mewanti-wanti anak-anaknya agar fokus pada bisnisnya saja. ”Kalian tidak perlu dikenal orang. Cukup barangnya saja yang dikenal orang,” kata Katuari senior.

Hal yang sama juga terjadi pada Trihatma. Wajahnya hampir tak dikenal orang seperti yang sering terjadi di pusat belanja dan perkantoran Senayan City. Setiap hari dia bebas melenggang mengamati pembangunan proyeknya yang kini hampir mendekati selesai itu atau berdesak-desakan di lift bersama para pengunjung dan pegawainya.

Kini keduanya tak bisa lagi bersembunyi. Forbes Asia telah memampangkan nama mereka tinggi-tinggi. Nama mereka pun menjulang seiring dengan membesarnya skala usaha mereka. Namun William merendah. Dia mengaku masih jauh bila dibandingkan Unilever dan Indofood. ”Kami belum sampai tingkat itu.”

MTQ, Heri Susanto, Bagja Hidayat

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus