Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SUDAH empat hari Aisyah menjalani perawatan intensif di sebuah rumah sakit di Jakarta. Bayi itu terpaksa menjalani cuci darah karena mengalami gangguan ginjal akut pada anak. "Saya stres membayangkan bayi berusia 10 bulan harus cuci darah. Tapi apa boleh buat, semua demi keselamatan anak," ujar Nedy, ayah Aisyah, kemarin. Ia meminta nama rumah sakit tak disebutkan lantaran putrinya masih dalam perawatan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bersama sejumlah anggota keluarga pasien, Nedy duduk meriung di salah satu ruangan bagian basement rumah sakit tersebut. Adapun Aisyah dirawat di pediatric intensive care unit (PICU), ruang perawatan intensif untuk bayi, yang berada di lantai empat. Nedy hanya sesekali menengok Aisyah. "Orang tua tidak bisa mendampingi 24 jam," kata pria berusia 28 tahun itu. "Kami hanya bisa berjaga dari ruangan ini. Kalau ada apa-apa, nanti kami dipanggil dokter."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Nedy tidak pernah mengira putrinya akan mengalami gangguan ginjal akut. Apalagi Aisyah tidak pernah menderita sakit parah dan keluarga mereka tidak memiliki riwayat penyakit ginjal.
Pada 10 Oktober lalu, Aisyah memang menunjukkan gejala batuk, pilek ringan, disertai demam. Tiga hari kemudian, demamnya meningkat hingga 39,4 derajat Celsius. Nedy bergegas membawa Aisyah ke puskesmas. Dari hasil pemeriksaan, tidak ditemukan penyakit kronis. "Dokter hanya memberikan dua resep obat, yaitu paracetamol dan antibiotik, dalam bentuk sirop," ujar Nedy.
Keesokan harinya, Aisyah mulai jarang buang air kecil. Bahkan, Kamis lalu, ia hanya dua kali pipis. "Biasanya dalam sehari bisa delapan sampai sepuluh kali ganti pampers," kata Nedy.
Hari berikutnya, Aisyah hanya buang air kecil satu kali. Nafsu makan Aisyah hilang sehingga badannya lemas. "Pada 14 Oktober, sekitar magrib, badannya gemetar. Saya langsung bawa ke rumah sakit," kata Nedy.
Di instalasi gawat darurat (IGD), petugas medis mengambil sampel darah Aisyah untuk dites di laboratorium. Hasil tes keluar beberapa jam kemudian. Aisyah didiagnosis menderita campak disertai demam berdarah dan harus dirawat. "Selama rawat inap itu, demamnya tidak turun-turun, anak rewel terus, tidak mau makan-minum," ujar Nedy.
Pada pemeriksaan berikutnya, dokter menemukan peradangan di mulut Aisyah. Nedy beranggapan bahwa anaknya sariawan sehingga tidak mau makan. Namun dari hasil pemeriksaan laboratorium berikutnya, Aisyah diketahui mengalami kekurangan elektrolit. "Padahal anak saya tidak diare ataupun muntah dalam sepekan terakhir," kata Nedy. "Lalu sore menjelang magrib, kami melihat badan Aisyah bengkak serta telapak tangan dan telapak kaki membiru."
Kekhawatiran Nedy meningkat. Apalagi Aisyah sama sekali tidak buang air kecil. Ia bergegas melapor kepada petugas rumah sakit. Dokter kemudian memberi obat untuk merangsang Aisyah buang air kecil. Obat berbentuk cairan itu disuntikkan lewat infus. Dokter menyebutkan pasien pada umumnya bisa buang air kecil sekitar satu jam setelah obat disuntikkan. "Kami tunggu dari jam 7 sampai jam 8 malam, enggak keluar-keluar pipisnya," kata Nedy. "Kami panik. Saya inisiatif minta dokter memasang kateter. Setelah dipasang, ternyata enggak keluar juga."
Dokter kemudian mengambil sampel darah untuk mengecek kadar trombosit Aisyah. Sebab, berdasarkan hasil tes laboratorium sebelumnya, Aisyah juga menderita demam berdarah. Saat pengambilan sampel, terjadi pengentalan sehingga darah yang bisa diambil hanya sedikit. "Kami terkejut karena hasilnya fungsi ginjal dan fungsi hatinya meningkat," ucap Nedy. "Dokter juga bingung karena peningkatan fungsi ginjal bayi 10 bulan bahaya sekali."
Tim medis kemudian berkonsultasi dengan dokter ahli ginjal. Setelah berdiskusi, dokter menyampaikan tentang fenomena ginjal akut. Nedy dan keluarga diberi edukasi soal penyakit tersebut. "Ciri-ciri wabah itu ada di anak kami. Salah satunya kehilangan kemampuan buang air kecil secara mendadak," ujar Nedy.
Dokter kemudian merujuk Aisyah untuk menjalani perawatan di rumah sakit yang memiliki fasilitas cuci darah. Di rumah sakit tujuan, Nedy mendapati sejumlah anak yang memiliki gejala mirip dengan Aisyah. Hanya, gejala sampingan setiap anak berbeda-beda. Ada yang bergejala batuk, pilek, dan demam seperti Aisyah, ada pula yang disertai muntah-muntah. Menurut Nedy, Aisyah disebut beruntung karena bisa cepat ditangani. Sebab, kebanyakan pasien yang datang ke rumah sakit itu sudah dalam keadaan koma.
Hingga kemarin, 19 Oktober, Aisyah belum juga buang air kecil. Jika kondisi belum membaik, Aisyah terpaksa menjalani cuci darah kedua. Nedy hanya bisa pasrah. Dalam sepekan terakhir, sudah tiga anak meninggal akibat gagal ginjal akut di rumah sakit itu. "Kami sudah diberi tahu kemungkinan terburuk sejak awal. Kami hanya bisa berharap kepada Tuhan," tutur Nedy.
Suasana ruang cuci darah di sebuah rumah sakit di Jakarta. Dokumentasi TEMPO/Santirta
Sejak Agustus 2022, Kementerian Kesehatan dan Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) telah menerima laporan peningkatan jumlah kasus gangguan ginjal akut progresif atipikal yang dialami anak-anak berusia di bawah 5 tahun. Hingga 18 Oktober 2022, jumlah pasien yang tercatat sebanyak 206 anak dari 20 provinsi dengan angka kematian 99 anak.
Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta, Dwi Oktavia, mengatakan, sejak Januari hingga 19 Oktober 2022, ditemukan 71 kasus gangguan ginjal akut atipikal pada anak berusia 0-18 tahun. Mereka menjalani perawatan di sejumlah fasilitas kesehatan di Jakarta. Dari jumlah itu, 39 anak berdomisili di Jakarta, 9 anak dari Banten, 16 anak asal Jawa Barat, dan 7 anak berdomisili di luar Jabodetabek.
Dwi merinci, dari 71 kasus itu, 85 persen pasien adalah anak balita, dengan 56 persen di antaranya meninggal. Saat ini terdapat 16 pasien yang masih menjalani perawatan. "Di RSCM 12 kasus, RSAB Harapan Kita 2 kasus, RSUD Tarakan 1 kasus, dan RSUD Pasar Rebo 1 kasus," tutur Dwi.
Kementerian Kesehatan bersama IDAI, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), ahli epidemiologi, farmakolog, dan Pusat Laboratorium Forensik Polri masih menunggu hasil pemeriksaan laboratorium untuk memastikan penyebab dan faktor risiko dari gangguan ginjal akut pada anak. Juru bicara Kementerian Kesehatan, Syahril, mengatakan, dari hasil pemeriksaan sementara, tidak ditemukan bukti hubungan kejadian gangguan ginjal akut pada anak alias acute kidney injury (AKI) dengan vaksin Covid-19 ataupun infeksi corona. "Karena gangguan AKI pada umumnya menyerang anak berusia di bawah dari 6 tahun, sementara program vaksinasi belum menyasar anak usia 1-5 tahun," kata Syahril.
Dari hasil pemeriksaan terhadap obat yang dikonsumsi pasien, ujar Syahril, ditemukan jejak senyawa yang berpotensi mengakibatkan AKI. Saat ini Kementerian Kesehatan dan BPOM masih terus menelusuri serta meneliti secara komprehensif, termasuk kemungkinan faktor risiko lain.
Untuk meningkatkan kewaspadaan, Kementerian Kesehatan sudah meminta tenaga kesehatan pada fasilitas pelayanan kesehatan tidak meresepkan obat-obatan dalam bentuk sirop sampai hasil penelusuran dan penelitian tuntas. Kementerian juga meminta seluruh apotek tidak menjual obat bebas dalam bentuk cair. "Sebagai alternatif, dapat menggunakan bentuk sediaan lain, seperti tablet, kapsul, atau suppositoria (anal)," kata Syahril.
Kementerian Kesehatan mengimbau orang tua yang memiliki anak balita segera memeriksakan anaknya ke fasilitas kesehatan jika ditemukan gejala penurunan frekuensi buang air kecil. Gejala lain yang patut diwaspadai adalah mual dan muntah.
Gejala mual dan muntah itu terjadi pada Kalandra, 1 tahun. Gejala itu mulai terlihat pada 3 Oktober lalu. Sejak saat itu, kondisi Kalandra semakin buruk. Ibu Kalandra—yang enggan disebutkan namanya—menuturkan bayinya bisa muntah empat kali dalam sehari. Keesokan harinya, si ibu membawa buah hatinya ke puskesmas. Petugas medis memberi obat penawar mual dan muntah. Petugas juga memberi obat pereda demam berbentuk sirop untuk antisipasi.
Benar saja, pada 5 Oktober lalu, Kalandra mengalami demam. Sang ibu segera meminumkan pereda demam yang sebelumnya diberikan petugas puskesmas. "Setelah saya berikan, panasnya justru semakin tinggi, dari 37 derajat naik menjadi 38-39 derajat Celsius," ujar ibu Kalandra. "Padahal biasanya langsung turun."
Berselang empat hari kemudian, Kalandra mengalami kejang-kejang. Tanpa pikir panjang, sang ibu membawanya ke klinik terdekat. Di klinik ini, Kalandra diberi lima macam obat. Setelah itu, demamnya sempat turun. Namun pada hari berikutnya, Kalandra mulai mual dan muntah. "Saya perhatikan perutnya membesar. Saya kasih obat mual muntah dari klinik, terus muntah dan keluar cairan kuning dari mulutnya," ujar dia.
Pada 15 Oktober, suhu badan Kalandra panas lagi. Kalandra juga tidak buang air kecil dan menangis sepanjang malam. "Saya bawa ke puskesmas lagi, saya jelaskan gejalanya, lalu petugas puskesmas menyebutkan gejala ginjal akut," kata sang ibu. "Kami dirujuk ke rumah sakit."
Si ibu bingung karena anaknya tidak pernah sakit parah dan keluarga juga tidak memiliki riwayat komorbiditas. Kalandra akan segera menjalani cuci darah pekan ini, sementara dokter belum bisa memberi penjelasan ihwal penyebab gangguan ginjal akut itu. "Kami hanya bisa menguatkan satu sama lain di sini sambil menunggu kabar dari dokter," ujar ibu Kalandra.
DEWI NURITA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo