Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MENYEDOT asap tembakau dalam-dalam, anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan menjungkirkan jempol kirinya ke bawah. Isyarat itu ia berikan ketika ditanyai soal peluang Miranda Swaray Goeltom, yang didera dugaan suap, untuk terus menduduki kursi Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia—jabatan yang harus ditinggalkan Miranda tahun depan. ”Calon kuatnya Hartadi (Agus Sarwono),” kata si politikus kalem. Saat ini Hartadi anggota Dewan Gubernur Bank Indonesia yang paling senior.
Derasnya tudingan suap selama dua pekan terakhir mengecilkan peluang Miranda. Adalah politikus PDI Perjuangan Agus Condro Prayitno yang mengaku menerima suap Rp 500 juta agar meloloskan Miranda sebagai Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia pada 2004.
Sumber Tempo dari Fraksi Partai Amanat Nasional mengatakan peluang Miranda menikmati periode kedua sebagai Deputi Gubernur Senior bisa dibilang tak ada. ”Hartadi paling berpeluang” katanya. Ia membisiki, karakter Hartadi yang pendiam mirip dengan Boediono—Gubernur Bank Indonesia saat ini. Keduanya dianggap cocok. Hartadi, 56 tahun, juga relatif bersih.
Politikus Banteng lainnya berencana melobi Boediono agar mengusulkan Hartadi ke Presiden untuk disetujui ikut dalam uji tuntas dan kelayakan Deputi Gubernur Senior tahun depan. ”Sekali-sekali orang Institut Teknologi Bandung dong yang naik,” kata sumber itu. Hartadi lulus dari Jurusan Teknik Industri Institut Teknologi Bandung pada 1978.
Lima tahun lalu, pada masa pemerintahan Megawati, PDI Perjuangan berdiri di belakang Miranda, 59 tahun. Ia bahkan diplot menjadi pemimpin bank sentral. Politikus dengan asap tembakau itulah yang diminta PDI Perjuangan memperjuangkan Miranda.
Miranda adalah kandidat terkuat Gubernur Bank Indonesia—menggantikan Syahril Sabirin, yang masa jabatannya berakhir awal 2003. Pesaingnya ketika itu adalah Cyrillus Harinowo dan Burhanuddin Abdullah. Saat itu, sumber Tempo bercerita, Miranda mendapat restu dari dua partai besar: Golkar dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan.
Dengan sokongan kedua partai yang mengantongi lebih dari setengah total suara Komisi Keuangan saat itu, mestinya langkah Miranda tanpa hambatan. Tapi, dalam pemungutan suara, ia kalah telak. Miranda hanya mengantongi 18 suara, jauh di bawah Burhanuddin Abdullah, yang mendapat 34 suara. Adapun Cyrillus Harinowo tak mendapat satu suara pun.
Dukungan yang dikantongi Miranda ternyata cuma dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. Politikus Golkar belakangan mendukung Burhanuddin, yang saat itu diusung antara lain oleh Fraksi Partai Persatuan Pembangunan, Fraksi Partai Amanat Nasional, dan Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa.
Tahun berikutnya, nasib Miranda membaik. Saat Komisi Keuangan melakukan seleksi pengisian posisi Deputi Gubernur Senior yang ditinggalkan Anwar Nasution karena habis masa tugas, Miranda mendapat angin. Kali ini, duet Banteng dan Beringin terbilang solid. Miranda, saat itu salah satu deputi gubernur, mendapat 41 suara. Dua kandidat lain, Budi Rochadi (Kepala Perwakilan Bank Indonesia di Tokyo) dan Hartadi A. Sarwono (deputi gubernur), cuma mendapat 12 dan satu suara.
Ketika itu, beredar rumor telah terjadi politik uang. Transparency International Indonesia, Institute for Development of Economics and Finance, dan Masyarakat Profesional Madani bahkan sempat mendesak pemilihan ditunda. ”Kami dengar pemilihan ini sarat dengan deal politik partai dengan Bank Indonesia,” kata Dradjad Wibowo dari Institute for Development of Economics and Finance—belakangan menjadi politikus Partai Amanat Nasional.
Sumber Tempo di Fraksi Beringin mengatakan Miranda terpilih akibat ”politik bagi-bagi jatah” di antara partai. ”Karena Golkar sudah mendapat posisi gubernur, PDI Perjuangan mendapat kursi wakilnya,” kata petinggi ini. Sumber di Fraksi Banteng mengatakan menangnya Miranda ini bagian dari skenario jangka panjang. ”Kalau Megawati menang pada pemilihan presiden 2004,” katanya, ”Miranda jadi gubernur.”
Tapi rencana itu tak kesampaian. Dalam Pemilu 2004, Megawati kalah oleh Susilo Bambang Yudhoyono—Menteri Koordinator Politik dan Keamanan di Kabinet Gotong-royong.
SELAIN karena soal dugaan rasuah kepada anggota Dewan, kartu Miranda sulit ”dihidupkan” lagi akibat ia punya banyak ”persoalan”. Seorang politikus Partai Amanat Nasional menyebutkan Miranda kerap dianggap boros dalam membelanjakan uang Bank Indonesia. ”Ia suka beli lukisan mahal untuk dipasang di kantor,” ujar politikus Partai Banteng.
Ia juga kerap ke luar negeri. Menurut audit Badan Pemeriksa Keuangan, pada 2006 Miranda menghabiskan sekitar Rp 4 miliar untuk biaya perjalanan. Perempuan yang gemar gonta-ganti warna rambut itu menghabiskan 153 hari di luar negeri dalam 22 kali perjalanan. Ketika dimintai konfirmasi, Miranda mengunci mulut. Sejak dua pekan lalu, ia memang tak bersedia memberikan wawancara. ”Saya lagi di luar negeri. Saya sibuk, ada rapat kerja,” katanya saat telepon selulernya dihubungi.
Meski kini digoyang, sejumlah pihak yakin, Miranda akan tetap bertahan hingga masa jabatannya berakhir pada 2009. Anggota Komisi Keuangan, Dradjad Wibowo, mengatakan Miranda dilindungi Undang-Undang Bank Indonesia. ”Menurut undang-undang, dia hanya bisa diganti jika sudah divonis bersalah dan perkaranya sudah berkekuatan hukum tetap,” katanya. Kecuali, ”Jika dia mengundurkan diri.”
Budi Riza, Sahala Lumbanraja
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo