Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Menanti <font color=brown>Lahirnya Mahathir</font>

Kekerasan adalah ihwal yang lazim dihadapi sebagian tenaga kerja Indonesia di Malaysia. Inilah kisah Suryani Tas, yang tengah menanti bayi hasil perkosaan seorang anggota Rela.

22 Oktober 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Usianya genap 20 tahun ini. Setiap petang, perempuan muda itu selalu duduk di lorong bagian belakang Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Kuala Lumpur. Tak sekali ia kedapat an termenung sembari mengelus perutnya yang buncit . Na manya Suryani Tas. Jika kawan-ka wan satu penampungan menggodanya , wanita muda asal Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat, itu senyum-senyum saja.

Hari-hari ini, Suryani sedang menunggu lahirnya si jabang bayi. Ia sudah tak sabar ingin tahu, anaknya lelaki atau perempuan. Berhari-hari, ia sibuk menyimpul nama. Andai yang lahir laki-laki? ”Siapa ya?” Suryani balik bertanya. Bibirnya tersungging senyum malu-malu. ”Mahathir saja ya,” kata nya. ”Kata teman-teman, Mahathir orang besar dan berani,” dia menambahkan dengan sok yakin.

Kalau bayi itu ternyata perempuan, Suryani juga sudah mencadangkan na ma. Masih dengan senyum terkembang, ia menyebut nama Inul. ”Habis, goyang annya top sih,” Suryani membe rikan alasan. Tiba-tiba ia menghentikan ge laknya. ”Laki atau perempuan sama sa ja. Yang penting sehat,” dia menambahkan.

Suryani lalu bercerita tentang kondisi kesehatannya. Hari-hari menjelang persalinanya, ia lebih memperhatikan makanannya. Beberapa kali, ia dicek dokter kandungan yang sering mengunjunginya di tempat penampungan tenaga kerja Indonesia yang ada di bagian belakang KBRI Kuala Lumpur.

Seperti kawan-kawannya, Suryani tak boleh keluar dari shelter karena tak punya identitas apa pun. Ruang ge raknya terbatas hanya di sebagian kecil kawasan KBRI. Meski begitu, Sur yani merasa kondisinya jauh lebih baik dibanding sebelumnya. Ada rutinitas hidup baru, ada kawan-kawan tempat berbagi. Juga ada banyak bayi lain yang akan menjadi kawan anaknya.

l l l

Suryani Tas tidak memilih nasib. Ia tiba di Johor, Malaysia, tiga tahun lalu. Seseorang menawarinya pekerjaan se bagai pembantu di Malaysia. Ia tertarik karena mendengar gajinya besar. ”Waktu itu saya mikir harus menyekolahkan adik,” ujarnya.

Jalur hidupnya di negeri itu berputar mirip kisah-kisah sinetron menyedih kan. Ayahnya, petani penggarap di Desa Kidang, Lombok Tengah, mening gal karena sakit. Kondisi keluarganya kembang-kempis setelah itu. Agar hidup terus berjalan, ibunya menikah lagi. Tapi sang ayah tiri kurang bertanggung jawab . ”Sewaktu ibu saya mengandung adik saya, bapak (tiri) saya itu pergi,” ujarnya dalam nada geram.

Suryani tak pernah mencium bangku sekolah. Dia tidak bisa membaca dan menulis. Untuk kehidupan sehari-hari, ia menjadi buruh tani di kampungnya. Sampai akhirnya dia ditawari bekerja jadi pembantu. Bersama tiga kawan nya, mereka dibawa ke Jakarta. Lalu sendi rian, dia dibawa melintas Batam hingga ke Johor, Malaysia. Sewaktu tiba di Johor, Suryani disambut majikannya de ngan muka manis.

Suryani senang di situ. Ia bekerja dengan rajin. Tapi bulan madu itu tak berlangsung lama. Setahun, gajinya tak dibayar, ia masih bersabar. Menginjak tahun kedua, upaya Suryani meminta gaji berujung janji. Alih-alih melunasi, sang majikan malah sering memaki.

Pada awal Desember lalu, Suryani memutuskan melarikan diri. Saat itu dia bertemu dengan perempuan yang berjanji menolongnya. Dari perempuan itu, Suryani dikenalkan kepada saudara iparnya. Mereka menjanjikan Suryani pekerjaan. Keluarga itu lantas mengenalkan dia dengan Shareen Isa, seorang anggota Sukarelawan Malaysia (Rela). ”Belakangan saya tahu, pekerjaan itu tak ada. Mereka bohong,” ujarnya.

Anggota Rela itu menanyakan surat-surat identitasnya. Suryani yang buta hu ruf mengaku tak tahu, karena semua dokumen telah dia serahkan ke majikannya terdahulu. Di mana alamat si bekas majik an ia lupa karena tak pu nya catatan.

Malam itu Suryani dibawa ke satu rumah kosong. Ia didudukkan di kursi, kaki dan tangannya diborgol. Mulutnya disumbat dengan kain sehingga tak bisa berteriak. Di situ Suryani disekap satu bulan. Ia mengaku diperkosa dalam keadaan kaki dan tangan diborgol.

Dalam sehari dia hanya diberi makan satu kali. Dan dia harus menyantap makanannya dalam keadaan terikat sehingga perempuan malang itu harus merundukkan tubuh agar bisa mencecap makanan di atas piring. ”Ya, se perti hewan,” ujarnya pelan. Ia juga tak diberi kesempatan ke kamar mandi dan WC. Akibatnya, perut Suryani membesar dan kembung. Selama satu bulan dia tak pernah berganti pakaian.

l l l

Pada April lalu, dua laki-laki berseragam Rela masuk ke rumah tempat dia disekap dengan cara merusak pintu. Lelaki baik hati itu memberinya 20 ringgit dan minta dia melarikan diri de ngan taksi. Sur yani diberi alamat salah seorang kawan nya. Di sana ia tinggal selama dua bulan. Anggota Rela itu kemudian datang mengajak Suryani tinggal di rumahnya. Melihat kondisinya tak sehat, lelaki itu dan keluarganya membawanya ke dokter. Dokter menyatakan Suryani hamil, lima bulan.

Geram atas kondisi tamunya, mereka membawa perempuan itu ke polisi Kajang, untuk melaporkan pemerkosaan yang dia alami. Apalagi kondisi perempuan itu sedang hamil. Repotnya, kepolisian Kajang justru membawa Suryani ke penjara Semenyih, karena dia pendatang tak berdokumen. Suryani pun ditahan lima hari di Semenyih, sampai pihak KBRI menjemputnya. Pihak Kedutaan Indonesia menjemput wanita itu setelah anggota Rela yang menemukan dia datang menemui petugas KBRI.

”Dia tak rela Suryani menerima perlakuan buruk koleganya,” ujar Slamet Noegroho, sekretaris pertama konsuler KBRI Kuala Lumpur. Tapi anggota Rela ini emoh disebut namanya dan tak mau ditemui Tempo. ”Kami menghargai sikapnya,” kata Slamet. Ketika dijemput sekretaris III konsuler Eka Widyantiningsih, kondisi Suryani sungguh berat. Hamil enam bulan dan dilanda trauma psikis.

Pihak KBRI lantas menggugat peristiwa itu pada pengurus Rela. Gugatan dijawab dengan mengatakan si pelaku sudah dikenai tindakan administratif. Mereka menawarkan ganti rugi 5.000 ringgit. ”Kami tolak,” kata Slamet.

Sekarang ini proses hukum sedang ber jalan. Polisi memeriksa si Shareen. Mes ki begitu, keadilan bagi Suryani agak nya masih jauh. Menurut Slamet, kon disi Sur yani yang buta huruf, tanpa do kumen dan kondisi psikisnya runtuh, me nyulitkan peng ajuan proses hukum ke mahkamah (pengadilan Malaysia). Ja lan Suryani akan panjang. Tapi pihak ke dutaan akan mengupayakan berbagai cara.

Suryani adalah satu di antara sekian kasus tenaga kerja Indonesia yang terke na kekerasan anggota Sukarelawan. Masih banyak kasus serupa yang dialami sejumlah tenaga kerja asing lain di Malaysia. Ketua Migran Care Malaysia Alex Ong mencontohkan kasus pemerkosaan yang dialami seorang wanita asal Lampung oleh 12 warga Malaysia di Johor Baru. Perempuan itu ternyata sedang hamil dua setengah bulan.

Kasus-kasus kekerasan bagi pekerja asing perempuan seperti ini adalah pekerjaan rumah yang berat. Pihak Malaysia beranggapan, tanpa bukti serta dokumen yang jelas, mereka memilih membawa sang pekerja ke penjara penampungan ilegal. Sedangkan kasus kekerasan dan kemanusiaannya cenderung diabaikan. Jikapun diproses, menurut seorang sumber Tempo, penyelesaiannya bakal lama. Juga, ini dia: ada kecenderungan ditutup karena dianggap menjadi duri bagi hubungan kedua jiran. Case closed!

Widiarsi Agustina (Kuala Lumpur)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus