ANAK muda itu, Stephen Peter, datang dari Uganda.
Ditinggalkannya negerinya yang kacau-balau untuk menuntut ilmu
ke Kenya. Beberapa waktu yang lalu ia lulus dari sekolah
percetakan, dan dengan bangga memamerkan ijazahnya kepada
rekan-rekan.
Tetapi kegembiraan itu tidak berumur panjang. Kabar buruk segera
datang: ia harus segera meninggalan negeri itu, karena masa
belajar sudah selesai. Padahal di Kenya sebenarnya tersedia
sejumlah lowongan kerja. Di Uganda, mata pencaharian konon sama
musykilnya dengan "menghitung pasir di pantai".
Kisah itu memberi gambaran demam frustrasi yang sebenarnya
melanda generasi muda Afrika, di tengah benua yang kalang kabut
itu - menurut wartawan Times, Alan Cowell, dalam laporan yang
dikirimnya dari Nairobi, Kenya. Tampaknya memang jauh dari kita,
Indonesia. Tapi cobalah: siapa tahu kita memang punya hal-hal
yang lebih baik.
Sudah lebih seperempat abad berlalu, sejak Afrika membebaskan
dirinya dari Prancis, Belgia, Portugis, dan Inggris. Beberapa
tokoh yang memelopori perubahan besar itu masih hidup dan
berkuasa, bagai monumen perang masa silam yang sudah kehilangan
relevansinya.
Dan di balik bayangan mereka, muncullah generasi baru dengan
latar belakang pendidikan Barat, seolah berdiri terlepas dari
segala upacara ritual nenek moyang. Bagi mereka kolonialisme
tinggal sebagai sejarah. Namun penerusnya, yaitu dominasi
ekonomi oleh kekuatan asing, masih tetap persoalan hangat.
Secara teoritis Afrika memang bjsa melaksanakan segala ambisinya
yang dulu dikekang para penjajah. Tapi dalam kenyataan, para
penguasa benua itu sekarang tidak bisa diharapkan terlalu banyak
dalam menyelesaikan masalah. Di satu pihak kesadaran politik
bangkit di antara kaum muda, terutama yang hidup di kawasan
urban. Namun di pihak lain, standar hidup berantakan oleh
ledakan penduduk dan produktifitas yang macet di banyak tempat.
"Seraya para pemimpin kemerdekaan berusaha memajukan kehidupan
sosial, mereka malah menciptakan mimpi buruk Malthusian,"
kataAlan Cowell. Wartawan ini lalu mengambil Kenya sendiri
sebagai contoh.
Negeri itu mempunyai penduduk dengan pertumbuhan rata-rata 4%
setahun. Ekonominya parah, sedang luas tanah yang layak digarap
untuk pertanian-teknologi-rendah tidak bertambah. Pada 1960, 24
dari setiap 1.000 anak-anak Kenya meninggal sebelum berumur
empat tahun. Kini jumlah itu menurun: 13 dari setiap 1.000 anak.
Pelayanan kesehatan yang bertambah baik mendorong harapan hidup
dari rata-rata 41 tahun menjadi 55 tahun. Akibatnya: angka
kepadatan penduduk bertambah tinggi.
Menurut sebuah laporan Bank Dunia, 1981, jumlah penduduk di
kawasan ini akan meningkat dua kali dalam 20 tahun mendatang.
Dan sementara itu angka kenaikan produksi tidak bisa mengejar
laju pertumbuhan itu.
Dalam masa 10 tahun, hingga 1979, produksi pertanian per kapita
di kawasan Afrika sub-Sahara turun menjadi 1,3% per tahun. Angka
kepadatan penduduk naik menjadi 2,7%. Pertumbuhan menyeluruh
dalam ukuran GNP per kapita tercatat tidak lebih dari 0,8%.
"Untuk sebagian besar negeri Afrika," kata laporan Bank Dunia
itu, "angka ini cukup mengkhawatirkan." Karena itu mereka
menilai, "tidak berlebihan bila orang mulai berbicara mengena
krisis. "
Dan krisis itu umumnya terpusat d perkotaan. Pada 1960,11%
pendudu Afrika sub-Sahara hidup di kawasan urban. Dua dasawarsa
kemudian angka itu naik sampai menjadi 21%.
Sekitar 70 juta orang hidup di kotakota yang dikelilingi slum,
daerah gembel dengan kondisi yang tentu saja sangat buruk.
Memang ada isyarat dimulainya sesuatu yang baru di Afrika -
seperti yang tampak misalnya di utara Pretoria. Ini adalah
semacam perjuangan yang dibangkitkan oleh generasi Afrika yang
belum terpukul oleh trauma kolonialisme mereka yang mendambakan
semacam pemulihan, yang ingin mengidentifikasikan dirinya dengan
"penebusan" dan 'kebangkitan moral".
Hanya saa, para pemuka generasi ini umumnya tidak menghayati
secara mendalam tradisi Afrika sendiri. Juga tidak tahu dengan
jelas bentuk perbaikan yang mereka dambakan. Tema umum mereka
ialah keinginan untuk sebuah awal yang sama sekali baru, dan
usaha mencapai kemajuan di sebuah dunia yang hampir tidak
mengajukan syarat-syarat.
Keinginan dan keniscayaan seperti itulah yang tampak bergolak di
Lembah Mathare, wilayah Nairobi yang paling buruk. Dari sini
datang para Lumpenproletariat yang menyamun dan memperkosa dalam
pemberontakan akhir Agustus tahun lalu, yang telah merusakkan
citra Kenya secara bukan kepalang.
"Dalam pengertian yang lebih luas, pemberontakan ini sebetulnya
merusak seluruh benua itu," kata Alan Cowell. Setelah Letnan
Penerbang Jerry L. Rawlings melancarkan kup di Ghana, 1979, dan
Sersan Kepala Samuel K. Doe mengambil-alih kekuasaan di Liberia,
1980, Hezekiah Ochuka pun menggerakkan kudeta yang gagal di
Kenya.
Pemberontakan tampaknya sudah semacam wabah sampai ke lapisan
paling bawah dunia kemiliteran Afrika. Dalam pada itu sebuah
pertanyaan tinggal tidak terjawab: siapa yang akan tampil
sebagai pemimpin generasi baru Afrika, sementara yang tua-tua
mulai habis, atau dihabisi?
Afrika adalah sebuah benua,tempat pertalian puak sekali waktu
memegang peranan mempersatukan yang sangat kuat. Tetapi kini
peranan itu pindah ke kota-kota besar, tempat "kemajuan" diukur
dengan takaran Barat.
Di ibukota yang jauh, dusun pedalaman tampak tidak lagi relevan
- bahkan sebaiknya dilupakan. Para pemuka yang memerintah dari
Kinshaha, Khartoum, atau Luanda, secara teknis memang memerintah
sebuah bangsa. Tetapi "bangsa" itu sendiri tinggal sebuah
pengertian artifisial. Dan di benua yang penuh dengan dugaan dan
perkiraan ini, kekuatan yang mutlak sulit ditentu kan.
Yang mudah tampak hanyalah semacam kekuatan semu, yang dikenal
dari lambang-lambangnya di kota-kota besar. Dan kekuatan itu
seolah terpisah lepas dari kawasan pedalaman yang jauh, tanah
belantara yang belum dijamah atau diperintah.
Dengan kemajuan yang mudah dirasakan, para anak muda berkelompok
di kota besar. Bahkan menurut sebuah penelitian di Kenya,
tinggal di kota besar telah menjadi ciri "modern" yang sama
harkatnya dengan ritus 'pemandian' dalam tradisi nenek moyang.
Para anak muda meninggalkan kampung halaman untuk pindah ke kota
besar, dan - dengan sendirinya - ke slum. Sekitar 40% penduduk
Zambia hidup di kota-kota, yang sekitar seabad lampau masih
tanah belukar. Tapi mereka memang sudah ada di sana sebelum para
pemukim putih tiba dan memperkenalkan administrasinya di kawasan
pemerintahan puak yang ganjil dan melembaga itu.
Dibangun dalam kerangka negara maju, dan dengan posisi serba
tergantung, ekonomi Afrika jatuh dan bangun dalam irama kekuatan
asing. Benua ini menghasilkan tembaga, timah, seng, cokelat,
kopi, dan kacang tanah. Mereka dikuras menyuapi pasaran dunia
sebelum menyuapi mulut mereka sendiri.
Para penguasa setelah masa kolonial kemudian mengalihkan sumber
itu ke kota, dengan maksud meneduhkan para korban urbanisasi
yang senantiasa bergolak. Anak negeri mengabaikan tanahnya dan
bergerak ke kota, sehingga pemerintah harus selalu mengeluarkan
subsidi bahan makanan untuk menjaga stabilitas. Sebagai
akibatnya, pertanian telantar.
Daur ini berputar terus. Orang makin banyak hengkang ke kota
besar. Angka kelahiran meningkat, di tengah bangsa yang hampir
tidak mampu memberi makan "yang sudah telanjur hidup". Dengan
beberapa kekecualian, seperti misalnya Kamerun, Rwanda, dan
Pantai Gading, standar hidup merosot di seantero Afrika dalam
dua dekade terakhir ini. Contoh-contoh malaise, kemarahan, dan
pemiskinan kebudayaan konon tersebar di sepanjang benua.
Ambillah Kenya umpamanya. Beberapa tahun lalu, di Lembah
Mathare, Nairobi, seorang pendeta Belanda berusaha bekerja di
kalangan remaja pengangguran dan tidak berpendidikan. Ia
bertanya, apa yang sesungguhnya mereka inginkan. "Pendidikan,"
jawab para anak muda itu.
Pendeta itu pun mulai mendirikan sekolah. Tetapi apa yang
terjadi? Anak-anak muda itu membentuk grup rock mereka sendiri,
lengan Judul yang aneh dan murahan.
Di Mombasa, masih di Kenya juga, seorang anak muda bernama
Ramadhan berhasil menjadi juru masak. Ia memasak untuk orang
orang kaya yang menyewa villa dipantai. Ia dibayar US$2,50
sehari. "Tapi saya tidak punya kesempatan beristirahat,"
katanya. "Saya bisa memasak, bisa melakukan rupa-rupa pekerjaan,
bisa mengolah udang, spaghetti Bolognese, macam-macam. Bahkan
menyetir truk. Tapi saya tidak pernah punya cukup uang untuk
menambah pengetahuan. Bagaimana saya bisa meningkat?"
Di Wedza, Zimbabwe, Perdana Menteri Robert G. Mugabe sedang
beranjangsana ke pedalaman. Ia mengunjungi para pendukungnya di
dusun-dusun terpencil, dan berpidato di depan sebuah pertemuan
di daerah yang baru saja teduh oleh perang. Para pendukung itu
menyambut Mugabe dengan tarian tradisional berkaki ayam, di
sekitar gubuk beratap ilalang.
Bersama Mugabe turut seorang ajudan muda. Ia tempo hari
melewatkan masa perang di negerinya dengan bersekolah di negeri
asing. Kini ia pulang untuk membangun karir di kampung sendiri.
"Tetapi saya merasa tidak punya sangkut-paut dengan segala
tetek-bengek ini," katanya. Ia tampak merasa aneh memandang
tari-tarian itu, para wanita yang berteriak-teriak itu,
masyarakat yang sesungguhnya mengikatkan dia dengan dunia
leluhurnya. "Saya tidak melihat artinya sama sekali," katanya.
Di Lagos, Nigeria, seorang pejabat sedang menjelaskan
kebijaksanaan minyak pemerintahnya kepada seorang pengunjung.
Pejabat itu dididik di perguruan tinggi terbaik Inggris dan
Amerika Serikat. Karena keterangan seperti itu sebetulnya tidak
boleh diberikan secara resmi, sang pejabat menggunakan bahasa
Dana Moneter Internasional.
Penalaran finansialnya dingin dan ampuh. Namun di sekitarnya, di
Lagos yang bergolak, isyarat ke kisruhan muncul dari mana-mana.
Pendapatan melimpah yang ditimbulkan produksi minyak telah
membentuk masyarakat korupsi yang parah.
Pejabat itu sendiri akhirnya tampak bagai orang asing. Ia tampil
sebagai contoh tipe baru teknokrat Afrika, sama seperti yang
bisa kita temukan di New York atau Jenewa. Tapi di Lagos, bisa
dipahami, ia lalu merasa tidak betah. Padahal sebagian besar
Afrika dan orang Barat menggantungkan harapan kepada teknokrat
macam begini.
Peristiwa yang terjadi di Kenya Agustus tahun kemarin memang
merupakan kejutan. Pemberontakan itu dipimpin oleh kalangan
bawah Angkatan Udara, korp paling terpelajar di antara Angkatan
Bersenjata Kenya. Mereka didukung para mahasiswa.
Kup yang gagal itu ditu jukan terhadap Presiden Daniel arap Moi.
Ketika para perusuh menguasai jalanan, semboyan mereka adalah
"kekuasaan" - dan bukan "kekuasaan hitam", seperti yang pernah
dilaporkan.
Memang, perjuangan ini tidak ditujukan terhadap kaum putih.
Teriakan mereka lebih bersifat pernyataan politik yang mengecam
para wabenzis, alias kelompok kaya.
Para prajurit muda Angkatan Udara datang ke Lembah Mathare, dan
mengimbau penghuni miskin wilayah itu untuk "mengambil kembali
apa yang sesungguhnya kalian punya." Kemudian terjadilah semacam
pembalasan dendam terhadap para pengusaha Asia yang melaku kan
kegiatan di mana-mana. Tindakan ini tentu saja mengejutkan
Barat. Bagaimanapun, pengaruh ekonomi orang Asia di Kenya,
seperti halnya di bagian Afrika yang lain, semakin terasa -
bahkan setelah kolonialisme hapus dari benua itu.
Nasib Ochuka memang tidak lebih baik dari para pemimpin kup
Afrika lainnya, yang harus berhadapan dengan presiden yang sudah
terlatih menghadapi makar. Pemberontakan yang dipimpin Ochuka
digerakkan oleh kalangan bawah, yang tidak banyak menjanjikan
kenaikan pangkat kepada para pengikut. Pembangkangan semacam
itu, kepada pucuk pimpinan pemerintah, sudah terjadi
berkali-kali.
Satu hal: dalam pemberontakan akhir-akhir ini sudah tidak ada
lagi penguasa asing yang bisa diusir. Karena itu sasaran
diarahkan kepada yang dinilai sebagai penindas baru.
Aksi militer Doe dan Rawlings juga bisa dipandang sebagai reaksi
ekstrim dalam situasi yang ekstrim pula. Ketika Doe
mengambil-alih kekuasaan di Liberia, tiga tahun lalu, ia masih
28 tahun. Negeri itu merupakan republik tertua di Afrika
diperintah selama 133 tahun oleh oligarki keturunan budak bebas
Amerika yang seluruhnya hanya merupakan 3% dari jumlah penduduk.
Pada 1979, tatkala Rawlings memulai kudetanya di Ghana, negeri
itu sedang tenggelam dalam korupsi dan kebobrokan ekonomi.
Padahal Ghana adalah bangsa Afrika pertama yang membebaskan diri
dari pemerintah kolonial, dengan kebanggaan sejarah tersendiri.
Setelah 112 hari berkuasa, Rawlings mengembalikan pemerintahan
ke tangan sipil. Tetapi kemudian ia menyesali keputusan ini -
dan kembali mengambil-alih kendali.
Dan ia tampak kecewa. Ia tidak menyangka bahwa 'demokrasi'
memungkinkan hidupnya kembali kekuasaan yang korup, yang
meracuni kehidupan Ghana. Ia mengeluh, bahwa kekuasaan tidak
diperolehnya melalui kotak pemilu.
Tapi arti peranan Doe dan Ra,vlings, dan boleh jadi Ochuka,
bisa dilihat tidak semata-mata dari cara mereka mencapai
kekuasaan melalui senjata. Tetapi, dan ini yang menarik, betapa
mereka mendapat dukungan dari kalangan muda, orang
berpendidikan, dan kaum miskin.
Masa kudeta para kolonel tampaknya sudah lampau di Afrika.
Tempat mereka digantikan oleh kelompok-kelompok yang lebih
populis, dengan slogan-slogan retorik seperti "pemerintahan oleh
rakyat, penyelamatan dan pelayanan", dan semacamnya.
Di Liberia, pengambilalihan kekuasaan bahkan sedikit mirip
dengan pemberontakan budak. Para pelakunya adalah "kawula
pedesaan" yang melawan para keturunan orang-orang yang dulu
memperbudak mereka. Kalau para kolonel dan jenderal berjalan
dengan angkuhnya dengan tongkat-tongkat mereka,
prajurit-prajurit rendahan ini membawa senapan, dan mendapat
dukungan kaum muda dan miskin.
Dalam perjuangan melawan kolonialisme, Afrika memang berhadapan
dengan musuhnya yang jelas: dominasi asing. Mereka berjuang
untuk persamaan dan hak-hak konstitusional, yang selama ini
digenggam para pemukim kulit putih yang mendirikan negeri-negeri
baru tanpa meminta persetujuan pribumi.
Kini, perjuangan itu lebih bersifat mempertahankan diri dan
memajukan kehidupan masyarakat. Musuhnya bisa saja golongan tua,
atau kelompok baru yang membendung perubahan. Dalam banyak hal,
rezim-rezim 'bengal' itu memang mendapat dukungan kulit putih.
Ya, cerita lama yang berulang kembali.
Para pendukung itu bisa saja orang Rusia di Ethiopia atau orang
Inggris di Kenya. Di bekas koloni Prancis di Pantai Gading,
misalnya, 60 ribu orang Prancis menduduki posisi top di pelbagai
badan dan lembaga: pemerintahan, pendidikan, juga lapangan
pekerjaan teknik. Jumlah itu dua kali lipat dari saat wilayah
itu mula-mula merdeka. Tahun lalu, sekitar 1.700 pribumi Pantai
Gading lulusan perguruan tinggi tidak mendapat pekerjaan -
karena hampir semua posisi dipegang orang Prancis. Mau apa?
Adapun di Zimbabwe, tata ekonomi masih saja warisan lama ciptaan
orang kulit putih dari zaman Rhodesia. Tapi untuk generasi baru,
para teknokrat Afrika yang mendapat pendidikan Barat, kenyataan
ini malah menguntungkan. Mereka segera bisa menyesuaikan diri
dengan keadaan, sebab tata ekonomi demikianlah yang mereka
terima di bangku kuliah di negeri sono.
Namun hubungan antara mayoritas Afrika yang luas dan para
perancang ekonomi mereka lalu menjadi kurang akrab. Hubungan
itu, mau tidak mau, terganggu oleh perasaan kebanggaan yang
'dilukai', iri hati, dan sikap yang senantiasa mendua.
Generasi muda Afrika masa kini memang tumbuh dengan pengalaman
lebih kompleks dalam hubungan rasial dibanding pengalaman nenek
moyang mereka. Oran kulit putih memang sudah tidak lagi
berkuasa secara resmi atau terang-terangan. Tetapi mereka,
melalui masa penjajahan yang panjang, telah menanamkan sejumlah
nilai-nilai. Dan ini yang susah. Padahal supremasi Barat di
bidang ekonomi sendiri suda culcup membuat kesal para tokoh
yang ingin mendapat tempat dalam suatu "Afrika setelah zaman
kolonial".
Hambatan warna kulit secara resmi memang sudah dilenyapkan.
Namun hubungan tulus dan mendalam antara 'hitam' dan 'putih'
masih jauh kiranya. Ketegangan memang berkurang, tapi
kepincangan tetap saia tampak.
Salah satu biang keladi pergolakan massa ini boleh jadi elite
yang memerintah sendiri. Mereka, setelah berlalunya masa
penjajahan, membuka fasilitas pendidikan yang cukup luas. Dan
hasil di bidang ini kelak bertabrakan dengan aspirasi yang tidak
terpenuhi.
Di Afrika Timur, jumlah mahasiswa melonjak hampir dua kali lipat
dalam dekade 1970-an. Tepatnya dari 6 juta menjadi 11 juta.
Lompatan itu termasuk lebih 200 ribu lulusn SLA tanah subur bagi
ketidakpuasan yang meledak dalam demonstrasi di Kenya.
Di Zambia, puluhan ribu anak muda lulus dari pelbagai sekolah
setiap tahun, tanpa tahu harus bekerja di mana. Pertumbuhan
ekonomi selalu terbirit-birit, tidak mampu mengejar laju
pertambahan penduduk dan menunjang sistem pendidikan. Sebagai
akibat dari yang terakhir itu kelompok yang tidak terdidik -
dan sulit diatur - makin bertambah besar, tahun ke tahun.
"Beberapa negeri Afrika menyediakan sampai 30% anggaran belanja
nasionalnya untuk pendidikan umum," kata Arthur Bagunywa,
seorang akademikus Uganda dalam sebuah tulisannya. "Namun target
yang dicapai tidak sampai 50%."
Karena itu tidak mengherankan, kalau generasi muda yang terdidik
tampak gelisah mencari sebuah 'ideologi' yang dapat melampiaskan
ketidakpuasan. Mereka seperti berputar dalam arus krisis
identitas.
Bagi sebagian terbesar anak muda Afrika, pendidikan merupakan
masa transisi. Dan transisi itu justru membukakan jurang antara
mereka dan orangtua sendiri - yang sebagian besar petani. Makin
tinggi pendidikan, makin lebar jurang. Dan makin tinggilah suhu
ketegangan yang muncul ke permukaan.
"Pendidikan, seperti banyak hal lain di Afrika, tampil sebagai
sesuatu yang sangat rapuh," kata Alan Cowell. Banyak sekolah
tidak mempunyai buku pegangan. Di Ghana bahkan tenaga guru
sangat langka. Golongan ini hengkang ke luar negeri untuk
menghindari situasi ekonomi yang berantakan.
Pada 1957 Kwame Nkrumah, presiden pertama Ghana yang amat
karismatik itu, mengibarkan sebuah semboyan. "Tujuan kita ialah
menjadikan negeri ini tempat bermutu bagi semua warganegara"
mercu suar sekujur Benua Afrika, yang melimpahkan ilham sampai
jauh di luar garis-garis perbatasannya." Amboi.
Yang jelas, harapan untuk pendidikan sudah lama lenyap - kata
Cowell. Awal tahun lalu bahkan banyak sekolah ditutup di negeri
itu, lantaran kekurangan duit. Mercu suar itu rupanya berangsur
redup.
Namun harus diakui, beberapa kemajuan penting toh dicapai Afrika
di bidang persekolahan itu. Kronik Bank Dunia menggambarkan,
angka melek huruf di kalangan penduduk Afrika sub-Sahara naik
dari 16% menjadi 28%, dari 1960 sampai 1976. Di Kenya, murid
yang mendaftarkan diri di SD bertambah dari 47% pada 1960
menjadi 99% pada 1978.
Namun angka-angka itu saja tidak akan menerangkan seluruh
keadaan. Pendidikan di Afrika, ini ceritanya, mulanya didasarkan
pada kebutuhan kolonial akan kerani, administratur dan pegawai
sipil lainnya. Karena itu sekolah kejuruan menjadi sangat
langka. Karena itu sampai sekarang para perencana pendidikan di
benua itu masih berdebat tentang "kurikulum impor" yang diharap
membuka pintu lebih lebar bagi keterampilan kejuruan. Ini boleh
dibandingkan dengan keadaan di Indonesia.
Sebagian besar anak muda Afrika hanya terbatas mencapai
pendidikan dasar, tak cukup untuk memiliki suatu keterampilan.
Bahkan anak lulusan SMA tidak becus (tentu saja! Red) menempati
pekerjaan teknis. Sedang mahasiswa lambat laun menjadi kelompok
radikal, yang pada gilirannya merupakan ancaman terhadap
pemerintah.
Di Ghana, bayangan Rawlings yang berjanji mengakhiri kekuasaan
orde lama masih membakar golongan muda. Selama kekuasaan dari
kupnya yang berdarah itu, tiga bekas presiden ditembak mati.
Tetapi setelah itu, "revolusi" segera mengambil watak dan sosok
yang tidak jelas. Ia tidak mampu menegakkan tatanan baru yang
lebih baik untuk menggantikan para penguasa yang digulingkan.
Begitu pula dengan Doe. Dalam masa dua tahun saja Doe dan
"revolusinya" mulai encer. Situasi ekonomi tetap saja payah,
sama halnya dengan di Ghana. "Penebusan itu tak kunjung datang,"
kata Alan Cowell.
Di Liberia, konon hanya kebajikan dan kemurahan hati Amerika
Serikat dan beberapa negeri Barat yang membuat negeri itu tetap
bernapas. Kini Doe tidak lagi tampil dengan baretnya yang
sederhana dan kesan yang melelahkan, melainkan dalam pakaian
resmi yang apik. Ia pun tidak lagi mengendarai Honda Civic,
seperti biasanya, melainkan Mercedes Benz dengan pengawal
bersepeda motor.
Di Ghana, rezim yang baru konon mengkombinasikan gaya Kuba,
Mozambik, Angola, dan Libya. Entah macam apa adonan itu. Komite
Pertahanan Rakyat konon dibentuk di seantero negeri. Polanya
disesuaikan dengan model ciptaan Muammar Kadhafi, Libya.
Tetapi para pengamat melihat pemerintahan negeri ini tidak
sebagai pelopor yang jelas di lapangan transisi ideologi,
melainkan sekadar kelompok sanak-famili yang saling
duduk-mendudukkan di pelbagai jabatan dan kementerian.
Dalam gayanya yang sangat menarik, Rawlings pernah mengumumkan
"perang suci" melawan korupsi. Namun di balik itu ia lebih
tampak sebagai pejuang dengan cita-cita yang tidak jelas.
Semacam pelampiasan kerinduan turun-temurun akan apa yang sering
dinamakan "Kebenaran Afrika"
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini