Dalam perjalanan Menteri Luar Negeri Alatas ke RRC pada 1-4 Juli lalu, ikut dua wartawan TEMPO: A. Dahana dan Diah Purnomowati. Setelah tugas peliputan selesai, mereka tinggal di Beijing untuk beberapa hari dan, dalam perjalanan menuju Hong Kong, keduanya singgah di Shanghai dan Guangzhou (Kanton). Berikut ini adalah kesan-kesan perjalanan mereka selama sepuluh hari. KAMI saksikan Beijing luas, indah, dan bersih. Jalan protokol mempunyai 4-5 jalur dengan jalur sepeda di kedua tepinya. Rakyat bersepeda ke mana-mana, bahkan sampai tengah malam. Kami lihat hanya sedikit sepeda motor, tapi mobil pribadi cukup banyak. Umumnya, taksi menggunakan mobil sedan merek Toyota dan Nissan, bahkan ada juga Mercedes. Ongkos awal Y 6,80 (Y 1 = Rp 395) dengan penambahan Y 1,20 untuk mobil besar, hanya Y 0,80 untuk yang kecil. Angkutan rakyat adalah bis. Sebagian bis di Beijing berbentuk trolley -- memakai tenaga listrik seperti trem -- dengan sopir yang umumnya wanita. Hampir selalu bis dipenuhi penumpang yang berdiri. Ongkosnya hanya lima sen. Ada nomor dan rute di bagian depan bis itu. Kalau belum jelas, ada teriakan dari kondektur dan sopir lewat pengeras suara. Sebagian besar penduduk Beijing tinggal dalam flat Pemerintah yang berderet memenuhi kota. Setiap keluarga hanya mendapat dua buah kamar kecil dengan sewa murah sekali, hanya Y 5 per bulan. Jumlah yang sama harus dibayar untuk telepon dan listrik. Biaya hidup di negara ini memang murah, tapi gaji pegawai juga kecil. Seorang asisten dosen, misalnya, hanya memiliki Y 50 tiap bulannya. Itu sangat pas-pasan untuk hidup. Harga-harga miring tidak berlaku untuk turis dan rombongan wartawan tamu. Ongkos menginap semalam di Gedung Negara adalah US$ 98. Belum biaya makan setiap hari sekitar US$ 40. Bis yang disediakan Pemerintah untuk mengangkut rombongan kami -- wartawan Indonesia yang berjumlah 11 orang -- biayanya Y 1.100 untuk tiga hari. Saat itu, Beijing sedang menghadapi dua kegiatan besar. Sensus penduduk, yang sudah dimulai awal Juli, dan Asian Games September mendatang. Spanduk yang umumnya berwama merah bertempelan di mana-mana. "Sukseskan Asian Games untuk kejayaan Kota Beijing", bunyi salah satu poster dalam bahasa Inggris. Dalam tiga tahun terakhir ini, RRC ngebut membangun segala persiapan untuk peristiwa olahraga besar itu. Bermunculan hotel-hotel baru dengan arsitektur yang cantik bertingkat di atas 20. Perkampungan atletnya hampir rampung. Flat-flat itu dengan stadion yang megah berjejer dalam areal seluas 520 hektare. Biaya pembangunannya hampir Y 2,1 milyar. Sedangkan biaya penyelenggaraan acara akan makan Y 400 juta. Proyek menara gading itu mengambil dana dari rakyat. Lewat penjualan kupon olahraga seharga Y 1, yang diundi secara berkala dengan hadiah antara lain sepeda motor. Tapi kami lihat segalanya itu belum diimbangi peningkatan fasilitas dan kesiapan seorang tuan rumah. Di Heping Bingguan (Hotel Perdamaian), sebuah hotel baru dekat Lapangan Tiananmen, misalnya, keramahan para petugas dalam menyambut tamu belum terasa. Hotel Perdamaian sendiri cukup baik. Televisinya punya beberapa saluran, termasuk CNN. Saluran lain menggunakan bahasa Mandarin, termasuk film Barat dan sepak bola. Acara dimulai pada pagi hari dengan pelajaran untuk anak-anak. Ternyata, walau tinggal di negara sosialis, orang Cina ini penggemar film melodrama. Hampir setiap malam diputar film hujan tangis. Televisi pun banyak diisi dengan iklan yang konsumtif. Fasilitas hotel lainnya adalah radio yang mempunyai enam saluran. Radio Beijing sepanjang hari memutar lagu-lagu manis dalam bahasa Inggris. Ada juga siaran dalam bahasa Inggris dan Prancis. Normalisasi RI-RRC terus menjadi topik utama walau Alatas sudah meninggalkan negara itu beberapa hari sebelumnya. Gaung World Cup juga menembus Negara Tirai Bambu ini. Beberapa laki-laki terlihat berdiri di tepi jalan memperbincangkan hasil pertandingan. Kaus World Cup pun dijual di pinggir jalan. Beberapa pelayan Diaoyutai -- semuanya tamatan universitas -- dengan setia mengingatkan para wartawan bila malam harinya akan ada pertandingan. Suasana Beijing, buat kami, terasa mencekam. Polisi dan tentara berkeliaran di mana-mana Apalagi di sekitar Tiananmen, tempat perisffwa berdarah Juni tahun lalu. Lapangan ini dipenuhi oleh turis domestik dari semua provinsi di RRC. Pengunjung rela berbaris berpanas-panasan untuk melihat maoseleum Mao Zedong yang terletak di ujung selatan lapangan luas itu. Kami sempat tertegun melihat seorang pengunjung tua masih tampak menangis tersedu-sedu ketika melihat jenazah Mao yang dibalsem. Balai Agung Rakyat terletak di sebelah barat Lapangan Tiananmen. Gedung pertemuan yang besar itu dijaga polisi dengan ketat. Tidak sembarang orang bisa masuk. Tapi kondisi gedung yang dibangun pada 1958 itu sungguh rawan. Gordengordennya, setinggi hampir delapan meter, sudah belel. Beberapa bagian robek dan dijahit sembarangan memakai benang hitam. Kamar kecil pun berbau "semerbak". Padahal, pelayan-pelayan gedung yang berpakaian seragam hilir mudik di sana. Para wartawan asing yang tinggal dalam flat di daerah tempat tinggal untuk orang asing dijaga dengan ketat oleh polisi. Lift-lift dikawal 24 jam sehingga penduduk tidak masuk -- untuk meminta dolar. Kami melihat beberapa lelaki menunggu di luar hotel kami. Mereka memburu dolar atau yuan untuk orang asing. Mata uang yuan ada dua jenis -- untuk orang asing dan untuk penduduk dengan nilai tukar yang berbeda. Kalau satu dolar Amerika ditukar 4,7 yuan untuk orang asing di money changer, maka lewat orang-orang di depan hotel tadi bisa ditukar dengan 10 yuan untuk orang lokal. Tapi, ada beberapa toko yang hanya mau melayani yuan untuk orang asing. Tempat-tempat hiburan malam yang sehat di Beijing cukup tapi tak banyak. Diskotek, bar, dan karaoke ada di hotel, banyak juga yang berdiri sendiri. Cover charge diskotek Y 25. Itu hanya bisa dijangkau oleh anak-anak muda kaya. Umumnya mereka datang naik mobil pribadi dengan teman sebangsanya. Diskotek hote-l kebanyakan diserbu orang bule. Kabarnya, penduduk baru bisa masuk setelah pukul 24.00. Para tamu disambut pelayan wanita yang berpakaian Tang Zhuang (pakaian zaman dinasti Tang yang terbelah sampai di paha) warna hitam dengan belahan paha tinggi. Setelah melayani tamu, para pelayan pria maupun wanita berdiri di dekat arena ajojing. Dengan asyik, mereka ikut bergoyang-goyang mengikuti irama lagu Barat. Seorang wartawan Jepang yang pernah bertugas di Jakarta mengatakan bahwa karaoke di Jakarta lebih seronok. Katanya, di Beijing, aturan duduknya aneh: semua laki-laki berjajar di satu sisi, sedangkan para wanita di seberang meja. Ngobrol diperbolehkan, tapi dilarang bersentuhan, apalagi bermesraan. Tata cara ketat itu berlaku setelah ada "kejadian" antara seorang pelayan dan seorang pengunjung. Pada suatu malam, kami makan di sebuah restoran fast food yang menyajikan ayam Hainan. Kemudian salah satu dari kami melihat sebuah billboard kelap-kelip yang bertuliskan kata "gala" dalam aksara kanji yang dibuat dengan "gaya" yang dihubungkan dengan kata "oke" dalam huruf Latin. Tertarik oleh cerita wartawan Jepang itu, kami pun masuk. Panti karaoke itu terletak di jalan utama Wangfujing, di sebuah pusat pertokoan bertingkat dua, tak jauh dari hotel tempat kami menginap. Setelah membayar 30 yuan atau sekitar Rp 11.500 (sangat mahal untuk ukuran kocek seorang "kelas menengah" Cina), kami dibawa ke ruang atas, memasuki sebuah ruangan besar berukuran sekitar 10 X 20 meter. Dengan 30 yuan itu, kami mendapat satu gelas minuman. Pelayannya sangat ramah, suasananya sopan. Dalam ruangan yang diterangi cahaya redup itu dipasang sekitar 100 meja bundar kecil dengan empat kursi di setiap meja. Di ujung ruangan, ada seperangkat alat elektronik dan tempat ajojing, lengkap dengan lampu kelap-kelip. Ruangan sudah penuh dengan tamu, kebanyakan pasangan laki dengan laki atau perempuan dengan perempuan. Setelah ditunggu sekitar 30 menit, acara dimulai. Rupanya, malam itu, sebuah perusahaan sedang merayakan HUT-nya yang kedua. Setelah MC mengucapkan basa-basi dan para manajer utama perusahaan berpidato, acara dimulai. Kombinasi antara show, karaoke, dan dansa. Sepasang biduan cantik dan seorang pria, berdandan ala penyanyi klub malam, menyanyikan lagu-lagu cinta yang cengeng dari Hong Kong dan Taiwan. Mereka penyanyi profesional yang penghasilannya sampai 20.000 yuan per bulan. Penghasilan yang bukan main besarnya kalau dibandingkan dengan gaji seorang profesor universitas paling -paling sekitar 200 atau 300 yuan. Setelah itu, giliran pengunjung yang menyanyi. Ada yang menyanyikan lagu cinta. Ada juga lagu rock protes seperti lagu Yi wu suoyou, yang secara bebas berarti "Aku tak punya apa-apa". Lagu itu sinis pada politik umumnya dan pada pikiran-pikiran Mao khususnya. Ada juga lagu patriotik seperti Wo shi Zhongguoren (Aku orang Cina), yang mulai dipopulerkan di Provinsi Guangdong. Tiba giliran melantai. Mula-mula dibunyikan musik disko dari piringan hitam Barat. Semua orang turun. Hiruk-pikuk, tak jelas lagi siapa berpasangan dengan siapa. Sekitar setengah jam kemudian, terdengar musik slow -- juga Barat. Pasangan laki wanita berpelukan mesra. Tapi, astaga. Wanita pun berdekapan dengan wanita, pria dengan pria, tak kalah ketatnya. Seperti pesta gabungan kaum straight, yang lesbi dan yang gay. Kami jadi teringat buku tentang kehidupan di Cina modern, yang ditulis Fox Butterfield, Alive in the Bitter Sea, juga yang ditulis suami-istri Liang HengJudith Shapiro, After the Nightmare. Para penulis itu mengatakan, di Cina dansa sesama jenis biasa dan kita jangan menafsirkan yang bukan-bukan. Beijing tidak hanya menghibur orang dewasa. Untuk anak-anak kecil dan remaja, berserakan permainan ding-dong sampai ke jalanjalan kecil. Tempat permainan itu selalu dipenuhi oleh anak-anak muda. Semuanya laki-laki. Kami rasa para pemuda Beijing bersikap lebih ramah kepada orang asing walaupun masih saja ada yang segera menyingkir kalau ditanya. Dengan hangat, mereka menjawab dalam bahasa Inggris. Bahasa itu kini sedang populer karena ada tayangan pelajarannya di televisi. Para pelayan rumah makan -- sebagian mahasiswa suka mempraktekkan bahasa Inggrisnya. Kami saksikan juga, betapa generasi muda tidak malu-malu lagi berpacaran, bergandengan, bahkan berpelukan di bangku-bangku dalam taman. Di Lapangan Tiananmen, ada Pojok Cinta. Di sanalah kawula muda merangkai asmara -- konon sampai lebih. Ini bisa dimengerti karena rumah orang kebanyakan sangat sempit dan tak jarang, terutama setelah Revolusi Kebudayaan satu rumah dihuni oleh lebih dari dua keluarga. Sekitar danau di Universitas Peking atau Beida juga menjadi ajang cinta mahasiswa. Mereka tinggal dalam asrama di kompleks universitas yang luas dan kira-kira berusia satu abad. Ketika kami ke sana, tidak ada mobil yang berseliweran semua memakai sepeda. Para mahasiswa sedang menghadapi ujian. Tapi, malam-malam, mereka bangun untuk menonton World Cup. Orang Cina gemar makan. Di mana-mana ada restoran. Tapi makanan khas mereka, Bebek Peking, hanya bisa dinikmati oleh orang kaya karena harganya mahal dan tersedia di rumah makan mewah. Sebuah bebek akan dimakan habis sampai tulang-tulangnya. Rumah makan muslim pun banyak. Umumnya dari Provinsi Xinjiang yang beragama Islam. Di sana ada tulisan Arab selamat datang menyambut para tamu. Kentucky Fried Chicken dan Pizza Hut juga sudah buka cabang, tapi pengunjungnya tidak terlalu ramai. Pasar kaget Beijing, yang terletak di Jalan Dong Anmen, berderet di tepi jalan sampai pukul 23.00. Segala jenis makanan dijual dalam kios berukuran lebar tiga meter itu. Mulai telur mata sapi sampai bubur ketan hitam. Banyak cara untuk menarik para pembeli. Ada yang memajang sertifikat masaknya di depan kios. Tapi yang paling seru adalah teriakan-teriakan mereka di antara bunyi penggorengan. Harga makanan murah, rata-rata hanya Y 1. Di depan pasar kaget itu, di Jalan Wangfujing, berderet pertokoan. Tiap sore, toko-toko itu dipenuhi pengunjung. Hanya toko elektronik yang kurang peminatnya karena mahalnya selangit. Hidup di kota berpenduduk 11 juta jiwa itu cukup menekan karena gaji kecil. Para pelayan hotel menerima tip dengan malu-malu. Kadang cinta pun bergeser jadi pikiran praktis. Seorang wanita muda mau menikah dengan orang yang sudah bekerja dengan gaji Y 150, hanya karena dicekik biaya hidup. Program keluarga berencana berhasil di kalangan intelektual pun hanya karena pertimbangan praktis saja. Sebuah flat dengan dua kamar dan gaji yang kecil tidak mencukupi untuk keluarga dengan dua anak. Dhn, Dpw
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini