Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Berkah Minyak buat Arifin

25 September 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nama lain juga mencuat di daftar Forbes Asia. Arifin Panigoro, pemilik Medco Energi. Kekayaan juragan pengebor minyak Arifin Panigoro juga melonjak dan posisinya berada di tempat ke-9, setingkat di atas Liem Sioe Liong. Tapi penyebabnya berbeda. Arifin menangguk untung dari lonjakan harga minyak mentah di pasar internasional dalam dua tahun terakhir.

Sejak 2004, harga minyak meroket tak terkendali. Penyebabnya bermacam-macam, mulai dari krisis dalam negeri di negara-negara produsen minyak, badai di mana-mana, juga konsumsi bahan bakar minyak yang terus meningkat. Harga minyak jenis Light di pasar New York, misalnya, melejit dari kisaran US$ 30-an menjadi US$ 70-an per barel. ”Kenaikan harga minyak sangat berpengaruh langsung,” ujar Arifin kepada Tempo.

Pada 1998, harga minyak jatuh di kisaran US$ 10 per barel, namun setelah krisis ekonomi harga minyak terus menanjak hingga menembus US$ 70 per barel pada tahun ini. Medco pun menangguk untung. Nilai kapitalisasi saham Medco di pasar kini naik 8 kali lipat dibandingkan 1998. Bahkan, bila dibandingkan dengan saat baru berdiri 26 tahun silam, nilai kapitalisasinya melesat 300 kali lipat.

Namun, sebagaimana pengusaha yang lain, Arifin sempat terjerat utang macet dan dibuat pusing tujuh keliling. Medco Energi megap-megap karena utang valuta asing senilai US$ 250 juta menjadi berlipat-lipat. Apalagi pada saat krisis ekonomi, harga minyak juga jatuh. ”Utang Medco menggunung dan macet,” ujar John S. Karamoy, mantan Presiden Direktur Medco Energi dalam bukunya The Oil Man.

Tapi, Medco tidak menghindar. Duduk bersama dengan kreditor, mereka membahas restrukturisasi utang dan efisiensi biaya di berbagai bidang. Didukung dengan kenaikan produksi dan kembali naiknya harga minyak, kondisi keuangan perusahaan minyak ini mulai pulih. Bila rasio utang terhadap modal pada 1998 sebesar 220 persen, pada dua tahun berikutnya (2000) menyusut menjadi hanya 28 persen. Arifin pun sudah bisa tersenyum.

MTQ, Heri Susanto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus