Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
RUMAH berlantai dua di pinggir jalan jurusan Malang-Kediri itu sudah tampak kusam. Cat putih yang membungkus dindingnya sudah mengelupas dan terlihat kotor di sana-sini. Tapi bangunan yang terletak di Dusun Mangir, Desa Sukosari, Kabupaten Malang, Jawa Timur, ini selama sepekan terakhir menarik perhatian sejumlah orang tak dikenal.
Saban hari ada saja yang mengetuk pintu rumah yang terletak sekitar 60 kilometer arah barat Kota Malang itu. Kehadiran mereka yang bertubi-tubi membuat salah seorang penghuni, Sulastri, kelimpungan meladeninya. Belakangan, perempuan 40 tahun ini baru ngeh maksud kedatangan orang-orang tak dikenal itu mencari suaminya, Abdul Wahab.
Sulastri lebih terkejut lagi ketika mendengar maksud mereka mencari suaminya. Sejumlah tamunya menuturkan, Abdul, yang akrab dipanggil Cak Dul oleh warga Dusun Mangir, diduga terlibat dalam aksi peledakan bom di Legian, Bali, yang menewaskan 186 orang pada 12 Oktober silam.
Tuduhan terhadap Abdul serta-merta membuat ibu tiga anak ini gelagapan. Apalagi pada malam terjadinya ledakan Sulastri ingat benar bahwa suaminya tengah berada di rumah. Cak Dul beserta keluarga dan sejumlah tetangganya ketika itu sedang kongko-kongko sembari menunggu pengumuman keluarnya angka judi toto gelap (togel).
Sulastri juga tak habis pikir ketika sejumlah tetangganya memberi tahu bahwa Abdul telah ditangkap polisi. "Tapi kok tadi malam suami saya telepon?" katanya. Rabu pekan lalu, Abdul memang sempat bicara dengan istrinya lewat telepon milik tetangganya. Ia mengabarkan masih berada di Pulau Kangean dan dalam keadaan sehat. "Ia tidak bisa pulang karena belum dapat pinjaman uang," kata Sulastri.
Ketika berbicara dengan suaminya itu, Sulastri tak mengabarkan kedatangan para tamu ke rumah mereka. Alasannya, biar Abdul tak khawatir dan tidak terganggu dalam mencari pinjaman uang untuk modal usaha mereka berdagang dedak dan kopra. Abdul pamit mudik ke Pulau Kangean, yang terletak di timur Pulau Madura, sejak 26 Oktober silam.
Sulastri mestinya tak perlu bingung jika rajin mengikuti berita perkembangan bom Bali di media cetak atau elektronik. Adalah Kepala Polisi Republik Indonesia, Jenderal Da'i Bachtiar, yang melansir nama warga Dusun Mangir tersebut dalam penjelasannya kepada sejumlah anggota DPR dari Komisi Hukum dan Politik Dalam Negeri di Senayan, Jakarta, Selasa pekan lalu.
Sembari membacakan rangkuman hasil penyelidikan polisi yang dikemas dalam kertas kerja setebal 20 halaman bersampul kuning, Da'i menuturkan bahwa polisi memperoleh informasi Abdul pernah memberi perintah pembakaran sebuah gereja di Surabaya.
Sayangnya, Da'i tidak menjelaskan lebih lanjut apa kaitan antara Abdul dan peledakan di Bali. Usut punya usut, ternyata wajah Abdul mirip dengan salah satu sketsa tersangka pengebom Bali. Sumber TEMPO di Kepolisian Wilayah Malang membenarkan alasan kemiripan wajah tersebut. "Jadi, bukan karena kasus atau dilaporkan orang dalam kasus lain," kata sumber itu.
Alasan pengejaran Cak Dul oleh polisi itu membuat Sulastri dan keluarganya bertanya-tanya. Maklum, sejak sepuluh tahun menikah dengan lelaki itu Sulastri tak pernah mengetahui suaminya berurusan dengan bahan peledak dan sejenisnya. Begitu pula dalam urusan pengajian atau terlibat kegiatan bersama para aktivis Islam. "Jangankan pengajian, wong salat lima waktu saja jarang," katanya.
Sulastri bertemu Abdul ketika lelaki itu masih sebagai sopir bus Puspa Indah jurusan Malang-Jombang-Tuban. Hubungan mereka menjadi dekat gara-gara Sulastri kerap naik bus yang dikemudikan Abdul. Pada 27 Agustus 1991, mereka menikah setelah Abdul resmi cerai dengan istri pertamanya, Pami, yang tinggal di Desa Tunjungtirto, Kecamatan Singosari, Kabupaten Malang.
Dalam catatan Sulastri, sejak menikah hingga kini Abdul jarang berurusan dengan polisi, apalagi dengan tuduhan sebagai pemberi perintah pembakaran sebuah gereja atau terlibat aksi peledakan. Seingat Sulastri, suaminya memang pernah "menginap" semalam di Kepolisian Resor Malang gara-gara tertangkap basah mengedarkan judi togel dengan dua rekannya. Tapi esok harinya mereka keluar setelah bosnya "menebus" Rp 5 juta.
Tak hanya Sulastri yang repot berurusan dengan polisi di Malang gara-gara penyelidikan bom Bali. Pasangan Umi Mawanah dan Suaidi juga mengalami pengalaman kurang menyenangkan. Bertubi-tubi polisi, wartawan, tetangga, hingga orang tak dikenal datang ke kediaman mereka.
Saking kesalnya, suami-istri ini memilih pergi dari rumah ketika hari masih pagi. Mereka baru kembali ke rumahnya setelah petang. Kabel telepon pun mereka cabut agar tak terdengar lagi dering telepon dari orang yang tidak mereka kehendaki.
Kerepotan Umi dan Suaidi bermula dari kabar dugaan terlibatnya seorang pemuda, Muhammad Fawazi, dalam peledakan bom di Bali. Polisi menemukan kartu tanda penduduk (KTP) atas nama Fawazi di sekitar lokasi bencana yang meluluh-lantakkan bangunan Sari Club dan Paddy's di Legian. Berangkat dari penemuan KTP ini, polisi menempatkan Fawazi dalam daftar buruan.
Alamat Fawazi yang tertera di KTP adalah Jalan Joyo Asri RT 08 RW 09 Kelurahan Merjosari, Malang, yang tak lain merupakan kediaman Umi dan Suaidi. Bagi pasangan ini, Fawazi memang bukan orang asing. Dari sisi hubungan darah, lajang berusia 25 tahun ini merupakan putra paman Suaidi, mendiang Haji Maksum, yang tinggal di Desa Mamben Lauk, Kecamatan Wanasaba, Lombok Timur.
Dari desa yang terletak sekitar 70 kilometer arah timur Mataram, Nusa Tenggara Barat, itu Fawazi melancong ke Malang. Dalam catatan Umi, sejak mereka menempati perumahan dosen Universitas Gajayana tahun 2000 lalu, sudah dua kali Fawazi bertamu ke kediamannya.
Nah, dalam kunjungan kedua sekitar pertengahan September lalu, Fawazi mengutarakan keinginannya untuk kuliah di kota dingin di Jawa Timur tersebut. Alumni Madrasah Aliyah—setingkat sekolah menengah umum—Pondok Pesantren Maraqitta'limat di Desa Mamben Lauk ini malah ingin mendaftarkan rumah pamannya sebagai domisili baru dirinya di Malang.
Ketua RT 08, Sugeng Mulyono, dan Lurah Merjosari, Abdullah, membenarkan bahwa Fawazi telah datang kepada mereka untuk mengurus KTP. "Saya tidak bertanya macam-macam. Pokoknya ada surat pindah, ya, saya layani keinginannya untuk mengurus KTP," kata Abdullah. KTP atas nama Fawazi dengan alamat pamannya di Merjosari itu akhirnya rampung pada 1 Oktober 2002.
Kurang-lebih dua pekan lamanya Fawazi tinggal di Merjosari untuk mengurus tetek-bengek pemindahan dirinya. Selama bertamu di kediaman pamannya ini, menurut Umi, Fawazi banyak berdiam diri di rumah. Teman main sehari-harinya, ya, kedua sepupunya yang masih kanak-kanak. Kalau pun keluar, paling banter main bola di depan rumah atau bersama Umi dan Suaidi.
Itu sebabnya Umi heran benar mendengar kabar Fawazi tengah menjalankan bisnis dagang selimut di Malang. Yang memiliki usaha jual-beli selimut tak lain adalah Suaidi. Sedangkan Fawazi justru baru mencoba dagang dengan membawa beberapa lembar selimut ketika hendak pulang ke Lombok, sekitar 3 Oktober lalu.
Sejak Fawazi pamit ke kampung halaman, Umi dan Suaidi belum mendengar kabar tentang keponakan mereka itu. Berita tentang Fawazi justru mereka dengar dari polisi beberapa hari setelah terjadinya ledakan di Bali. Suaidi dipanggil oleh Kepolisian Wilayah Malang. Para penegak hukum mencecarnya dengan pertanyaan tentang Fawazi dan keterlibatannya dalam organisasi Islam garis keras. "Polisi juga menyita foto setengah badan Fawazi," ujar Umi.
Hingga kini, Umi tak bisa percaya Fawazi terlibat dalam pengeboman Bali. Dosen akuntansi Universitas Gajayana ini percaya, jika keponakannya masih hidup tentu akan menghubunginya per telepon. Tapi dering telepon dari Fawazi tak kunjung terdengar.
Nasib Fawazi yang tak kunjung jelas rimbanya mendorong keluarganya di Desa Mamben Lauk mengadakan tahlilan. Mereka berdoa agar langkah Fawazi—jika telah meninggal—dalam menghadap sang Khalik terbuka lebar dan lancar.
Fawazi, seperti halnya Abdul Wahab, tetap sebuah misteri karena keduanya belum muncul hingga pekan lalu.
Widjajanto, Bibin Bintariadi, Kukuh S. Wibowo, Arif Miko (TNR)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo