Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Membongkar Mitos Konstituante

19 Mei 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SAAT Orde Baru di puncak kekuasaan, pemikiran politik yang bertentangan dengan arus besar ide Orde adalah sesuatu yang sensitif. Perdebatan menyangkut konstitusi, yang melawan tafsir resmi, misalnya, bisa menjadi hal gawat. Mereka yang berpendapat berseberangan dengan Orde Baru bisa dituding subversif dan masuk bui. Orde Baru menafsir sejarah dari kepentingan mereka sendiri. Mitos politik pun dimunculkan untuk melanggengkan dan membenarkan sistem politik yang mereka anut.

Salah satu mitos yang diciptakan Orde Baru adalah perihal kegagalan Konstituante pada 1959. Keluarnya dekrit Presiden Soekarno yang menyatakan kembali ke Undang-Undang Dasar 1945 itu disebut sebagai gagalnya demokrasi parlementer. Peristiwa itu lantas dikenang sebagai keampuhan Undang-Undang Dasar 1945 dalam mengatasi perbedaan. Karena ringkas, Undang-Undang Dasar 1945 dianggap supel.

Adnan Buyung Nasution mencoba mematahkan ”mitos” kegagalan Konstituante—lembaga yang anggotanya dipilih dalam pemilihan umum paling demokratis pada 1955. Pengacara yang juga pendiri Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia ini memilih tema Konstituante lantaran didorong pengalamannya membela rakyat kecil. ”Mengapa setelah merdeka lebih dari 40 tahun, begitu banyak rakyat Indonesia masih menderita akibat penindasan, kesewenang-wenangan, dan penghinaan. Mengapa hak-hak rakyat Indonesia untuk turut memerintah negaranya terus diingkari,” kata Buyung dalam pengantar buku itu.

Pada buku yang diterjemahkan dari disertasi doktornya di Universitas Utrecht, Belanda, pada 1992 itu, Buyung menunjukkan bahwa aspirasi konstitusi, yang ditandai dengan pembatasan kekuasaan eksekutif dan penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia, sudah berkembang di Konstituante. Bahkan hak-hak dasar manusia dalam rancangan Undang-Undang Dasar baru lebih lengkap ketimbang Universal Declaration of Human Right pada 1945. Majelis yang bersidang di Bandung tersebut gagal, kata Buyung, justru karena tekanan dari luar, terutama tentara, yang tak sudi kehilangan kekuasaannya.

Menurut Nurcholis Madjid, meski karya Buyung ini tak menggugat Pancasila sebagai dasar negara, telah memberi sumbangan terbesar dalam menggugah semangat dasar konstitusi. Terutama, kata Cak Nur, dalam soal hak asasi manusia. ’’Dasar negara seharusnya dibahas terbuka dan dikembangkan secara dinamis,’’ kata Nurcholish ketika mengulas buku Buyung pada 1995.

Menurut pakar hukum tata negara Sri Soemantri, Buyung menegaskan ”semangat konstitusionalisme” yang sebenarnya sudah bersemayam dalam diri anggota Konstituante. ”Tapi kemajuan itu dibungkam.”

Pembongkar mitos ”kegagalan” Konstituante yang lain adalah Marsillam Simanjuntak. Aktivis 1966 ini menerbitkan buku, dari skripsi sarjana hukumnya pada 1989, berjudul Pandangan Negara Integralistik, Sumber, Unsur dan Riwayatnya dalam Persiapan UUD 45 (Pustaka Utama Grafiti, 1997). Buku setebal 284 halaman ini berisi ”tangkisan” terhadap gagasan negara integralistik, konsep yang kerap dipakai Orde Baru dalam penataran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila.

Menurut Marsillam, konsep negara integralistik sendiri, sekalipun sempat dinyatakan oleh Soepomo di depan sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia, telah ditolak dan sama sekali tidak termuat naskah persiapan Undang-Undang Dasar 1945. Dengan kata lain, istilah negara integralistik telah ”diselundupkan” dalam memori kolektif bangsa seolah-olah demikian adanya bentuk negara yang diidamkan saat itu. ”Penulisan itu didorong semangat untuk menangkis anggapan bahwa kedaulatan berada di tangan negara,” kata Marsillam.

Dua buku tersebut memang tidak berpengaruh kuat dalam praktek konstitusi. Namun, betapapun sumbangannya, kata Sri Soemantri, tetap penting. ”Kedua karya tersebut berjasa meluruskan anggapan yang keliru dalam praktek konstitusi di masa itu,” kata Soemantri.


(6) Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di Indonesia: Studi Sosio-Legal atas Konstituante 1956-1959 Pengarang: Adnan Buyung Nasution Penerbit: Grafiti Pers Tahun terbit: 1995

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus