Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Kemenangan Kedua Obama

Amerika Serikat terhindar dari jurang krisis ekonomi. Ini kemenangan kedua secara politik bagi Obama.

6 Januari 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SENIN malam menjelang pergantian tahun, Amerika Serikat seperti dipagut keadaan darurat. Seratus senator dari Partai Demokrat dan Partai Republik berkumpul di Gedung Capitol, masing-masing melupakan liburan akhir tahun, seraya berembuk untuk menelurkan keputusan penting.

Beberapa jam sebelum tengah malam, di sebuah ruangan, para senator Partai Republik yang dipimpin Mitch McConnell rampung dengan rumusan keputusannya. Masih di gedung yang sama, tapi di ruangan lain, langsung dipimpin Wakil Presiden Joe Biden, para senator dari Partai Demokrat berkutat membahas masalah yang sama. Satu setengah jam sebelum trompet-trompet dibunyikan dan petasan diledakkan, diskusi partai berlambang keledai itu pun kelar.

Selasa dinihari, kesepakatan untuk menghindari resesi ini lantas ditandatangani. Keluar dari ruangan, Biden tampak sumringah. Dua ibu jarinya diangkat ke udara. Seperti janji politik Presiden Barack Obama, mereka pun bersepakat menaikkan langsung pajak bagi si kaya dan mengurangi anggaran di sejumlah sektor perbelanjaan, yang dituangkan dalam Budget Control Act. Tapi perjuangan rupanya tak berakhir. Dari situ kesepakatan akan dibawa ke majelis permusyawaratan atau parlemen untuk ditolak atau disetujui.

Selasa malam atau Rabu siang Waktu Indonesia Barat, langkah yang telah disepakati para senator kedua belah pihak itu meluncur ke hadapan para wakil rakyat. Sidang dewan yang jegang akhirnya diputuskan dengan pemungutan suara, dan hasilnya menggembirakan. Ternyata wakil rakyat sejalan dengan senat: 257 anggota mendukung, 167 menolak langkah pemerintah. Ini berarti Budget Control Act disahkan dan negara adidaya itu bisa sedikit menggeliat dari cengkeraman jurang fiskal—istilah yang dipopulerkan Gubernur Bank Sentral Amerika Ben Bernanke untuk mengilustrasikan ancaman krisis fiskal menyusul utang yang menumpuk serta defisit anggaran yang terus meluas.

Dalam dua drama rapat genting itu, para wakil rakyat Amerika bersepakat: pasangan yang berpenghasilan di atas Rp 4,33 miliar atau individu kaya dengan penghasilan di atas Rp 3,8 miliar per tahun harus dikenai pajak penghasilan 39,6 persen. Sebelumnya, mereka hanya dikenai pajak 35 persen. Pajak investasi bagi si kaya—berpenghasilan di atas Rp 3,8 miliar—naik lima persen menjadi 20 persen, dan 40 persen bagi pajak warisan. Lalu ada perpanjangan tunjangan bagi lebih dari dua juta penganggur di Amerika. Juga pemberlakuan cicilan pajak lima tahun bagi rakyat miskin dan keluarga dengan tingkat ekonomi menengah.

"Penundaan pemotongan anggaran pertahanan selama dua bulan menunggu hasil perundingan dan pendapatan negara juga masuk hal yang disepakati," kata juru bicara Fraksi Republik di parlemen, John A. Boehner.

Silang pendapat dan saling tolak rencana soal langkah penyelesaian krisis ekonomi di Amerika ini berjalan cukup panjang, bahkan jauh sebelum pemilihan presiden November lalu. Obama dan Demokrat muncul dengan ide pemungutan pajak baru senilai Rp 15,432 triliun dan pemangkasan keringanan pajak bagi si kaya. Sedangkan kubu Republik muncul dengan peningkatan pendapatan senilai Rp 7.716 triliun melalui penghapusan celah menghindari pajak, tanpa mengutak-atik pajak si kaya. Obama jelas menolak usul Republik. Penolakan ini berbuah tantangan dari partai berlambang gajah itu, yang mempersilakan presiden kulit hitam pertama tersebut merumuskan solusi di hadapan lembaga yang dikuasai orang-orang Republik. Sungguh syarat yang berat.

Kini semua sudah terlalui, lewat kompromi. "Entah berapa kali saya bertelepon dengan Tuan Boehner untuk berunding, mungkin puluhan kali. Itu semua demi Amerika," ujar Obama. Ya, lobi politik yang gencar berhasil memuluskan kelahiran kesepakatan penting.

Bagi para pengamat politik Amerika, keputusan ini adalah kemenangan kedua bagi Obama, setelah ia terpilih kembali menjadi orang nomor satu di Negeri Abang Sam.

Sandy Indra Pratama (New Yorker, VOA, Washington Post)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus