Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Afrika, angkatan yang lebih muda

Munculnya generasi baru dengan latar belakang pendidikan barat. (sel)

12 Maret 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ANAK muda itu, Stephen Peter, datang dari Uganda. Ditinggalkannya negerinya yang kacau-balau untuk menuntut ilmu ke Kenya. Beberapa waktu yang lalu ia lulus dari sekolah percetakan, dan dengan bangga memamerkan ijazahnya kepada rekan-rekan. Tetapi kegembiraan itu tidak berumur panjang. Kabar buruk segera datang: ia harus segera meninggalan negeri itu, karena masa belajar sudah selesai. Padahal di Kenya sebenarnya tersedia sejumlah lowongan kerja. Di Uganda, mata pencaharian konon sama musykilnya dengan "menghitung pasir di pantai". Kisah itu memberi gambaran demam frustrasi yang sebenarnya melanda generasi muda Afrika, di tengah benua yang kalang kabut itu - menurut wartawan Times, Alan Cowell, dalam laporan yang dikirimnya dari Nairobi, Kenya. Tampaknya memang jauh dari kita, Indonesia. Tapi cobalah: siapa tahu kita memang punya hal-hal yang lebih baik. Sudah lebih seperempat abad berlalu, sejak Afrika membebaskan dirinya dari Prancis, Belgia, Portugis, dan Inggris. Beberapa tokoh yang memelopori perubahan besar itu masih hidup dan berkuasa, bagai monumen perang masa silam yang sudah kehilangan relevansinya. Dan di balik bayangan mereka, muncullah generasi baru dengan latar belakang pendidikan Barat, seolah berdiri terlepas dari segala upacara ritual nenek moyang. Bagi mereka kolonialisme tinggal sebagai sejarah. Namun penerusnya, yaitu dominasi ekonomi oleh kekuatan asing, masih tetap persoalan hangat. Secara teoritis Afrika memang bjsa melaksanakan segala ambisinya yang dulu dikekang para penjajah. Tapi dalam kenyataan, para penguasa benua itu sekarang tidak bisa diharapkan terlalu banyak dalam menyelesaikan masalah. Di satu pihak kesadaran politik bangkit di antara kaum muda, terutama yang hidup di kawasan urban. Namun di pihak lain, standar hidup berantakan oleh ledakan penduduk dan produktifitas yang macet di banyak tempat. "Seraya para pemimpin kemerdekaan berusaha memajukan kehidupan sosial, mereka malah menciptakan mimpi buruk Malthusian," kataAlan Cowell. Wartawan ini lalu mengambil Kenya sendiri sebagai contoh. Negeri itu mempunyai penduduk dengan pertumbuhan rata-rata 4% setahun. Ekonominya parah, sedang luas tanah yang layak digarap untuk pertanian-teknologi-rendah tidak bertambah. Pada 1960, 24 dari setiap 1.000 anak-anak Kenya meninggal sebelum berumur empat tahun. Kini jumlah itu menurun: 13 dari setiap 1.000 anak. Pelayanan kesehatan yang bertambah baik mendorong harapan hidup dari rata-rata 41 tahun menjadi 55 tahun. Akibatnya: angka kepadatan penduduk bertambah tinggi. Menurut sebuah laporan Bank Dunia, 1981, jumlah penduduk di kawasan ini akan meningkat dua kali dalam 20 tahun mendatang. Dan sementara itu angka kenaikan produksi tidak bisa mengejar laju pertumbuhan itu. Dalam masa 10 tahun, hingga 1979, produksi pertanian per kapita di kawasan Afrika sub-Sahara turun menjadi 1,3% per tahun. Angka kepadatan penduduk naik menjadi 2,7%. Pertumbuhan menyeluruh dalam ukuran GNP per kapita tercatat tidak lebih dari 0,8%. "Untuk sebagian besar negeri Afrika," kata laporan Bank Dunia itu, "angka ini cukup mengkhawatirkan." Karena itu mereka menilai, "tidak berlebihan bila orang mulai berbicara mengena krisis. " Dan krisis itu umumnya terpusat d perkotaan. Pada 1960,11% pendudu Afrika sub-Sahara hidup di kawasan urban. Dua dasawarsa kemudian angka itu naik sampai menjadi 21%. Sekitar 70 juta orang hidup di kotakota yang dikelilingi slum, daerah gembel dengan kondisi yang tentu saja sangat buruk. Memang ada isyarat dimulainya sesuatu yang baru di Afrika - seperti yang tampak misalnya di utara Pretoria. Ini adalah semacam perjuangan yang dibangkitkan oleh generasi Afrika yang belum terpukul oleh trauma kolonialisme mereka yang mendambakan semacam pemulihan, yang ingin mengidentifikasikan dirinya dengan "penebusan" dan 'kebangkitan moral". Hanya saa, para pemuka generasi ini umumnya tidak menghayati secara mendalam tradisi Afrika sendiri. Juga tidak tahu dengan jelas bentuk perbaikan yang mereka dambakan. Tema umum mereka ialah keinginan untuk sebuah awal yang sama sekali baru, dan usaha mencapai kemajuan di sebuah dunia yang hampir tidak mengajukan syarat-syarat. Keinginan dan keniscayaan seperti itulah yang tampak bergolak di Lembah Mathare, wilayah Nairobi yang paling buruk. Dari sini datang para Lumpenproletariat yang menyamun dan memperkosa dalam pemberontakan akhir Agustus tahun lalu, yang telah merusakkan citra Kenya secara bukan kepalang. "Dalam pengertian yang lebih luas, pemberontakan ini sebetulnya merusak seluruh benua itu," kata Alan Cowell. Setelah Letnan Penerbang Jerry L. Rawlings melancarkan kup di Ghana, 1979, dan Sersan Kepala Samuel K. Doe mengambil-alih kekuasaan di Liberia, 1980, Hezekiah Ochuka pun menggerakkan kudeta yang gagal di Kenya. Pemberontakan tampaknya sudah semacam wabah sampai ke lapisan paling bawah dunia kemiliteran Afrika. Dalam pada itu sebuah pertanyaan tinggal tidak terjawab: siapa yang akan tampil sebagai pemimpin generasi baru Afrika, sementara yang tua-tua mulai habis, atau dihabisi? Afrika adalah sebuah benua,tempat pertalian puak sekali waktu memegang peranan mempersatukan yang sangat kuat. Tetapi kini peranan itu pindah ke kota-kota besar, tempat "kemajuan" diukur dengan takaran Barat. Di ibukota yang jauh, dusun pedalaman tampak tidak lagi relevan - bahkan sebaiknya dilupakan. Para pemuka yang memerintah dari Kinshaha, Khartoum, atau Luanda, secara teknis memang memerintah sebuah bangsa. Tetapi "bangsa" itu sendiri tinggal sebuah pengertian artifisial. Dan di benua yang penuh dengan dugaan dan perkiraan ini, kekuatan yang mutlak sulit ditentu kan. Yang mudah tampak hanyalah semacam kekuatan semu, yang dikenal dari lambang-lambangnya di kota-kota besar. Dan kekuatan itu seolah terpisah lepas dari kawasan pedalaman yang jauh, tanah belantara yang belum dijamah atau diperintah. Dengan kemajuan yang mudah dirasakan, para anak muda berkelompok di kota besar. Bahkan menurut sebuah penelitian di Kenya, tinggal di kota besar telah menjadi ciri "modern" yang sama harkatnya dengan ritus 'pemandian' dalam tradisi nenek moyang. Para anak muda meninggalkan kampung halaman untuk pindah ke kota besar, dan - dengan sendirinya - ke slum. Sekitar 40% penduduk Zambia hidup di kota-kota, yang sekitar seabad lampau masih tanah belukar. Tapi mereka memang sudah ada di sana sebelum para pemukim putih tiba dan memperkenalkan administrasinya di kawasan pemerintahan puak yang ganjil dan melembaga itu. Dibangun dalam kerangka negara maju, dan dengan posisi serba tergantung, ekonomi Afrika jatuh dan bangun dalam irama kekuatan asing. Benua ini menghasilkan tembaga, timah, seng, cokelat, kopi, dan kacang tanah. Mereka dikuras menyuapi pasaran dunia sebelum menyuapi mulut mereka sendiri. Para penguasa setelah masa kolonial kemudian mengalihkan sumber itu ke kota, dengan maksud meneduhkan para korban urbanisasi yang senantiasa bergolak. Anak negeri mengabaikan tanahnya dan bergerak ke kota, sehingga pemerintah harus selalu mengeluarkan subsidi bahan makanan untuk menjaga stabilitas. Sebagai akibatnya, pertanian telantar. Daur ini berputar terus. Orang makin banyak hengkang ke kota besar. Angka kelahiran meningkat, di tengah bangsa yang hampir tidak mampu memberi makan "yang sudah telanjur hidup". Dengan beberapa kekecualian, seperti misalnya Kamerun, Rwanda, dan Pantai Gading, standar hidup merosot di seantero Afrika dalam dua dekade terakhir ini. Contoh-contoh malaise, kemarahan, dan pemiskinan kebudayaan konon tersebar di sepanjang benua. Ambillah Kenya umpamanya. Beberapa tahun lalu, di Lembah Mathare, Nairobi, seorang pendeta Belanda berusaha bekerja di kalangan remaja pengangguran dan tidak berpendidikan. Ia bertanya, apa yang sesungguhnya mereka inginkan. "Pendidikan," jawab para anak muda itu. Pendeta itu pun mulai mendirikan sekolah. Tetapi apa yang terjadi? Anak-anak muda itu membentuk grup rock mereka sendiri, lengan Judul yang aneh dan murahan. Di Mombasa, masih di Kenya juga, seorang anak muda bernama Ramadhan berhasil menjadi juru masak. Ia memasak untuk orang orang kaya yang menyewa villa dipantai. Ia dibayar US$2,50 sehari. "Tapi saya tidak punya kesempatan beristirahat," katanya. "Saya bisa memasak, bisa melakukan rupa-rupa pekerjaan, bisa mengolah udang, spaghetti Bolognese, macam-macam. Bahkan menyetir truk. Tapi saya tidak pernah punya cukup uang untuk menambah pengetahuan. Bagaimana saya bisa meningkat?" Di Wedza, Zimbabwe, Perdana Menteri Robert G. Mugabe sedang beranjangsana ke pedalaman. Ia mengunjungi para pendukungnya di dusun-dusun terpencil, dan berpidato di depan sebuah pertemuan di daerah yang baru saja teduh oleh perang. Para pendukung itu menyambut Mugabe dengan tarian tradisional berkaki ayam, di sekitar gubuk beratap ilalang. Bersama Mugabe turut seorang ajudan muda. Ia tempo hari melewatkan masa perang di negerinya dengan bersekolah di negeri asing. Kini ia pulang untuk membangun karir di kampung sendiri. "Tetapi saya merasa tidak punya sangkut-paut dengan segala tetek-bengek ini," katanya. Ia tampak merasa aneh memandang tari-tarian itu, para wanita yang berteriak-teriak itu, masyarakat yang sesungguhnya mengikatkan dia dengan dunia leluhurnya. "Saya tidak melihat artinya sama sekali," katanya. Di Lagos, Nigeria, seorang pejabat sedang menjelaskan kebijaksanaan minyak pemerintahnya kepada seorang pengunjung. Pejabat itu dididik di perguruan tinggi terbaik Inggris dan Amerika Serikat. Karena keterangan seperti itu sebetulnya tidak boleh diberikan secara resmi, sang pejabat menggunakan bahasa Dana Moneter Internasional. Penalaran finansialnya dingin dan ampuh. Namun di sekitarnya, di Lagos yang bergolak, isyarat ke kisruhan muncul dari mana-mana. Pendapatan melimpah yang ditimbulkan produksi minyak telah membentuk masyarakat korupsi yang parah. Pejabat itu sendiri akhirnya tampak bagai orang asing. Ia tampil sebagai contoh tipe baru teknokrat Afrika, sama seperti yang bisa kita temukan di New York atau Jenewa. Tapi di Lagos, bisa dipahami, ia lalu merasa tidak betah. Padahal sebagian besar Afrika dan orang Barat menggantungkan harapan kepada teknokrat macam begini. Peristiwa yang terjadi di Kenya Agustus tahun kemarin memang merupakan kejutan. Pemberontakan itu dipimpin oleh kalangan bawah Angkatan Udara, korp paling terpelajar di antara Angkatan Bersenjata Kenya. Mereka didukung para mahasiswa. Kup yang gagal itu ditu jukan terhadap Presiden Daniel arap Moi. Ketika para perusuh menguasai jalanan, semboyan mereka adalah "kekuasaan" - dan bukan "kekuasaan hitam", seperti yang pernah dilaporkan. Memang, perjuangan ini tidak ditujukan terhadap kaum putih. Teriakan mereka lebih bersifat pernyataan politik yang mengecam para wabenzis, alias kelompok kaya. Para prajurit muda Angkatan Udara datang ke Lembah Mathare, dan mengimbau penghuni miskin wilayah itu untuk "mengambil kembali apa yang sesungguhnya kalian punya." Kemudian terjadilah semacam pembalasan dendam terhadap para pengusaha Asia yang melaku kan kegiatan di mana-mana. Tindakan ini tentu saja mengejutkan Barat. Bagaimanapun, pengaruh ekonomi orang Asia di Kenya, seperti halnya di bagian Afrika yang lain, semakin terasa - bahkan setelah kolonialisme hapus dari benua itu. Nasib Ochuka memang tidak lebih baik dari para pemimpin kup Afrika lainnya, yang harus berhadapan dengan presiden yang sudah terlatih menghadapi makar. Pemberontakan yang dipimpin Ochuka digerakkan oleh kalangan bawah, yang tidak banyak menjanjikan kenaikan pangkat kepada para pengikut. Pembangkangan semacam itu, kepada pucuk pimpinan pemerintah, sudah terjadi berkali-kali. Satu hal: dalam pemberontakan akhir-akhir ini sudah tidak ada lagi penguasa asing yang bisa diusir. Karena itu sasaran diarahkan kepada yang dinilai sebagai penindas baru. Aksi militer Doe dan Rawlings juga bisa dipandang sebagai reaksi ekstrim dalam situasi yang ekstrim pula. Ketika Doe mengambil-alih kekuasaan di Liberia, tiga tahun lalu, ia masih 28 tahun. Negeri itu merupakan republik tertua di Afrika diperintah selama 133 tahun oleh oligarki keturunan budak bebas Amerika yang seluruhnya hanya merupakan 3% dari jumlah penduduk. Pada 1979, tatkala Rawlings memulai kudetanya di Ghana, negeri itu sedang tenggelam dalam korupsi dan kebobrokan ekonomi. Padahal Ghana adalah bangsa Afrika pertama yang membebaskan diri dari pemerintah kolonial, dengan kebanggaan sejarah tersendiri. Setelah 112 hari berkuasa, Rawlings mengembalikan pemerintahan ke tangan sipil. Tetapi kemudian ia menyesali keputusan ini - dan kembali mengambil-alih kendali. Dan ia tampak kecewa. Ia tidak menyangka bahwa 'demokrasi' memungkinkan hidupnya kembali kekuasaan yang korup, yang meracuni kehidupan Ghana. Ia mengeluh, bahwa kekuasaan tidak diperolehnya melalui kotak pemilu. Tapi arti peranan Doe dan Ra,vlings, dan boleh jadi Ochuka, bisa dilihat tidak semata-mata dari cara mereka mencapai kekuasaan melalui senjata. Tetapi, dan ini yang menarik, betapa mereka mendapat dukungan dari kalangan muda, orang berpendidikan, dan kaum miskin. Masa kudeta para kolonel tampaknya sudah lampau di Afrika. Tempat mereka digantikan oleh kelompok-kelompok yang lebih populis, dengan slogan-slogan retorik seperti "pemerintahan oleh rakyat, penyelamatan dan pelayanan", dan semacamnya. Di Liberia, pengambilalihan kekuasaan bahkan sedikit mirip dengan pemberontakan budak. Para pelakunya adalah "kawula pedesaan" yang melawan para keturunan orang-orang yang dulu memperbudak mereka. Kalau para kolonel dan jenderal berjalan dengan angkuhnya dengan tongkat-tongkat mereka, prajurit-prajurit rendahan ini membawa senapan, dan mendapat dukungan kaum muda dan miskin. Dalam perjuangan melawan kolonialisme, Afrika memang berhadapan dengan musuhnya yang jelas: dominasi asing. Mereka berjuang untuk persamaan dan hak-hak konstitusional, yang selama ini digenggam para pemukim kulit putih yang mendirikan negeri-negeri baru tanpa meminta persetujuan pribumi. Kini, perjuangan itu lebih bersifat mempertahankan diri dan memajukan kehidupan masyarakat. Musuhnya bisa saja golongan tua, atau kelompok baru yang membendung perubahan. Dalam banyak hal, rezim-rezim 'bengal' itu memang mendapat dukungan kulit putih. Ya, cerita lama yang berulang kembali. Para pendukung itu bisa saja orang Rusia di Ethiopia atau orang Inggris di Kenya. Di bekas koloni Prancis di Pantai Gading, misalnya, 60 ribu orang Prancis menduduki posisi top di pelbagai badan dan lembaga: pemerintahan, pendidikan, juga lapangan pekerjaan teknik. Jumlah itu dua kali lipat dari saat wilayah itu mula-mula merdeka. Tahun lalu, sekitar 1.700 pribumi Pantai Gading lulusan perguruan tinggi tidak mendapat pekerjaan - karena hampir semua posisi dipegang orang Prancis. Mau apa? Adapun di Zimbabwe, tata ekonomi masih saja warisan lama ciptaan orang kulit putih dari zaman Rhodesia. Tapi untuk generasi baru, para teknokrat Afrika yang mendapat pendidikan Barat, kenyataan ini malah menguntungkan. Mereka segera bisa menyesuaikan diri dengan keadaan, sebab tata ekonomi demikianlah yang mereka terima di bangku kuliah di negeri sono. Namun hubungan antara mayoritas Afrika yang luas dan para perancang ekonomi mereka lalu menjadi kurang akrab. Hubungan itu, mau tidak mau, terganggu oleh perasaan kebanggaan yang 'dilukai', iri hati, dan sikap yang senantiasa mendua. Generasi muda Afrika masa kini memang tumbuh dengan pengalaman lebih kompleks dalam hubungan rasial dibanding pengalaman nenek moyang mereka. Oran kulit putih memang sudah tidak lagi berkuasa secara resmi atau terang-terangan. Tetapi mereka, melalui masa penjajahan yang panjang, telah menanamkan sejumlah nilai-nilai. Dan ini yang susah. Padahal supremasi Barat di bidang ekonomi sendiri suda culcup membuat kesal para tokoh yang ingin mendapat tempat dalam suatu "Afrika setelah zaman kolonial". Hambatan warna kulit secara resmi memang sudah dilenyapkan. Namun hubungan tulus dan mendalam antara 'hitam' dan 'putih' masih jauh kiranya. Ketegangan memang berkurang, tapi kepincangan tetap saia tampak. Salah satu biang keladi pergolakan massa ini boleh jadi elite yang memerintah sendiri. Mereka, setelah berlalunya masa penjajahan, membuka fasilitas pendidikan yang cukup luas. Dan hasil di bidang ini kelak bertabrakan dengan aspirasi yang tidak terpenuhi. Di Afrika Timur, jumlah mahasiswa melonjak hampir dua kali lipat dalam dekade 1970-an. Tepatnya dari 6 juta menjadi 11 juta. Lompatan itu termasuk lebih 200 ribu lulusn SLA tanah subur bagi ketidakpuasan yang meledak dalam demonstrasi di Kenya. Di Zambia, puluhan ribu anak muda lulus dari pelbagai sekolah setiap tahun, tanpa tahu harus bekerja di mana. Pertumbuhan ekonomi selalu terbirit-birit, tidak mampu mengejar laju pertambahan penduduk dan menunjang sistem pendidikan. Sebagai akibat dari yang terakhir itu kelompok yang tidak terdidik - dan sulit diatur - makin bertambah besar, tahun ke tahun. "Beberapa negeri Afrika menyediakan sampai 30% anggaran belanja nasionalnya untuk pendidikan umum," kata Arthur Bagunywa, seorang akademikus Uganda dalam sebuah tulisannya. "Namun target yang dicapai tidak sampai 50%." Karena itu tidak mengherankan, kalau generasi muda yang terdidik tampak gelisah mencari sebuah 'ideologi' yang dapat melampiaskan ketidakpuasan. Mereka seperti berputar dalam arus krisis identitas. Bagi sebagian terbesar anak muda Afrika, pendidikan merupakan masa transisi. Dan transisi itu justru membukakan jurang antara mereka dan orangtua sendiri - yang sebagian besar petani. Makin tinggi pendidikan, makin lebar jurang. Dan makin tinggilah suhu ketegangan yang muncul ke permukaan. "Pendidikan, seperti banyak hal lain di Afrika, tampil sebagai sesuatu yang sangat rapuh," kata Alan Cowell. Banyak sekolah tidak mempunyai buku pegangan. Di Ghana bahkan tenaga guru sangat langka. Golongan ini hengkang ke luar negeri untuk menghindari situasi ekonomi yang berantakan. Pada 1957 Kwame Nkrumah, presiden pertama Ghana yang amat karismatik itu, mengibarkan sebuah semboyan. "Tujuan kita ialah menjadikan negeri ini tempat bermutu bagi semua warganegara" mercu suar sekujur Benua Afrika, yang melimpahkan ilham sampai jauh di luar garis-garis perbatasannya." Amboi. Yang jelas, harapan untuk pendidikan sudah lama lenyap - kata Cowell. Awal tahun lalu bahkan banyak sekolah ditutup di negeri itu, lantaran kekurangan duit. Mercu suar itu rupanya berangsur redup. Namun harus diakui, beberapa kemajuan penting toh dicapai Afrika di bidang persekolahan itu. Kronik Bank Dunia menggambarkan, angka melek huruf di kalangan penduduk Afrika sub-Sahara naik dari 16% menjadi 28%, dari 1960 sampai 1976. Di Kenya, murid yang mendaftarkan diri di SD bertambah dari 47% pada 1960 menjadi 99% pada 1978. Namun angka-angka itu saja tidak akan menerangkan seluruh keadaan. Pendidikan di Afrika, ini ceritanya, mulanya didasarkan pada kebutuhan kolonial akan kerani, administratur dan pegawai sipil lainnya. Karena itu sekolah kejuruan menjadi sangat langka. Karena itu sampai sekarang para perencana pendidikan di benua itu masih berdebat tentang "kurikulum impor" yang diharap membuka pintu lebih lebar bagi keterampilan kejuruan. Ini boleh dibandingkan dengan keadaan di Indonesia. Sebagian besar anak muda Afrika hanya terbatas mencapai pendidikan dasar, tak cukup untuk memiliki suatu keterampilan. Bahkan anak lulusan SMA tidak becus (tentu saja! Red) menempati pekerjaan teknis. Sedang mahasiswa lambat laun menjadi kelompok radikal, yang pada gilirannya merupakan ancaman terhadap pemerintah. Di Ghana, bayangan Rawlings yang berjanji mengakhiri kekuasaan orde lama masih membakar golongan muda. Selama kekuasaan dari kupnya yang berdarah itu, tiga bekas presiden ditembak mati. Tetapi setelah itu, "revolusi" segera mengambil watak dan sosok yang tidak jelas. Ia tidak mampu menegakkan tatanan baru yang lebih baik untuk menggantikan para penguasa yang digulingkan. Begitu pula dengan Doe. Dalam masa dua tahun saja Doe dan "revolusinya" mulai encer. Situasi ekonomi tetap saja payah, sama halnya dengan di Ghana. "Penebusan itu tak kunjung datang," kata Alan Cowell. Di Liberia, konon hanya kebajikan dan kemurahan hati Amerika Serikat dan beberapa negeri Barat yang membuat negeri itu tetap bernapas. Kini Doe tidak lagi tampil dengan baretnya yang sederhana dan kesan yang melelahkan, melainkan dalam pakaian resmi yang apik. Ia pun tidak lagi mengendarai Honda Civic, seperti biasanya, melainkan Mercedes Benz dengan pengawal bersepeda motor. Di Ghana, rezim yang baru konon mengkombinasikan gaya Kuba, Mozambik, Angola, dan Libya. Entah macam apa adonan itu. Komite Pertahanan Rakyat konon dibentuk di seantero negeri. Polanya disesuaikan dengan model ciptaan Muammar Kadhafi, Libya. Tetapi para pengamat melihat pemerintahan negeri ini tidak sebagai pelopor yang jelas di lapangan transisi ideologi, melainkan sekadar kelompok sanak-famili yang saling duduk-mendudukkan di pelbagai jabatan dan kementerian. Dalam gayanya yang sangat menarik, Rawlings pernah mengumumkan "perang suci" melawan korupsi. Namun di balik itu ia lebih tampak sebagai pejuang dengan cita-cita yang tidak jelas. Semacam pelampiasan kerinduan turun-temurun akan apa yang sering dinamakan "Kebenaran Afrika"

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus