Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Yang cemerlang terkadang tak mudah ditemukan, tapi itulah yang kami lakukan setiap akhir tahun: memilih karya seni pertunjukan, seni rupa, musik, dan sastra yang kami anggap terbaik. Orisinalitas, keseÂgaran, keutuhan, dan kemampuan karya menggugah kontemplasi adalah beberapa hal yang menjadi ukuran kami saat menyisir karya yang muncul sepanjang 2012.
Para juri pemilihan adalah anggota redaksi Tempo yang biasa berkecimpung dalam peliputan dan penyuntingan tulisan seni: Seno Joko Suyono, Leila S. Chudori, Qaris Tajudin, Kurniawan, Nurdin Kalim, Raihul Fadjri, Nunuy Nurhayati, Dian Yuliastuti, Evieta Fajar Pusporini, Yosrizal Suriaji, Purwanto Setiadi, dan Idrus F. Shahab.
Di samping itu, ada sejumlah pengamat dari luar. Kami mengundang sastrawan A.S. Laksana; Manneke Budiman, pengajar sastra di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia; dan Melani Budianta, guru besar Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI untuk penjurian sastra. Kami berdiskusi bersama kritikus Bambang Bujono untuk seni rupa. Adapun untuk musik kami menghadirkan dua pengamat musik David Tarigan dan Denny Sakrie.
Berbicara tentang dunia seni rupa, meski dibayang-bayangi isu lukisan palsu para maestro, sepanjang 2012, kami melihat masih banyak pameran tunggal diselenggarakan. Keramaian itu tapi tak diimbangi karya-karya yang betul-betul menohok. Betapapun begitu tetap ada pameran yang kuat, seperti Mengingat Senyap karya Dadang Christanto, I'm a Living Legend karya Bob Sick Yudhita Agung, Matereality karya Anusapati, Daur karya Agus Suwage, Mencari Saya dalam Sejarah Seni Rupa Saya karya Aminudin T.H. Siregar dan R.E. Hartanto, I'm a Ghost in My Own House karya Melati Suryodarmo, Human Resources Development karya Ade Darmawan, serta Uwuh Seni karya Nasirun.
Kami membahas karya mereka satu demi satu dengan memutar slide karyanya. Pada akhirnya kami sepakat memilih karya Anusapati sebagai karya seni rupa terbaik tahun ini. Karya-karya kontemporer terbarunya yang dipamerkan di Sangkring Art Space, Yogyakarta, itu kami anggap mampu bertolak dari ketelanjangan kayu apa adanya.
Karya-karya Anusapati merupakan kelanjutan dari sikap awalnya mempertahankan kodrat kayu. Dahulu ia kerap menyajikan karya minimalis dari kayu berupa bentuk-bentuk piuhan congklak dan kentungan. Pada pameran kali ini, dengan sangat radikal ia membawa pohon utuh sebagai sebuah karya sendiri. "Pada abad ketika media begitu kompleks, kita seyogianya berpihak," kata Bambang Bujono.
Akan halnya seni pertunjukan tahun ini tak banyak karya tari atau teater yang menggedor. Ada, misalnya, Emergency karya Teater Studio Indonesia, Serang, yang menjadi juara dalam forum Emerging Artists Festival Tokyo 2012, mengalahkan kelompok teater dari Taiwan, Cina, Korea, Singapura, dan Jepang. Karya yang dihadirkan di udara terbuka ini menyajikan aktor-aktor yang bergelut dengan konstruksi bambu dan menciptakan berbagai metafora. Ketegangan bahwa bambu-bambu bisa patah, ambruk di tengah pertunjukan dan pentas gagal, mencekam penonton. Tapi justru dramaturgi itulah yang sengaja disajikan oleh Nandang Aradea, sang sutradara. Karena itulah judulnya Emergency. Oleh pengamat Afrizal Malna, pertunjukan ini disebut mampu menyuguhkan gagasan "plastic art". Tapi mungkin karya ini terlalu eksperimental. "Ini happening art," kata seÂorang penonton saat menyaksikan pentas ulang mereka di halaman Gedung Teater Jakarta, Taman Ismail Marzuki.
Di antara pertunjukan lain yang layak tonton adalah Gandamayu dari Teater Garasi, The Queen and the Rebels karya Ugo Betti oleh Saturday Acting Club dari Yogyakarta, Buried Child (Anak yang Dikuburkan) karya Sam Shepard oleh Teater Satu dari Lampung, atau Klitemnestra karya Tadashi Suzuki digarap Fathul A. Husein. Tiga pentas terakhir menyajikan probÂlem adaptasi. Sudah lama pementasan naskah asing menghantui teater kita. Tidak adanya kewajaran adalah persoalan utamanya. Sering sutradara dan pemain gagal menafsirkan dan membumikan naskah asing secara pas. Kami memilih Anak yang Dikuburkan oleh Teater Satu karena kelompok teater yang dipimpin Iswadi Pratama itu secara mengesankan mampu membumikan lakon Shepard ke alam Lampung.
Perdebatan mulai alot ketika kami membahas karya musik terbaik. Dunia musik tahun ini ramai oleh sejumlah album yang ditelurkan musikus baru dan lama. Sebagian besar album musik yang dirilis bahkan masih dengan jelas menunjukkan sumber yang mereka rujuk: musikus Barat yang menjadi idola atau "guru" mereka.
Yang sulit justru menemukan musik yang menunjukkan akar keindonesiaan, baik lirik berbahasa Indonesia yang pas maupun warna musik yang tumbuh di bumi Nusantara, seperti keroncong, atau dikembangkan musikus Indonesia, seperti Koes Plus. "Para musikus masa kini seperti enggan belajar bahwa jenis musik yang mereka temukan di khazanah musik Barat itu justru sudah dirambah Koes Plus sejak dulu," kata seorang juri.
Setelah mendengar sejumlah album yang kami nilai layak dipertimbangkan, akhirnya kami mendapat sembilan album yang menjadi unggulan, yaitu, antara lain, Dunia Batas (Payung Teduh), Gemuruh Musik Pertiwi (Komunal), Dictionary 2 (Ligro), Taring (Seringai), Grey (Pure Saturday), Katalika (The Upstairs), dan Dubyouth (Dubyouth).
Tahap selanjutnya lebih berat, karena kami harus mendengar satu per satu album itu, bahkan diulang-ulang bila perlu. Setelah membahasnya dalam beberapa pertemuan dan berjam-jam mendengarkan musik, seraya mencemil keripik kentang dan jagung rebus, akhirnya kami memilih album Dunia Batas milik Payung Teduh sebagai album terbaik tahun ini.
Ada beberapa alasan kami memilih Dunia Batas. Menurut Denny Sakrie, mendengarkan album kedua kelompok Payung Teduh ini membuat kita lega bahwa di tengah hiruk-pikuk musik industri yang lebih menekankan sensasi, masih ada sekelompok pemusik yang memikirkan keselarasan antara melodi dan lirik. "Harmonisasi bunyi-bunyian instrumen akustik, seperti gitar, guitarlele, ukulele, dan akordion, yang melatari senandung sang biduan dengan gaya crooner, saat sekarang ini seperti sebuah barang langka," katanya.
Di tengah banyaknya karya pemusik muda sekarang yang sangat terlatih, canggih, dan memiliki visi musik yang maju, Payung Teduh memiliki kekuatan lain yang kerap diabaikan: "rasa Indonesia". Bagi David Tarigan, keindonesiaan musik mereka terasa dari penggunaan guitarlele yang kerap menyerupai cak hingga groove ritmenya yang terkadang berutang pada musik nasional seperti keroncong. "Sejauh ini mungkin baru Payung Teduh yang dapat membuat remaja hipster menganggap keren musik keroncong," katanya.
Perdebatan paling panas adalah saat kami memilih karya sastra terbaik. Kami butuh tiga kali pertemuan dan berjam-jam diskusi sebelum mencapai kata sepakat. Bahkan perdebatan itu menemui deadlock alias jalan buntu.
Pada mulanya kami menjaring sejumlah karya sastra yang terbit pada 2012. Setelah kami menyisir satu per satu karya tersebut, akhirnya terpilihlah kumpulan cerpen Seekor Anjing Mati di Bala Murghab karya Linda Christanty; novel Maryam karya Okky Madasari dan Amba karya Laksmi Pamuntjak; serta kumpulan puisi Tahilalat karya Joko Pinurbo, Secangkir Harapan karya Aspar Paturusi, Post Kolonial & Wisata Sejarah dalam Sajak karya Zeffry Alkatiri, dan Sutradara Itu Menghapus Dialog Kita karya Sapardi Djoko Damono.
Kami tak memasukkan novel Pulang karya Leila S. Chudori, yang sesungguhnya sangat layak menjadi nomine, karena Leila adalah wartawan Tempo. Sudah menjadi keputusan semenjak awal bahwa karya orang dalam tidak boleh diikutsertakan. Apalagi Leila menjadi juri untuk sastra.
Satu per satu para juri mengajukan argumen sambil sesekali mengutip bagian-bagian dari karya yang dibahas. Setelah pembahasan yang cukup panjang, akhirnya pilihan mengerucut pada dua calon: Amba karya Laksmi Pamuntjak dan Tahilalat karya Joko Pinurbo.
Pada titik ini perdebatan keras terjadi. Membandingkan puisi dan novel memang tak mudah. Kritik tajam juri yang menolak Amba adalah karya itu dinilai memiliki kelemahan berupa ketidakkonsistenan penokohan atau kekacauan sudut pandang antara tokoh dan narator. Karakter dan sudut pandang tokoh-tokohnya hampir sama. "Membaca novel ini membuat kita bertanya-tanya, yang ngomong ini siapa: narator atau sang tokoh?" kata seorang juri yang menolak Amba. Laksmi, menurut juri lain yang sependapat, juga belum berhasil mempertahankan suspensi pada alur. Terlalu banyaknya informasi terperinci dalam novel justru merusak aliran alur dan mengalihkan perhatian dari dinamika tokoh-tokohnya.
Tapi, kata juri yang menominasikan Amba, kemampuan Laksmi menyajikan intertekstualitas dalam novel itulah yang harus dihargai. "Kompleksitas lapisan-lapisan permasalahan yang dihadirkan Amba itu luar biasa. Amba mampu menyejajarkan dan menumpang-tindihkan mitos dan realitas. Juri lain yang Âmengunggulkan Amba menambahkan: "Amba banyak memberi kita pengetahuan sisi lain Pulau Buru sebagai Gulag Indonesia. Betapapun demikian, penulisannya tidak sekadar sebuah reportase jurnalistik. Tapi tetap bergulat dengan eksperimentasi bentuk." Kelebihan lain Amba adalah novel ini disajikan dengan temparemen puitis. "Justru kemampuan Laksmi mengungkapkan detail dalam jiwa puisi itu yang memikat dan impresif," katanya.
Baik mereka yang membela maupun yang ingin menggugurkan Amba, tapi sama-sama mengakui kekuatan Tahilalat karya Joko Pinurbo atau Jokpin, meski dengan catatan. "Kadang keluguan dan kenaifan sajak Jokpin dibuat-buat," kritik seorang juri. "Karya Jokpin ini memang bagus. Permainan-permainan imajinya, terutama pada sajak-sajak panjangnya, mampu membawa kita ke sesuatu yang tak terduga. Tapi puisi-puisi pendeknya tidak. Kalau saya disuruh memilih Amba atau Tahilalat, saya tetap pilih Amba," kata juri lain.
Perdebatan menemui jalan buntu. Ada usul voting, tapi cara ini ditolak. Hidangan yang tersaji di meja, seperti rujak, es campur, keripik singkong, dan kacang kulit, tak mampu melumerkan deadlock. Juga ketika ayam bakar keluar.
Akhirnya diskusi memutuskan mengundang seorang pakar lain untuk "menengahi". Dipilihlah Melani Budianta. "Bu Melani akan menjadi saksi ahli," seloroh Manneke Budiman. Dan Sabtu siang, di tengah suasana hari libur tahun baru, tatkala banyak orang pelesir ke luar kota, Melani hadir di kantor kami di bilangan Kebayoran Lama. Melani memulai ulasannya dengan menyatakan kedua karya memiliki kelebihannya masing-masing. Ia melihat Joko mampu mempertahankan kekuatan puitik khasnya yang selama ini sudah kita kenal. "Joko makin mampu mengeksplorasi waktu. Itu kelebihannya. Elemen waktu maju-mundur makin mengasyikkan dibanding sajak-sajak terdahulunya," kata Melani.
Menurut Melani, banyak penyair kita, setelah menerbitkan kumpulan puisi yang bagus, selanjutnya menurun tidak bisa lagi mengulangi lagi prestasinya. Tapi Joko mampu mempertahankan dan bahkan meningkatkannya. Kesederhanaan dan ekonomi kata-katanya menciptakan ironi dan humor semakin dalam. "Di samping kemampuannya mengolah waktu, keterampilannya mengolah sudut pandang anak kecil juga semakin matang," tutur Melani.
Namun Melani juga memberi catatan bahwa Joko tampaknya perlu mengurangi kadar main-main yang dibangun oleh pelintiran kata-kata. Sebab ini bisa jatuh ke kegenitan. "Saya setuju sajak-sajak super-pendeknya dalam kumpulan ini tidak menyampaikan apa-apa yang berarti kepada pembaca."
Akan halnya Amba, menurut Melani, memiliki materi sosiologis yang kaya. "Amba mampu menyajikan gambaran masyarakat lokal bukan tapol di Pulau Buru yang selama ini tak kita ketahui." Ia menilai Amba juga berusaha menggabungkan dimensi realis dan tataran mistis. "Laksmi seolah-olah mau membuat karya realisme magis," kata Melani. Melani menjelaskan banyak detail kecil yang begitu panjang di Amba, yang apabila dikurangi dapat membuat novel ini lebih terfokus. "Novel ini sebetulnya sudah jadi. Tapi secara keseluruhan banyak rumpangnya. Bila sedikit disiangi, novel ini akan kuat. Karakter akan lebih muncul."
Pendapat Melani akhirnya kami jadikan pegangan. Kami memilih Joko Pinurbo. Pembaca, inilah Anusapati, Teater Satu Lampung, Payung Teduh, dan Joko Pinurbo. l
TIM TOKOH SENI 2012 Penanggung jawab: Seno Joko Suyono Pemimpin proyek: Kurniawan, Nurdin Kalim Koordinator: Nunuy Nurhayati Penyunting: Seno Joko Suyono, Leila S. Chudori Penulis: Kurniawan, Seno Joko Suyono, Nunuy Nurhayati, Nurdin Kalim, Raihul Fadjri Penyumbang bahan: Dian Yuliastuti, Nurochman Arrazie (Lampung)foto: nita dian (koordinator), ijar karim Desain: djunaedi, agus darmawan setiadi, aji yuliarto |
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo