Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Mencari Hulu ’Rasuah’ Itu

Dua konglomerat pemilik bank diduga terkait dengan tudingan suap Bank Indonesia ke Dewan Perwakilan Rakyat setelah pemilihan deputi gubernur senior bank sentral pada 2004. Imbalannya: perlindungan dan akses agar mereka bisa kembali ke bisnis bank.

1 September 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
head1128.jpg

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MENJELANG Lebaran 2004, Agus Condro Prayitno datang ke Bank Internasional Indonesia cabang Pekalongan, Jawa Tengah. Kantor cabang BII di kota itu memang yang paling dekat dari kediamannya di Batang. Dengan mobil, Batang-Pekalongan ditempuh dalam waktu setengah jam. Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan itu bermaksud mencairkan tiga lembar cek perjalanan senilai Rp 150 juta di sana. ”Saya diajak teman-teman buka usaha perkebunan cabai merah,” katanya.

Tujuh lembar cek perjalanan yang lain—senilai Rp 350 juta—sudah dia uangkan sebelumnya di Jakarta. Dengan duit itu, Agus Condro membeli dua mobil mewah yang sampai kini jadi tunggangannya: Mercedes-Benz dan Hyundai Trajet. ”Saya tidak berpikir macam-macam. Pokoknya saya belanjakan saja,” katanya tertawa kecil.

Sekarang duit setengah miliar rupiah itu tak jadi apa-apa. Perkebunan cabainya bangkrut dan mobilnya bolak-balik masuk bengkel. ”Tidak keruan, Mas, seperti duit setan dimakan iblis,” kata Agus Condro kepada Tempo, dua pekan lalu.

Sepuluh lembar cek perjalanan itulah yang kini menjadi berita besar. Agus Condro mengaku menerimanya pada Juni 2004, dua pekan setelah pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia di Komisi Keuangan dan Perbankan Dewan Perwakilan Rakyat.

Pemilihan kala itu dimenangkan Miranda Swaray Goeltom, 59 tahun, dengan angka telak. Dari 54 anggota Komisi yang hadir, 41 orang memilih Miranda. Dua fraksi terbesar di parlemen, Golkar dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, ada di belakang ekonom lulusan Universitas Boston, Amerika Serikat, ini.

Agus yakin, Rp 500 juta yang diterimanya adalah imbalan dari kubu pendukung Miranda. Pembagian fulus di Fraksi Banteng, kata dia, dikoordinasi Dudhie Makmun Murod dan Emir Moeis, dua pentolan Fraksi PDI Perjuangan di Komisi Keuangan. Pekan lalu, Agus juga menyebut peran aktif Ketua Fraksi PDI Perjuangan, Tjahjo Kumolo, dan Wakil Sekretaris Fraksi, Panda Nababan, dalam mengarahkan politikus Banteng memilih Miranda. Sebuah pertemuan di Hotel Dharmawangsa, Jakarta Selatan, khusus dirancang untuk ”menjodohkan” Miranda dengan anggota Fraksi PDI Perjuangan.

Sejak pengakuan menghebohkan Agus Condro muncul di media dua pekan lalu, bantahan bertubi-tubi datang dari semua penjuru. Miranda pagi-pagi sudah mengangkat bahu. ”Saya tidak tahu-menahu,” katanya. Emir dan Dudhie buru-buru cuci tangan. Mereka menolak tuduhan Agus. Tjahjo dan Panda, meski mengakui ada pengarahan resmi fraksi untuk mendukung Miranda di Hotel Dharmawangsa, membantah faktor fulus dalam keputusan itu. ”Saya siap mundur dari partai jika terbukti menerima uang dari Bu Miranda,” kata Tjahjo pekan lalu.

l l l

JIKA pengakuan Agus Condro itu benar, pertanyaannya dari mana si pelaku rasuah mendapat uang untuk memuluskan aksinya. Soalnya, sedikitnya diperlukan Rp 20,5 miliar—jumlah yang tak sedikit—untuk menyuap 41 anggota Komisi Keuangan dan Perbankan Dewan.

Penelusuran Tempo tentang asal-usul cek perjalanan yang diterima Agus Condro membentur tembok. Mestinya, dari nomor seri cek itu bisa ditelusuri siapa pembelinya. Sang pembeli bisa diduga terkait dengan pemberi rasuah.

Tapi pejabat BII Pekalongan menutup mulut rapat-rapat. Iwan Mulyadi Yahya, Manajer Area Bisnis BII Region 4, yang membawahkan wilayah Pekalongan, sama sekali tidak bisa dihubungi. Sekretarisnya, Danurah, memastikan semua informasi tentang cek perjalanan Agus Condro tak bisa diberikan tanpa koordinasi dengan kantor pusat. Pejabat bank lainnya ikut-ikutan bungkam.

Mentok menelusuri cek perjalanan, yang diperoleh Tempo adalah sejumlah indikasi. Syahdan, pada Rabu, 22 Juni 2005, sebuah rapat digelar di Bank Indonesia. Sejak awal rapat ini berlangsung panas. Hari itu petinggi bank sentral mengundang belasan ahli hukum, analis perbankan, dan pelaku pasar modal untuk membahas kasus pelik.

Hadir di sana sejumlah pakar, seperti Sutan Remi Sjahdeni, Loebby Loeqman, Nandyo Pranoto, dan Soemarsono Soemarjoto. Anggota Dewan Gubernur Bank Indonesia yang muncul antara lain Miranda Goeltom, Bun Bunan Hutapea, Maman Soemantri, dan Siti Chalimah Fadjrijah. Topik utama pertemuan di Gedung B kompleks Bank Indonesia itu adalah kasus penjualan Kavling Serasi oleh PT Lippo Karawaci.

Kavling Serasi adalah sebuah produk properti yang menyerupai surat utang dengan aset jaminan berupa kaveling di kompleks real estate Lippo Karawaci, Tangerang, Banten. Produk ini diperjualbelikan di Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur, terutama oleh karyawan LippoBank. Otomatis, sebagian pembelinya adalah nasabah LippoBank sendiri. Dengan bunga 10-12 persen per tahun—lebih tinggi daripada rata-rata bunga deposito saat itu—tak aneh jika produk ini laku keras.

Laporan keuangan Lippo Karawaci per 30 September 2004 dan 2003 menunjukkan nilai Serasi melampaui nilai penjualan. Pada 2004, nilai Serasi Rp 2,14 triliun, sementara penjualan hanya Rp 1,1 triliun. Pada tahun sebelumnya, Rp 1,36 miliar, sementara penjualan Rp 882 juta.

Produk Serasi mulai disorot ketika pada Januari 2005 puluhan nasabah Serasi dari Kebumen, Jawa Tengah, mendatangi kantor Lippo Karawaci di Jakarta. Mereka mengeluh tak bisa mencairkan setoran pokok mereka. Sekitar Rp 50 miliar simpanan mereka terancam menguap. Belakangan terungkap, kerugian ini disebabkan oleh tindakan Kepala LippoBank Kebumen, Anastasia Kusumayati, yang memalsukan bilyet Serasi untuk keuntungannya sendiri.

Penahanan Anastasia oleh Mabes Polri pada Januari 2005 tidak membuat kasus ini dilupakan. Anggota parlemen dari Fraksi Partai Amanat Nasional, Dradjad Wibowo, termasuk yang saat itu vokal mengkritik Serasi. ”Kavling Serasi ini mengandung banyak ketidakwajaran,” katanya. Dia menengarai praktek ini dilakukan demi memperoleh dana segar untuk pengembangan Lippo Karawaci.

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan jelas-jelas menyebutkan, tak sembarang perusahaan boleh menghimpun dana dari publik. Pelanggar aturan ini biasa dituduh mengoperasikan bank gelap. Tudingan inilah yang dibahas dalam rapat besar di Bank Indonesia pagi Juni 2005 itu.

Sumber Tempo yang hadir dalam pertemuan itu menuturkan, sepanjang rapat, Miranda terus menangkis pendapat yang menuduh Kavling Serasi sebagai praktek penipuan perbankan. Hanya satu-dua peserta rapat yang berusaha mendebat. Sisanya diam. ”Mereka kalah pengaruh dibandingkan dengan Miranda,” katanya. Setelah pertemuan itu, sikap bank sentral langsung loyo. Meskipun sempat menurunkan tim pemeriksa, bank sentral menutup kasus ini.

Sikap Miranda dalam kasus Kavling Serasi inilah yang kemudian menyulut rumor tentang kedekatan sang deputi gubernur senior dengan Lippo Group.

Sumber Tempo yang dekat dengan petinggi Lippo Group membenarkan kedekatan Miranda dan bos Lippo, di antaranya Roy Edu Tirtadji, Wakil Presiden Komisaris Bank CIMB Niaga—bank hasil merger LippoBank dan Bank Niaga. Roy dikenal sebagai orang kepercayaan keluarga Riady, pemilik Lippo Group. Miranda dan Roy dekat karena sama-sama aktif di Pengurus Besar Gabungan Bridge Seluruh Indonesia.

Sayang, Roy tak bisa dihubungi untuk dimintai konfirmasi. Telepon selulernya tak diangkat ketika dikontak reporter Tempo. Dua pesan pendek yang dikirimkan kepadanya juga tak berbalas. Tapi juru bicara Lippo Karawaci, Danang Kemayan Jati, menyangkal bahwa sikap lunak Bank Indonesia terhadap Kavling Serasi itu disebabkan oleh kedekatan Miranda dengan Lippo. ”Itu tuduhan ngawur,” katanya pekan lalu. ”Kami tidak ada hubungan dengan Bank Indonesia atau Ibu Miranda.” Kata Danang, Kavling Serasi murni produk properti yang diperjual-belikan secara bebas. ”Siapa saja bisa menjadi agen penjual.”

l l l

SATU perusahaan lagi yang disebut-sebut dekat dengan petinggi bank sentral adalah Sinar Mas Group. Direktur Eksekutif Sinar Mas, Gandhi Sulistyanto, dikenal dekat dengan mantan Gubernur Bank Indonesia Burhanuddin Abdullah dan Miranda Goeltom.

Kedekatan ini jadi sorotan ketika pada April 2005 Sinar Mas berhasil membeli Bank Shinta lewat perusahaan pembiayaan Sinar Mas Multiartha. Setahun kemudian, pada akhir 2006, bank ini beralih rupa menjadi Bank Sinarmas.

Transaksi ini mengejutkan banyak orang karena keluarga Eka Tjipta Widjaja, pemilik Sinar Mas Group, tak lagi punya izin mengelola bank setelah kolapsnya Bank Internasional Indonesia dalam krisis ekonomi sepuluh tahun lalu. Inilah yang kemudian membuat isu kongkalikong antara Sinar Mas dan tokoh-tokoh kunci bank sentral merebak luas.

Dihubungi pekan lalu, Sulistyanto membenarkan hubungan akrabnya dengan Burhanuddin dan Miranda. ”Kami sama-sama aktif di Indonesia Forum, Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia, dan suka main golf bersama,” katanya. Namun dia membantah kedekatan itu yang mempengaruhi keputusan Bank Indonesia meloloskan pembelian Bank Shinta. ”Kami melakukan prosedur yang benar,” katanya. Sulistyanto juga memastikan semua posisi manajemen Bank Sinarmas dipegang oleh orang-orang Bank Shinta. ”Sinar Mas hanya menempatkan Bapak Johny Lumintang sebagai komisaris utama,” katanya.

l l l

BERBEDA dengan dua pekan lalu, kali ini Miranda Goeltom tak mau ditemui. Dia hanya melayani semua pertanyaan Tempo lewat pesan pendek. ”Saya tidak tahu-menahu. Kenapa saya masih ditanyai?” katanya seraya mengaku sedang berada di luar negeri.

+ Ibu Miranda, kami perlu konfirmasi soal kedekatan Ibu dengan sejumlah pemilik bank yang dikaitkan dengan proses pencalonan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia.

- Saya heran, apa kamu punya hati nurani? Nanti saja kalau saya pulang kita ngobrol panjang-lebar. Silakan Anda berkata jujur kepada diri sendiri, dan jawab sendiri apakah Anda memang (wartawan) gossip.com.

Setelah itu, telepon seluler Miranda tak lagi bisa dihubungi.

Wahyu Dhyatmika, Sunudyantoro, Sahala Lumbanraja, Rina Widiastuti (Jakarta), Edi Faisol (Pekalongan)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus