Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ketika kebanyakan seniman patung mengeksplorasi teknologi modern untuk mengolah materi karya patung, Anusapati justru seperti tak tersentuh peradaban. Dia bak tenggelam dalam dunia masa lalu, ketika kulit tangan seniman langsung merasakan kasarnya serat kayu, lalu dengan peralatan sederhana, kayu dibentuk menjadi karya patung.
Bahkan dalam pamerannya yang bertajuk "Matereality" di Sangkring Art Space, Yogyakarta, pada 13 November-8 Desember 2012, dia mengusung pohon durian utuh yang sudah mati sepanjang 20 meter dari pucuk ranting paling atas hingga serabut akar paling bawah ke dalam ruang pamer. "Pohon ini mati karena digerus kumbang dari dalam," katanya.
Dengan cara tak lazim dalam praktek seni patung konvensional, dosen seni patung Institut Seni Indonesia Yogyakarta ini membongkar beberapa bagian batang kayu itu, dibentuk sebagaimana praktek seni trimatra, kemudian disusun kembali dengan tetap menampilkan visual pohon kayu utuh.
Hasilnya, karya instalasi patung (sculpture installation) dengan kulit kayu kasar dan cabang yang masih lengkap merentang 15 meter secara horizontal di ruang pamer. Pada dua bagian penggalan batang kayu dengan diameter 60 sentimeter, tersusun tiga balok kayu panjang sebagaimana kayu yang siap dia pakai untuk keperluan membuat dinding rumah pada masa lalu atau perabotan rumah tangga. Dia memberi judul karya ini Suspended Vegetation, judul yang berbau isu lingkungan.
Pameran ini menjadi pameran seni rupa pilihan Tempo tahun 2012. Anusapati dalam pameran itu secara kuat dan "ekstrem" mampu menyajikan estetika kontemporer patung bertolak dari segi kealamiahan dan ketelanjangan kayu apa adanya. Bagi Anusapati, dia bisa saja bercerita tentang pohon dengan benda lain. "Tapi dengan betul-betul menghadirkan pohon itu saya pikir sangat penting," katanya. Bahkan cabang pohon yang tak terpakai pun masih dia manfaatkan untuk karya lain berjudul Articulation, berupa deretan cabang dan ranting pohon dengan memberi aksen berupa sambungan mirip engsel berpasak yang menonjolkan elemen teknis.
Anusapati sekali waktu pernah mengolah kayu menjadi bentuk sederhana yang mengingatkan orang pada bentuk alat tradisional semacam lesung, kentungan, luku (alat pembajak sawah), dan keranjang dengan permukaan kayu yang dibiarkan kasar. "Saya meminjam bentuk-bentuk itu sebetulnya mengangkat permasalahan lapisan sosial bawah," kata ayah dua anak ini.
Karya patung Anusapati saat itu menyempal dari tren seni patung arus besar Indonesia yang bercorak figuratif dan abstrak. "Seni patung modern kita waktu itu kan orientasinya betul-betul ke Barat. Dan Barat pun Barat yang jadul," ujarnya.
Menurut pria kelahiran Surakarta, 55 tahun lalu, ini, sebagai karya patung, bentuk benda tradisional itu sesungguhnya tak cuma memuat keindahan visual, tapi keindahan ingatan terhadap konteks sosialnya. Misalnya lesung, dia ingat waktu kecil di tempat neneknya ada sawah dan lesung. Saat panen, tetangga membantu menumbuk padi di lesung itu dengan diberi upah beras. "Di situ kan ada interaksi sosial yang luar biasa sebetulnya. Nutu, ngobrol, ada gotong-royong, ada keakraban. Sekarang, dengan adanya penggilingan, suasana itu kan sudah tidak ada lagi."
Kentungan juga begitu. Kentungan digunakan warga desa untuk peringatan adanya pencuri, kematian, kelahiran, dan bencana alam. "Itu kan alat komunikasi yang luar biasa," katanya. Pada karya Anusapati medium dan idiom mengisahkan realitas material.
Anusapati adalah segelintir pematung yang masih menggunakan materi kayu. Dia memilih materi kayu untuk karya patungnya hanya karena alasan sederhana: gampang didapat. Dia mulai menggunakan material kayu secara khusus setelah menggondol master seni rupa dari Pratt Institut New York pada 1990. Sewaktu di New York, dia memakai material besi bekas, karena bahan itu yang paling gampang didapat. "Saya cari di tempat sampah, banyak besi yang tidak dipakai. Di kampus, las tersedia," ujarnya.
Saat pulang ke Indonesia, dia ingin melanjutkan pemakaian material besi, tapi harga besi mahal. Bahkan besi bekas pun harus dibeli, fasilitas las juga sulit. "Saya pikir-pikir, kalau saya terus mau pakai besi dan las, kayaknya mengada-ada," kata Anusapati. Akhirnya, dia mulai mencoba mengeksplorasi kayu.
Sejak itu, pada dirinya muncul kesadaran yang lebih dalam tentang material kayu. "Kayu membuat saya merasa lebih dekat dengan alam," ujar Anusapati. Toh, dia mengaku tak sampai hati menebang pohon hidup hanya untuk menikmati estetika alamiah kayu. Artinya, karya semacam Suspended Vegetation itu, atau karya dari bahan kayu lainnya, tak akan pernah muncul di ruang pameran karyanya jika tak tersedia pohon yang sudah mati.
Anusapati, maka itu, mulai menyiasati kelangkaan kayu dengan memakai benda temuan (found object) berupa material kayu bekas. Seperti yang dia lakukan pada pameran bertajuk "Matereality" ini, salah satu karyanya bertajuk A Piece of Memory menggunakan kayu bekas bantalan rel kereta api.
Bantalan itu berwarna cokelat tua dengan serat permukaan yang kasar. Bentuk fisik kayu ulin ini mengingatkan orang betapa pernah di masa lalu rel sepanjang ribuan kilometer untuk transportasi kereta api dari ujung barat hingga ujung timur Pulau Jawa menggunakan bantalan kayu dari hutan hujan tropis Kalimantan.
A Piece of Memory dipasang di dinding luar Galeri Sangkring Art. Anusapati membuat sebuah instalasi berbentuk rel kereta api menjulur dari bawah menjulang ke atas merayap di dinding luar galeri melengkung membentuk huruf L setinggi delapan meter. Rel kereta api itu berakhir di satu bentuk bangunan, juga dari kayu bekas, yang mirip bentuk struktur bangunan stasiun tua kereta api di pedalaman Pulau Jawa.
Anusapati juga menggunakan kayu bekas bantalan rel kereta api untuk karya obyek berbentuk silinder dengan ujungnya yang runcing untuk seri karya berjudul Shelter of Despair. Dia tetap mempertahankan permukaan kayu yang kasar sehingga masih menonjolkan bentuk kayu lawas dan bahkan torehan bentuk angka pada beberapa bagian kayu.
Kalau toh akhirnya Anusapati tak lagi bisa memperoleh materi kayu untuk karya patungnya, dia tak akan membuat karya lukis, meski secara ekonomi menggiurkan. "Bagi saya, membuat sesuatu yang nyata (karya tiga dimensi) kepuasannya lebih total."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo