Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEDERET kaus dipajang di dinding Kafe Via-via, Prawirotaman, Yogyakarta. Bentuknya aneh. Ada yang berlengan empat, berleher dua, bersetokin, berlengan pendek, bahkan yang sambung-menyambung. Helena Hoskovâ, 31 tahun, perempuan Cek yang juga ahli tekstil itu, memamerkan 30 karyanya dalam tema Customary.
Satu karya berwarna oranye, melihat bentuknya, cocok bila dikenakan seekor kanguru. Tapi ternyata tidak. Helena menciptakan desain itu dengan judul Predator. Di bagian depan kaus menempel kantong yang bawahnya bolong. Dia terinspirasi sebuah adegan film science fiction, Predator—ketika seorang perempuan mengeluarkan bayinya dari perut.
Di sampingnya ada kaus yang diberi judul Workaholic. Kaus lengan panjang hijau muda bersemu kuning, di dada kanan dan punggung kirinya berjuntai lengan panjang lain, dengan warna sama. ”Ketika bekerja, saya merasa kekurangan tangan. Jadi, kaus ini untuk orang-orang yang suka bekerja,” kata Helena sambil tertawa.
Sebelum belajar ke Indonesia, Helena menekuni tekstil. Karena itu dia mengaku lebih banyak mengeksplorasi bahan ketimbang desain. Tapi, dalam pameran ini, dia berusaha mengembangkan keduanya. Tekstil diwarnai dengan sistem tabur, dan desain dibuat unik. Tapi ada juga yang simpel.
Pewarnaan dengan sistem tabur menimbulkan efek beda dari biasa—warnanya tak rata. Cara ini sesungguhnya kerap juga digunakan dalam pembuatan kaus batik. Biasanya, untuk mewarnai tekstil, orang merebus kain dalam campuran air dengan zat warna, tapi Helena tidak melakukannya. Tekstil yang sudah dibasahi ditaburi serbuk pewarna. Tekstil itu dibungkus, baru direbus.
Sejak remaja, Helena memang sudah ingin ke Jawa untuk mempelajari batik. Tapi baru setahun lalu dia mengambil program Darmasiswa Kriya Tekstil Fakultas Seni Rupa ISI Yogyakarta. Sebelumnya dia menyelesaikan studi di Fakultas Seni Universitas Hradec Kralove (1997-2002), juga di Fakultas Kriya dan Desain Universitas Jan Evangelista PurkynÄ (JEP).
Ketika sempat pulang ke Cek, Agustus lalu, dia memamerkan sejumlah karyanya selama di Indonesia. Lewat sebuah fashion show, dia menampilkan baju berbahan enceng gondok. ”Saya suka enceng gondok untuk sepatu atau sandal, bagus jadinya,” kata Helena.
Dalam memilih bahan tekstil, Helena memang senang menggunakan bahan alami. Bahan kaus dan pewarna yang digunakan untuk pameran ini pun dibawanya dari Cek. ”Di sini sulit mencari kaus yang seratus persen katun,” tuturnya. Dia juga sangat senang motif-motif tradisional, khususnya Afrika kuno.
Motif ornamen gua Afrika, seperti monyet, orang, atau sekadar bulatan, dibuat Helena untuk kaus fungsional yang bisa dikenakan sehari-hari. Tiap desain hanya dibuat satu ukuran, dan dikerjakan dengan tangan. ”Semua orisinal dari tangan saya,” kata Helena, setelah belajar membatik cap, sehingga tangannya masih belepotan pewarna.
Meski semua dikerjakan sendiri, bukan berarti Helena menampik persahabatan dan cinta. Buktinya, semua karya yang dipamerkan berangkat dari konsep relationship atau cinta. Teman Sejati, misalnya, ditampilkan dengan desain dua kaus yang bertautan. Satu hitam dan satunya putih. Yang putih terkontaminasi warna hitam, begitu pula sebaliknya. ”Sebaik apa pun orang, bila berteman dengan orang yang sifatnya jelek, pasti terpengaruh juga, meski hanya sedikit,” katanya, sedikit berfilsafat.
L.N. Idayanie (Yogyakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo