Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
GARA-gara mobil bekas, hidupnya meranggas. Itulah yang dialami Amrozi, 35 tahun. Mobil minibus L-300 yang ditemukan tak lagi berbentuk di Kuta, Bali, 12 Oktober lalu, membuat polisi mengubek-ubek dan menjemputnya dari rumah orang tuanya di Tenggulun, Lamongan, Jawa Timur, Rabu pekan silam.
Kepergian polisi itu bukan tanpa dasar. Mereka mengantongi hasil pemeriksaan Laboratorium Forensik dari kantor kepolisian pusat di Jakarta yang berisi penemuan nomor rangka mobil L-300 yang hancur-luluh di depan Sari Club itu. Dari nomor rangka tersebut diketahui bahwa pemilik terakhir minibus tadi adalah pria yang sering disapa Rozi itu. Ia kini dijadikan tersangka terorisme di Bali.
Seorang pemuda di Tenggulun, Maftuhin, 23 tahun, punya cerita lain. Menurut tukang ojek yang sering mangkal di depan rumah Rozi ini, sekitar seminggu sebelum peledakan bom di Kuta, mobil L-300 warna putih itu memang terparkir manis di halaman rumah Amrozi. "Selama dua hari dua malam mobil ini memang terlihat ada di sini," kata Maftuhin.
Bukan perkara aneh. Soalnya, Amrozi memang kerap ganti mobil. "Kadang sedan, Espass, atau Crown," kata Maftuhin. Maklum, Rozi memang dikenal sebagai makelar mobil. Ia juga jadi montir amatir dan membuka bengkel motor di rumahnya. Namun ada hal lain yang mencurigakan. Saat itu Maftuhin melihat keganjilan dari Rozi. Sekitar dua minggu sebelum kejadian Kuta, ia melihat Amrozi mengiming-imingkan segepok uang kepada teman-temannya.
Siapakah Amrozi sebenarnya? Anak ke-6 dari 8 bersaudara pasangan Nur Hasyim dan Tariyem ini menghabiskan masa kecilnya di Tenggulun. Menurut kakak-kakaknya, Rozi hanyalah anak biasa dan hampir tidak memiliki kelebihan yang menonjol. Pendidikannya pun cuma mentok di kelas 3 SLTP. "Ia tidak mempunyai kepribadian yang aneh-aneh. Biasa-biasa saja. Wataknya juga biasa," kata M. Khozin, kakak kandungnya.
Yang istimewa, prestasinya bak Arjuna dalam menggaet wanita. Amrozi tercatat beberapa kali kawin cerai. Pertama, ia mengawini Rohma, gadis desa tetangganya, pada 1985. Dari perkawinan itu ia mendapatkan anak yang diberi nama Indra, yang kini berumur 17 tahun. Empat tahun lalu, dia bercerai dari Rohma dan menikah lagi dengan Astuti, gadis asal Desa Payaman, Lamongan. Pernikahannya itu juga berantakan. Hanya setahun menikah, mereka bubar tanpa meninggalkan seorang anak.
Kegagalan pernikahan keduanya itulah yang mengubah hidupnya. Ia berangkat ke Malaysia. Apa tujuan keberangkatannya ke Malaysia itu masih simpang-siur. Menurut M. Khozin, Amrozi berada di negeri jiran itu bekerja menjadi kuli bangunan. Di sana ia beroleh jodoh, menikah dengan Susianti, 30 tahun, perempuan bercadar asal Magetan, Jawa Timur.
Dari pernikahannya ini ia mendapat anak bernama Khaula, yang kini berusia lima setengah tahun. Selama di Malaysia, Amrozi tinggal di Kramat, Kuala Lumpur. Namun, menurut saudaranya yang lain, kepergian Amrozi ke Malaysia itu bukan untuk mencari nafkah tapi hanya untuk berkunjung ke tempat seorang famili.
Tentu hanya Rozi yang tahu betul kepergiannya itu untuk apa. Tapi, menurut beberapa tetangganya, sepulang dari negeri jiran itu, sosok Amrozi berubah total. Gaya hidupnya lebih Islami. Tak mengherankan bila di kalangan pemuda Tenggulun, Amrozi dikenal sebagai orang yang fanatik beragama. Santri-santri di Pondok Pesantren Al-Islam, yang tak lain didirikan oleh abangnya, memanggilnya ustad.
Tidak hanya itu. Santer terdengar, Amrozi merupakan salah satu pemegang keuangan pesantren itu. Namun Muhammad Zakaria, pemimpin Pondok Pesantren Al-Islam, membantah bila dikatakan Amrozi merupakan salah satu pengurus pesantren itu. "Dia hanya simpatisan yang kadang-kadang ikut salat berjemaah di pondok," katanya.
Bahkan, menurut Zakaria, dalam hal menjalankan agama, Amrozi bukanlah golongan orang yang khusyuk, apalagi penganut Islam militan. Zakaria malah kerap melihat Amrozi lebih suka nongkrong bersama teman-temannya daripada mengaji. "Saya kurang yakin dia bisa membuat bom. Keahliannya hanya memasang antena HP dan menyervis mobil dan motor," kata Zakaria. Kalaupun berhubungan, menurut Zakaria, paling banter dia mengaku sering diantar Amrozi untuk berdakwah atau pergi ke rumah makan.
Tapi pengaruh Amrozi terhadap para santri itu tak bisa dielakkan. Semisal, ketika para santri datang dan ingin melaksanakan salat di Masjid Baitul Muttaqin, yang lokasinya berdekatan dengan rumah Amrozi, selalu Amrozi yang mereka jadikan imam. Selain itu, rumah Amrozi juga dijadikan tempat kos ustad Al-Islam yang berasal dari Pesantren Ngruki, Solo.
Soal kedekatan Pesantren Al-Islam dengan Pesantren Al-Mukmin, Ngruki, pimpinan Abu Bakar Ba'asyir, tak bisa dimungkiri. Pondok Pesantren Al-Islam ini didirikan pada 1992 oleh Ustad Muhammad Zakaria, alumni Pesantren Ngruki, bersama Ustad Muhammad Khozin dan Ustad Ja'far Shodiq—keduanya kakak Amrozi. Guru-guru pesantren juga lulusan Al-Mukmin, seperti Syaifuddin Zuhri, Azhari, dan Ali Abdan. Belakangan, yang bertahan tinggal Muhammad Zakaria, yang kemudian tetap menjadi pemimpin pondok ini.
Irfan Budiman, Adi Mawardi, Sunu Dyantoro (Lamongan)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo