HARI cerah dan panjang di musim panas yang pendek dan rapuh.
Langit biru bening dan salju cemerlang. Kami menatap dunia yang
mahaluas itu. Permukaannya yang kemerlap dan terbuka, murni dan
angker, bagai pemandangan yang dilukis di kaca, gelas dan
porselin. Sir Ranulph Fiennes melompat dari geladak ke permukaan
es dan Ekspedisi Transglobe telah menjejakkan kakinya di
Anartika.
Penumpang yang lain menyusul melompat. "Menyentuhkan kaki ke
darat, kami menggelandang ke sekitar, dan menatap balik ke
kapal. Dicentangperenangi tiang-tiang dan mesin-mesin derek
kapal, Benyamin Bowring tergeletak kayak sebuah coretan di
pinggiran padang es."
Laporan perjalanan ke kutub itu ditulis oleh Bryn Campbell dalam
malalah Smithsonian Desember tahun kemarin. Bekas editor gambar
London Observer dan editor buku World Photography ini
menghabiskan 12 bulan untuk meliput Ekspedisi Transglobe itu.
Peristiwa ini bermula empat bulan sebelumnya, tepatnya 2
Desember 1979. Itulah saat Benyamin B(wring lego jangkar di
London dengan Pelindung Ekspedisi, Pangeran Wales, pada kemudi.
Pelayaran keliling dunia pertama melintasi darat, laut dan
padang es melalui kutub-kutub Utara dan Selatan itu disebut sang
pangeran sebagai "gagasan orang-orang Inggris yang benar-benar
gila dan luar biasa." Perjalanan keliling dunia biasanya justru
menghindari kutub, atau membelah dunia di sekitar katulistiwa.
Adapun gagasan "Utara-Selatan" ini lahir dari pikiran Ginny
(Virginia), istri Sir Ranulph sendiri. Ranulph, yang dipanggil
Ran itu, setelah tiga kali memimpin ekspedisi lebih kecil (juga
bertempur dengan kaum komunis di Oman) memerlukan petualangan
baru. Jimmy melihat suaminya suka pusing kalau diam saja di
rumah. Itulah sebabnya ia mengusulkan untuk menarik sebuah garis
tegak lurus - Greenwich Meridian - di sekitar bola dunia.
Untuk itu riset, perencanaan dan persiapan memerlukan waktu
tujuh tahun - sementara perjalanannya sendiri tiga tahun.
Anggaran biaya besar sekali, tentu. Untunglah, dengan Putra
Mahkota Kerajaan Inggris di belakang ekspedisi, mereka segera
memperoleh pemberian atau pinjaman peralatan dan suplai
keperluan lain dari berbagai perusahaan. Tak kurang pula
kesediaan sejumlah sukarelawan menjajal karir mereka sebagai
pembantu di bidang ekspedisi.
Dari para sukarelawan itu Ran memilih dua teman perjalanan:
Charles Burton dan Oliver Shepard. Seperti juga Ran, mereka
memiliki latar pendidikan umum dan pengalaman kemiliteran yang
sama. Ran pernah menjadi pramuka dan bergabung dalam SAS
(SpecialAirService) yang kesohor. Ia sebenarnya malah memiliki
karir militer yang bagus, menurut, Campbell, kalau tidak
dihancurkannya sendiri dengan menggandrungi petualangan
gila-gilaan.
Suatu waktu film Amerika Doctor Dolittle sedang dibikin di
sebuah desa Inggris yang istimewa indahnya. Inimembuat penduduk
setempat merasa terusik kenyamanan hidup mereka terutama karena
pembangunan bendungan buatan yang merusak lingkungan. Beberapa
orang malah menolak keras serbuan yankee-yankee itu. Ran lalu
diajak penduduk bergabung dalam rencana pemusnahan karung-karung
pasir bendungan, yang penempatannya dianggap "tindakan
sewenang-wenang kaum yang merasa dirinya kuat".
Ran dan teman-temannya meledakkan dinamit untuk mengalihkan
perhatian - dan pada saat itulah mereka menyerang bendungan.
Tapi polisi sudah menunggu, dan jaksa menuduh mereka
menyalahgunakan bahan-bahan peledak. Mereka dihukum denda, dan
Ran copot dari SAS. Bagaimanapun, insiden itu agak berpengaruh
terhadap semangat avonturnya. "Agaknya penting bagi Ran untuk
memimpin dan terlihat memimpin," tulis Campbell. Bergairah dalam
bersaing. Ran orang yang tidak berlapang dada terhadap kritik.
Tapi ia mampu bekerja keras ketimbang lainnya, dan tidak pernah
mengelak dari tanggung jawab.
Ollie dan Charlie adalah pribadipribadi yang lebih rileks. Ollie
memperoleh anugerah daya tarik ia tidak pernah kehilangan
keramahan dan ketenangan dalam keadaan yang paling gawat
sekalipun.
Charlie dalam pada itu orang yang lembut hati dan lapang dada,
yang senantiasa dapat diandalkan dalam keadaan gawat. Jika Ran
berkemampuan untuk sukses, Charlie memiliki daya untuk survive.
Kelompok tiga orang penjelajah padang es itu saling isi mengisi
- plus Ginny, yang bertanggung jawab di bidang komunikasi dan
pembantu pemeliharaan.
"Saya bergabung dengan ekspedisi secara berkala, sebagai
reporter dan yang potret," tutur Campbell tentang dirinya.
Sedang Pangeran Char sangat bersemangat: keberangkatan
ekspedisi diantarnya sampai ke muara Sungai Thames, bahkan
dikemudikannya sendiri kapal ekspedisi.
Perlawatan dimulai melalui Prancis dan Spanyol, lalu menyeberang
dan mulintasi Aljazair. Dari sana mereka stterangi Sahara
Barat, melalui rute uris. Memang, seperti dikatakan si
wartawan, "jangan terlalu diharapkan bahwa tim akan menghadapi
masalah biar di luar daerah kutub, Lintasan tarat Laut, dan
mungkin Sungai Yukon". Tempat-tempat itu memang "klimaks".
Dan benar. Kekhawatiran mulai muncul ketika mereka tiba di
daerah tujuan di Antarktika, Sanae Butche. Sejumlah 1.100 drum
bahan bakar dan 200 ton bahan keperluan lainnya harus
diluncurkan sepanjang satu mil melintasi teluk es. Dimuatkan di
papan peluncur, semua perlengkapan itu "dialirkan" ke sebuah
lokasi perkembangan sekitar satu mil ke pedalaman, pada kawasan
yang aman dari bibir padang es.
Delapan jam bertugas dan empat jam istirahat, awak ekspedisi
bekerja siang malam. Satu drum bahan bakar beratnya sekitar 225
kg, dan sebuah mobil salju kecil dua tak hanya mampu menarik dua
drum sekali jalan.
Sopir-sopirnya berpakaian dan bergaya bagai penerbang pesawat
tempur Perang Dunia 1. Menarik kereta salju yang
terlumpat-lumpat, seorang sopir bisa menimbulkan gaduh di
seluruh teluk. Sambil mendaki tanjakan, ia terlonjak dan
terhempas di jok, menukar dan memasukkan perseneling kendaraan.
Maklum di padang es yang tidak rata. Dan segera setelah
membongkar, ia memburu kembali ke tempat muatan.
Tampaknya asyik. Tapi tidak, bila dialami sendiri. Menurut yang
empunya cerita, "Suhu anjlok, dan angin mulai bangkit. Dan
persekutuan dua faktor itu memang mematikan." Soalnya, pada
kekencangan yang normal saja, efek dinginnya menjadi tiga kali
ganda. Muka membeku, hidung bocor terus, dan kaki kejang-kejang.
Di Sanae, pondok-pondok prefab khusus untuk ekspedisi dengan
cepat didirikan. Dibuat dari karton sekatan, tampaknya masih
kurang sesuai dengan suhu Antarktika. Bayangkan, . temperatur
di musim dingin yang -76ø F dan kecepatan angin yang 100 knot
belumlah luar biasa. Sebab keadaan bisa lebih buruk dari itu.
Namun mereka tetap bergairah.
Gubuk-gubuk sekatan juga dibangun di Kemah 2. Letaknya 200 mil
lebih jauh, di Pegunungan Borga Massif. Sekitar 90 ton bahan
bakar dan perlengkapan akan diterbangkan ke sana oleh pesawat
Transglobe, pesawat Twin Otter De haviland yang dilengkapi
peluncur, dengan Giles Kershaw sebagai penerbang dan Gerry
Nicholson sebagai ahli mesin. Keduanya sudah berpengalaman dalam
penerbangan di kawasan kutub.
Pesawat itu melakukan 80 kali penerbangan keliling ke pangkalan
baru, ke ketinggian 6.500 kaki di pegunungan. "Kembali dari
Borga pada suatu malam yang larut, kami terbang di atas kapal
ekspedisi begitu ia meninggalkan Cape Town," lapor Campbell.
Matahari yang rendah (mereka menikmati siang 24 jam sehari)
hanya mampu memanasi satu sisi saja dari pesawat, seperti cahaya
yang datang dari panggangan listrik Bayangan kapal terentang
jauh ke teluk.
Kemudian, dari landasan udara darurat, si wartawan mengendarai
mobil salju sejauh satu mil dari kapal. "Di sana aku berhenti,
dan mematikan mesin. Kesunyian yang dalam tiba-tiba
memperangkapku. Keheningan yang diam dan kedamaian yang abadi
menggantung berat di udara." Dan itulah wilayah Kutub Selatan.
Ran, Ollie dan Charlie meninggalkan Sanae menuju Borga dengan
mobil salju sendiri-sendiri, masing-masing menarik kereta
bermuatan berat dengan tali sepanjang 50 kaki. Secara teori,
jika mobil masuk ke celah es, sebuah alat yang dipasang pada
ujung tali akan mengerem kereta salju - dan menahan mobil.
Pengendara yang mengenakan tali dan sabuk pengaman lalu dapat
memanjat, atau dikerek ke luar. Syukur, mereka berhasil
melintasi jembatan salju yang terentang di atas celah es yang
besar dan seperti tak berdasar.
Kawasan yang paling berbahaya di Kutub Selatan disebut Zona
Engsel. Setahun lalu 12 ilmuwan dengan kendaraan caterpillar
(kepompong) mencoba melintasi rute yang sama. Hasilnya: mereka
kehilangan dua ahli mesin, sementara seorang ilmuwan muda jatuh
sedalam 90 kaki dan patah lehernya.
Pada 1981, di dekat pangkalan Inggris, agak jauh ke sekitar
pantai, dua ilmuwan lain tewas di padang celah es. Ia memakai
mobil salju seperti yang dipakai tim Inggris ini. Tahun
berikutnya tiga ilmuwan Inggris lenyap pula di sepanjang pantai
es dalam perlawatan singkat di musim din,in. Perlawatan itu
sekitar 270 mil menjelajahi jalanmemutar - diselesaikan dalam
iga setengah hari. "Start yang nekad," komentar Campbell.
Celah es itu juga merengkah di kemah Sanae. "Kami dapat
mendengar teluk es itu merengkah di malam hari, seperti suara
pertempuran kendaraan lapis baja," tulis Campbell. Celah panjang
terentang dari bukit-bukit batu sebelah barat. "Masih dangkal."
Padahal dalamnya beratus kaki.
Seperti direncanakan, kapal suplai Afrika Selatan mengungsikan
setiap anggota tim yang tidak bermusim dingin di sana. Dan di
Borga, seorang cewek dan tiga cowok itu, plus seekor anjing yang
tak jelas jantan betinanya, mencoba membiasakan diri dengan
malam yang mencekam dan dingin yang menggigit selama delapan
malam penuh.
Charlie dan Ollie memakai separuh ubuk, sementara Ran dan Ginny
separuh sisanya. Bothie, anjing terrier berbulu panjang milik
Ginny, tinggal memilih tempat yang dianggapnya paling nyaman.
Binatang itu menjadi kesayangan mereka, penghibur dalam keadaan
tegang dan menjemukan.
Ran bertanggungjawab dalam suplai bahan bakar dan pemeliharaan
kemah. Ia menggali parit panjang dekat salah satu pintu masuk
gubuk, mengisinya dengan kotak-kotak suplai. Olly atau Oliver
menangani alat pembangkit listrik, servis mobil salju, dan
mengikuti ramalan cuaca. Charlie menjadi tukang masak, sering
dibantu Ginny, di samping membantu Olly mengurus perlistrikan .
Ginny selalu membuka kontak dengan London dan pangkalan mereka
di Sanae. Ia harus merabaraba setapak demi setapak, melalui
kegelapan yang pekat,mengikuti tali pengaman beratus-ratus yar
ke gardu radio - dan sering dalam suhu di bawah 40øF. Pada awal
usia 30 tahunnya, ia sesungguhnya berharap perlawatannya itu
terjadi sepuluh tahun sebelumnya. "Karena harapan utamaku dalam
hidup ini sebenarnya memiliki keluarga, dan saya menyesali
lenyapnya kemungkinan itu," kata Ginny.
MEREKA melihat, mereka memiliki lebih sedikit waktu luang dari
yang diharapkan. "Segala-galanya memerlukan waktu lebih lama
untuk mengerjakannya," ujar Ginny. Namun mereka masih sempat
melahap bacaan malahan Ran berhasil menulis seluruhnya 30 ribu
kata pertama dari novel yang sedang disiapkan. "Sejenis thriller
picisan," komentar Ran sendiri. Dengan lebih sungguh-sungguh, ia
juga menulis sekitar 500 surat kepada para sponsor dan 200 surat
lagi tentang urusan ekspedisi.
Malam-malam, Charlie, Ran dan Ginny sering main kartu selama
satu dua jam. Hubungan mereka boleh dibilang tidak pernah
tegang, apalagi berselisih. Seperti yang dikatakan Charlie,
"kami telah bekerja bahu-membahu untuk mempesiapkan perlawatan.
Kami sudah mengenal pembawaan masing-masing dan tahu saatnya
harus mengalah."
Pesawat terbang kembali pada awal musim panas di Antarktika. Dan
mereka pun meninggalkan Borga pada 29 Oktober tiap mobil salju
menarik kereta luncur 12 kaki dengan muatan 750 kg. Jarak tempat
itu sekitar 1.200 mil dari Kutub Selatan, dan dari sana masih
1.000 mil lai ke Pangkalan Scott. Rutenya sebagian besar tidak
mungkin terjalani, bahkan ditempuh dengan kereta. Karena itu
mereka berusaha menggunakan setiap kesempatan bagaimanapun
kecilnya. Misalnya, mereka akan tetap meneruskan perjalanan
kendati suhu semakin dingin - karena ini justru membuat lapisan
es di atas celah lebih tebal dan kukuh.
Dan, "suhu tiba-tiba melorot sampai -67øF dan kecepatan angin 50
knot," tulis Campbell. Mereka mulai menderita penyakit beku di
wajah dan itu terasa nyeri jika temperatur kembali naik ke
sekitar -22øF. Perjalanan pun menjadi sangat menjemukan, di
padang yang putih dan nyaris tanpa sosok itu, baik makhluk
maupun tumbuhan. Sedang tugas navigasi dipersulit oleh begitu
sedikitnya detil pada medan.
Mereka berkendaraan sepuluh jam sehari, dengan lima menit
istirahat setiap jam. Ran memimpin di depan, diikuti Charlie.
Sebagai masinis Oliver senantiasa mengawasi ke belakang agar
cepat bisa memberikan bantuan jika diperlukan.
Karena dipisahkan demikian rupa oleh cuaca buruk, masing-masing
mereka membawa beberapa jenis alat pelindung dan pencegah segala
kemungkinan buruk. Makanan, tali, sekop, peralatan radio, dan
radio kecil. Konsumsi berupa makanan kering, yang dapat dimasak
jika mereka berkemah.
Setelah 500 mil, sebuah wilayah dengan sastrugi yang tinggi
merintangi perjalanan. Digambarkan sebagai suatu lapangan luas
yang seolah dibajak denan luku setinggi lima kaki. Sisi yang
tersingkap berombak bagai puncak ombak yang pecah. Sudah tentu
semua itu terdiri dari es, tapi kerasnya bagaikan baja. Mobil
dan kereta luncur kandas di palung, tali penambang tersangkut
dan terancam putus. Menyentaknyentak ke sana ke mari, kendaraan
sering menjadi terjungkal-jungkal. Kuatir tubuh akan remuk
redam, si sopir mencoba melompat ke luar sebelum sebatang besi
yang copot datang menghantamnya.
Roda, alat peluncur pada mobil, dan berbagai peralatan kendaraan
salju itu bengkok-bengkok dan melengkung. Padahal suku cadang
yang dibawa terbatas. Alat peluncur pada mobil salju Ran terbuat
dari kayu ek yang keras, dan keadaannya sungguh bejat, sehingga
terpaksa ditinggalkan berikut muatannya termasuk satu-satunya
pemanas tenda dan tangga, yang digunakan jika ada yang kecebur
ke dalam celah es yang maut itu. Untungnya sebagian besar
peluncur terbuat darl baja tak berkarat, yang kendati cacat di
sanasini masih mampu melaju. "Mimpi buruk sastrugi berlangsung
cukup lama: 300 mil perjalanan," tutur Campbell.
Setengah jalan antara Borga dan Kutub Selatan, masalah suplai
kembali gawat. Dan kendati waktu mendesak, mereka terpaksa
berkemah 17 hari untuk mengetahui apakah kawasan celah es di
depan akan semakin berbahaya dengan . berlalunya hari-hari yang
mulai bermatahari.
Penundaan itu memberi peluang kegagalan. Segera, sebelum mereka
berangkat dari Borga, datang pesan dari London. Isinya cukup
mempengaruhi Ran - bahwa upaya mereka dianggap oleh ahli-ahli
kutub telah gagal. Ia menjelaskan: "Beberapa pengecam menganggap
rencana-rencana kita tidak dapat dipertanggungjawabkan. Mereka
beranggapan mobil-mobil salju terlalu kecil untuk dapat menarik
perlengkapan yang diperlukan, dan pesawat Otter kita tidak mampu
meliput jarak yang begitu luas. Yang sekarang ada dalam pikiran
mereka: kita mungkin memerlukan penyelamatan yang terlalu mahal,
dan mungkin amat barbahaya."
Ketika Ekspedisi semakin dekat ke Kutub, sekelompok ilmuwan lain
dari Afrika Selatan - meninggalkan pangkalan Sanae untuk
mengadakan perlawatan sejauh 200 mil. Rute yang dipilih sama
seperti punya Ran. Para ilmuwan kehilangan dua kendaraan
caterpillar di Zone Engsel.
Seorang terbunuh. Tiga orang, yang berpelengkapan seadanya,
kembali lagi ke pangkalan. Mereka tidak berhasil mencapai
tujuan, sehingga pemimpin pangkalan sendiri pergi mencari. Dan
ia juga lenyap. Sepanjang 1.000 mil tidak ada pesawat terbang
yang dapat diminta mencari yang hilang.
Giles Kershaw, si penerbang, belakangan tiba di Kutub Selatan.
Ia mengawang ke batas tertinggi untuk daya tahan Twin Otter,
sekitar 1.400 mil - dan berhasil menemukan tiga orang dari
rombongan tadi itu dan seorang pemimpin pangkalan. Mereka, dalam
keadaan babak belur dan kuyup - dan sekarat dibawanya ke Sanae.
Beberapa hari berselang, tiga mobil salju sampai di Kutub
Selatan. Lalu mereka berangkat lagi pada 23 Desember, dan kali
ini siap melakukan penyeberangan. Halangan utama adalah Glasir
Scott, lereng celah es yang siap memperangkap pada medan yang
menurun ke Beting Es Ross, yang selama ini belum pernah dicoha
turuni.
"Tetapi, sekali mereka memulainya, justru sangat berbahaya jika
mencoba berhenti," tulis Campbell. Karena itu rnereka terus
bermobil lebih jauh dari biasa. Olly menarik dua kereta salju,
dan acap kali mobil dan kedua kereta saljunya melintasi
celah-celah es yang berbeda. Mereka semua dapat merasakan
permukaan salju yang amblas atau merekah di belakang begitu
mereka baru saja melintas di atasnya. Itulah 'jembatan salju'
yang menutupi celah es di bawah. Sering mereka menalikan
mobil-mobil satu sama lain, dan Ran memecahkan pusat celah es
yang sudah dimulai Charlie dan Ollie di depannya.
Penurunan itu makan waktu empat hari. Itu konon pengembaraan
yang relatif nyaman. Menempuh 600 mil ke Pangkalan Scott, dan
itulah akhir perlawatan ke Antarktika. Mereka tiba pada 11
Januari 1981, 75 hari setelah meninggalkan Borga.
Ekspedisi kali ini adalah perlawatan kedua - dan hingga sekarang
yang terakhir - melintasi Benua Kutub. Yang pertama adalah
Ekspedisi TransAntarktika Persemakmuran (1955-1958) yang
dipimpin Sir Vivian Fuchs dan Sir Edmund Hillary. Mereka
didukung oleh pemerintah-pemerintah Inggris dan Selandia Baru.
Tapi, "Transglobe berhasil mencapai jarak lebih jauh dan dalam
waktu lebih cepat," komentar sang wartawan. Itu jawaban setimpal
terhadap kecaman-kecaman yang mereka terima sejak masa
perencanaan dan penyiapan peralatan.
Mereka kembali dalam keadaan segar bugar - kendati lebih kurus.
Oliver susut 14 kg selama perjalanan ke Kutub. Sayangnya ia juga
memutuskan menarik diri dari Ekspedisi karena alasan-alasan
pribadi.
Lantas enam minggu terakhir Benyamin Bowring mendekati muara
Sungai Yukon. "Saya bergabung kembali dengan Ekspedisi untuk
awal tahap utama ekspedisi berikutnya," kata wartawan dan juru
foto itu. Kapal berlayar melalui laut pedalaman,
sedapat-dapatnya. Tapi karena adanya beting-beting, mereka
berada pada posisi 12 mil dari pantai Alaska (di utara, kini)
ketika dua perahu motor diturunkan ke air.
Bulan Juli mereka menuju arah Dowson, sekitar 1.300 mil ke hulu,
kira-kira pada tengah malam. Ran memimpin di depan, dengan si
wartawan sebagai penumpang. Charlie membuntut rapat di belakang.
Mereka semua mengenakan pakaian penyelamat warna oranye, dan
kerudung. Setiap perahu motor panjangnya hanya 13 1/2 kaki,
dilengkapi mesin berkekuatan 40 daya kuda, dan membawa paling
kurang setengah ton bahan bakar dan perlengkapan. Karenanya
selisih antara bagian paling atas pinggir perahu dan air di
bawahnya sangat sedikit.
ANGIN bertiup, dan bau anyir menyumbat pernapasan. Ran meminta
wartawan kita pindah ke perahu Charlie. Ia, sebagai perintis,
ingin mengemudi dengan pikiran terpusat dan leluasa.
Lalu gelombang mulai memecah di perahu motor mereka, dan
menggoyangnya dari belakang. Sering kali mereka kuyup. "Saya
kagum akan kemampuan kami mengapung," tulis Campbell. "Bandel,
liat, dan pegas." Tapi begitu melihat perahu-perahu mulai
dilimbahi air, baru terasa bagi Campbell betapa rapuhnya
keadaan.
Laki-laki ini mencoba membuka percakapan dengan Charlie yang
basah kuyup diterjang gelombang. Perahu oleng. Lalu terbalik.
"Kusentakkan kakiku sebebas-bebasnya dari perlengkapan, lalu
nyebur,' cerita si wartawan. Ia menjauhkan diri dari
baling-baling yang tetap berputar. Lambung perahu roboh di
sisinya, dan ia menangkap apa saja yang bisa dijadikan pegangan.
Beberapa detik kemudian, Charlie juga sudah di sana. Ia
menaikkan diri ke lambung perahu yang tertelungkup, dan menarik
wartawan kecebur itu beberapa saat kemudian, pada kerah bajunya.
Mereka mencoba membalikkan perahu pada posisi semula. Tak
berhasil. Melihat kesulitan kedua rekannya, Ran memperingan
muatan perahunya dengan membuang beberapa jeriken, kemudian
bergerak menyusur bujur perahu yang terbalik. Dengan bantuannya
kembali dicoba menegakkan perahu, dengan mengerahkan seluruh
kekuatan. Tetap sia-sia. Malah Ran hampir saja melemparkan
rekan-rekannya kembali ke laut. Campbell sangat awas dengan
baling-baling yang masih tetap berputar - yang bisa membuat
dirinya daging cincangan.
Akhirnya Ran melompat ke perahu kedua rekannya. Mereka menalikan
perahu yang terbalik itu dengan perahu Ran. Toh tetap gagal
menegakkannya. Lalu datanglah gelombang besar. Gelombang itu
memukul kedua perahu, dan memutuskan tali yang menghubungkannya.
Perahu Ran malah terlempar lebih jauh.
"Tolol kalau berendam-rendam terus begini," katanya. Charlie
menawarkan diri untuk menangkap kembali perahu Ran yang
menghanyut. Tapi Ran sudah lebih dulu menyelam, dan muncul di
sisi perahunya, yang mulai hanyut sejauh 20 yar. Suatu tindakan
yang cukup berani.
Ran kembali melemparkan tali, dan Charlie menikatkannya ke sisi
terjauh dari lambung perahu. Ran mengereknya. Dan kali ini
berhasil.
Tapi setelah tercelup setengah jam, mesin perahu motor tidak mau
hidup. Hingga kembali tali diikatkan, dan Ran menariknya ke
perahunya. Tapi "kami sendiri dalam keadaan segar bugar, lebih
dari yang diharapkan. Berkat pakaian penyelamat," kata Campbell.
Sepanjang 5.200 mil yang penuh kesulitan, ekspedisi terutama
dilakukan dengan perahu. Yaitu melintasi Sungai Yukon, Sungai
McKenzie sampai ke muaranya, dan melewati Lintasan Barat Laut.
Di lintasan ini kabut menutup tebal angin ribut, dan
gunung-gunung es merupakan ancaman gawat. Akhirnya, 31 Agustus
1981 - 62 hari setelah berangkat dari Yukon Charlie dan Ran
sampai di Fjord Tanquary dan Kepulauan Ellesmere. Dan setelah
suplai ulang dari udara, mereka meneruskan perlawatan melintasi
Ellesmere ke kemah musim siingin di pantai utara - titik start
ke Kutub Utara.
Sepanjang 150 mil mereka merangkak ke arah utara melalui
Ellesmere. Tubuh membengkak tergores dan melepuh, melintasi
pegunungan, padang-padang es dan glasir. Akhirnya, di suatu pagi
yang dingin mereka keluar dari jurang yang sempit dan dihadang
sebuah bidang terbuka yang centang-perenang: Samudra Arktik.
Itulah tantangan terbesar dan terakhir Transglobe.
Empat bulan lamanya musim dingin yang sepenuhnya gelap mereka
nikmati di tepi paling ujung Samudra Arktik. Kemudian, tiga
minggu sebelum matahari Kutub merekah untuk pertama kalinya di
tahun 1982, mereka berangkat dengan mobil salju.
Dan malapetaka mulai datang lebih gawat. Karena arus tetap dari
Kutub Utara mengarah ke selatan ke pantai pulau-pulau Ellesmere,
es lautan kembali menutupi air secara bergelombang dan
campur-aduk dengan balok-balok es yang berpecahan. Rata-rata
tinggi gelombang 12 kaki tak jarang 30 kaki. Mobil salju bisa
tahan terhadap gelombang setinggi 12-14 kaki, tapi lebih dari
itu jangan harap.
Jam demi jam mereka merambati lintasan yang penuh 'kerikil'
sebesar-besar mata kapak. Ran mencoba menarik, dengan tenaga
manusia, kereta luncur fiberglass bermuatan barang 80 kg -
meninggalkan mobil salju, sampai keadaan lebih baik. Inci demi
inci mereka menyeretnya ke utara. Ke utara!
Setelah menempuh jarak 70 mil, keadaan medan membaik sedikit.
Kembali ke Kepulauan Ellesmere Ginny telah menanti dengan
penerbang baru. Orang itu bernama Karl Z'berg, seorang
Kanada-Swiss, yang mengambilkan dua mobil salju Ran dan Charlie.
Setelah senja, Ran pergi memeriksa mobilnya. Mobil berikut
peluncur dan peralatannya bisa diselamatkan, tapi radio dan alat
bantu navigasi tampaknya tidak bisa dipakai lagi. Ginny berusaha
mencari gantinya, dan untuk itu Karl terbang mengambilnya di
pangkalan tim.
Sekali, gelombang ganas - seperti ledakan bom - menghempas pucuk
gunung es. Ran dan Charlie memburu ke pintu kemah: mereka takut
pucuk gunung es pecah belah. Tapi tidak. Siang dan malam
kebisingan sekitar sangat menjemukan. Kerahasiaan
lingkungan begitu mengancam.
"Daerah yang begitu rapuhnya," kata Ran kemudian. "Seperti
merobek-robek imajinasi - kecuali jika kau bersaraf baja."
Tim ekspedisi itu harus segera sampai ke Kutub untuk menyaksikan
peralihan lautan dalam satu musim. Untungnya rintangan berupa
badai, dan 'kerikil' sebesar-besar kapak, tidak ditemui. Dengan
melupakan segalanya, mereka tiba di hari Ahad Paskah, 11 April
1982, di Puncak Bumi. Kutub Utara! Masih ada 1.000 mil lagi
untuk sampai ke pinggir padang es di sana direncanakan Benjarnin
Bowring akan tiba di awal Mei.
Hari-hari cemerlang. Rencana orisinil Ran adalah melawat ke
Kepulauan Spitsbergen sebelum es pecah - biasanya pada awal Juni
dengan menggunakan ski dan melalui beberapa pegunungan sampai ke
Fjord. Kapal akan menunggu di sana. "Tapi tidak bisa," menurut
penulis. Soalnya es sudah mulai menunjukkan tanda-tanda awal
pecah. Ia lalu memutuskan melakukan perlawatan mengarungi badai
dan arus, di atas lapisan es yang tampaknya aman tenteram.
Sedapat-dapatnya sebelum es benar-benar mulai memecah.
Selama 99 hari Charlie dan Ran menanti lewat jam-jam yang terasa
amat lama. Bayangkan: hari yang tanpa malam. Kekhawatiran
terhadap beruang menjadi rutin - dan karenanya semakin berkurang
jua. Pada musim panas di Arktik, beruang kutub dari Spitsbergen
akan keluar memburu anjing laut. Kawasan yang terbuka itu tak
soal bagi mereka wongperairan sedingin es itu kampung halamannya
sendiri.
Dan jejak-jejak beruang memang mereka temukan di Arktik sekitar
500 mil ke utara pada daratan yang terdekat. Dan suatu pagi,
Charlie berteriak dari kemahnya. Ia mendengar suara langkah
menapak. "Ada tamu! " pekiknya. Beberapa menit kemudian mereka
sudah berada di luar, dengan pakaian dalam dari wol dan senjata
api di tangan masing-masing. Charlie menggenggam senapan .375
boltaction, Ran revolver. 44 magnum.
Sendirian, seekor beruang seperti menanti sesuatu di belakang
tenda menatap para manusia. Sebuah tembakan menggelegar, tapi
binatang itu tenang saja. Dengan kalem ia menapak di antara
jeriken dan kotakkotak makanan. Kemudian, selama sepuluh menit
mereka mengadu-adu piring dengan panci, berteriak-teriak, dan
menghamburkan tembakan. Lalu peluru Charlie tinggal dua biji.
Ran masih banyak persediaan pelurunya, tapi apalah arti peluru
revolver bagi seekor beruang kutub.
Ran pernah mendengar dari temanteman Kanadanya: beruang
menyerang dalam sikap membungkuk, lalu berhenti pada jarak 40
langkah. Charlie berbaring di sebuah kereta luncur dan hati-hati
membidik. Ran berdiri di belakang agak ke samping. Lalu
menembakkan peluru kembangapi. Peluru itu terbang melalui
punggung Charlie dan menghantam salju di dekat beruang
nongkrong. Lalu ngebul. Sang beruang tetap tak acuh.
Ran yakin beruang itu siap menyerang, dan ia kembali meledakkan
peluru revolvernya. Dan binatang kutub itu berhenti mendadak.
Ragu sesaat. Kemudian membelok, dan akhirnya menjauh. Ada
curahan darah di salju, namun tidak membuat ia lumpuh. Tampil
kembali, terlihat luka di kakinya. Ran dan Charlie mengikutinya
sejauh setengah mil. Tapi ia terjun ke celah es yang terbuka,
kemudian lenyap dalam salju.
"Aku merasa berdosa," kata Ran belakangan. "Barangkali, jika aku
tidak menembak, ia malah tidak akan menyerang. Atau mungkin
lebih baik membunuh sampai mati. Sebaliknya andai kata aku
beruang, aku akan memilih hidup dengan kaki terluka. Tapi siapa
yang dapat menjelaskan?" Siapa?
Charlie dan Ran mengapung sejauh 350 mil di gunung es, dan
berhenti hanya sepuluh mil dari garis Greenwich-Meridian - garis
akhir perjalanan keliling dunia mereka. Dua kali Benjamin
Bowring mencoba menerobos benteng es besar untuk mencapai para
pengelana dunia itu dan kedua-duanya gagal.
Akhir Juli nakhoda bertekad mencobanya kembali. Cuaca tiba-tiba
jernih, dan angin berubah kencang ke arah barat laut -
menguakkan terusan di antara gunung-gunung es. Kadang kapal
terhadang es keras. Lain waktu memerlukan satu jam untuk maju
sejauh 100 yar. Kemudian hanya sepuluh mil dari kelompok es,
kapal tersandung benteng es keras yang tak tertembus.
Ran dan Charlie bermaksud mencoba mencapai kapal. Dengan beban
200 kg masing-masingnya, mereka menyeret kano aluminium yang
dibawa Karl dalam penerbangan kutubnya yang paling akhir -
melalui batu. Akhirnya mereka harus memanjati tembok es
mati-matian. Sudah hampir tengah malam ketika sosok mereka dapat
ditandai orang dari Benjamin Bowring.
"Sepanjang malam kami mengawasi mereka dari kapal: titik-titik
mulai menjadi sosok manusia di tanah tak bertuan itu," tulis
wartawan kita. "Kami tahu siapa mereka, namun bimbang juga
sampai kami dapat mengenali wajah mereka, yang membangkitkan
kegembiraan yang bukan alang kepalang."
Dan benar. Itu mereka: Ran dan Charlie. Menalikan diri pada kano
masing-masing, mereka terbungkuk-bungkuk menyeret beban, dan
terus maju. "Ran berhenti dan mengembangkan Union Jack,"tulis
Campbell. Seseorang memutar pita rekaman, dan berkumandanglah
The Eton Boating Song.
Dan kedua manusia itu tiba di kapal. "Inilah pemandangan yang
paling indah yang pernah aku saksikan!" seru Ran. Mereka menaiki
tangga tali dan memeluk siapa saja yang ditemui. Champagne pun
muncrat dari botol-botol. Pesta berlangsung sampai pagi.
Kapal menemui kesulitan membebaskan diri dari es, dan tidak
mampu mencapai Spitsbergen dalam sebelas hari berikutnya. Tapi
dari sana mereka pulang ke kampung halaman, di Inggris sana -
dan selusin pesta lagi dilangsungkan. Pada hari Minggu, 29
Agustus 1982, Pangeran Charles menyampaikan welcome kepada
Ekspedisi Transglobe. Semuanya memakan waktu hampir tiga tahun
dan jarak 35 ribu mil.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini