LENGUH pengamen dibalut irama dangdut. Dia berebut -- ribut dengan deru dan lengking peluit kereta. Bersamaan dengan itu, penjaja asongan meneriakkan dagangan, sambil menyeruak di celah ketiak sesak para penumpang. Dan seorang pengemis tua komat-kamit mensyukuri ketiban receh seratus perak. Kemudian, ia terseok lagi menyusuri gerbong demi gerbong. Itulah bagian menu harian penumpang kereta Jabotabek. Sejak 1976, setiap hari 74 KRD (Kereta Rel Diesel) dan KRL (Kereta Rel Listrik) mengangkut armada pekerja dan pelajar yang keluar masuk Jakarta. Bukan cuma dari Bogor-Tangerang-Bekasi (itu yang disingkat Jabotabek), bahkan dari Cikampek dan Purwakarta. Pada jam sibuk, yakni pagi pukul 07.00, 7.30, 08.00, 08.30, dan 09.00, tiap gerbong yang berkapasitas 82 tempat duduk biasa dijejali sekitar 300 orang. Sekali jalan, kereta ini rata-rata menarik delapan gerbong. Kereta, memang tak secepat metro di Paris, atau semolek tube di London. Tapi di sini ada yang khas: para penumpang tak tegang seperti robot disusun . Kecuali jadwal yang sibuk, maka kereta tidak sempat lagi dimandikan seperti kereta Parahiyangan. Bau sedikit mungkin tak soal. Sama saja kalau berjejal mirip ikan pepes. Dan sambil menunggu tiba di tujuan, para penumpang ngobrol aneka soal. Ya, mereka seakan tidak peduli kereta yang kadang berhenti lama di satu stasiun. "Bos maklum kalau kita telat tiba di kantor, karena ada satu kereta terlambat," kata seorang ibu, kalem. Kereta memang praktis dan murah sebagai sarana transportasi. Bogor-Jakarta p.p., Rp 1.000. Jika berlangganan, tarifnya lebih miring 60%, serta tidak usah berganti kendaraan. Tiba di tujuan relatif tepat waktu. Dan bulan ini diperkenalkan pula kereta Jabotabek Eksekutif (sehari 4 kali p.p.). Stop hanya di Manggarai dan Gambir. Tarifnya sekitar tiga kali lipat. Cara itu mungkin meringankan beban KRD dan KRL. Juga, siapa tahu mudah menangguk penumpang nakal yang selama ini main kucing-kucingan dengan kondektur. "Dalam keadaan sesak, satu kartu bisa dioper ke teman lain, sehingga sulit dikontrol," cerita seorang kondektur yang sudah berdinas 15 tahun. Habis mau bagaimana? Pak, kita sama-sama pegawai kecil, diatur-atur sajalah," rayu penumpang yang kartu langganannya kedaluwarsa. Senggol-menyenggol, yang konon rutin di kereta, juga lumayan membuat rumah tangga pecah di permukiman baru. Ini banyak di Depok. Sebaliknya, ada yang menerima berkah. Romli, contohnya. Ayah dua anak yang bermukim di Bogor ini, karyawan sebuah bank di Jakarta Kota. Ia sudah tujuh tahun membiarkan sebagian umurnya di atas kereta. Setiap hari dia bertemu orang-orang yang sama akhirnya saling kenal. "Saya bahkan kenal dengan ibunya anak-anak di sini. Witing tresno jalarane saking kulino," tuturnya, sambil tergelak. Lebih kurang pepatah Jawa itu artinya: Dari mana datang cinta, Nona? "Dari kereta turun ke hati, Mas." Jabotabek, Jabotabek. Ed Zoelverdi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini