Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BATU sebesar kepala memecahkan kaca belakang Honda Accord hitam yang melaju kencang. Pelempar batu itu kemudian memukul-mukul kaca sedan Ford hitam. Tak lama, giliran Audi A4 putih yang terkena sasaran.
Kerumunan orang memaksa sopir membuka kaca pintu depan. Tak cuma dilempari cat, sang sopir ditarik keluar dari mobil. Salah seorang terlihat membawa pipa besi, lalu menghancurkan kaca depan dan kap mobil Audi A4.
Kerusuhan tujuh bulan lalu itu terekam video amatir yang kemudian diunggah di YouTube oleh kantor berita Meksiko, La Jornada. Video ini menggambarkan kemarahan para sopir taksi di Kota Meksiko terhadap sopir Uber.
Penolakan terhadap aplikasi yang menyediakan layanan transportasi ini merebak di negara lain. Di London, Inggris, misalnya, 8.000 sopir taksi melumpuhkan pusat kota pada pertengahan Februari lalu.
Seamus Balfe, sopir yang ikut aksi itu, mengatakan Uber telah merugikan sopir taksi di London. "Dulu kami sangat mudah mendapat penumpang, bahkan hingga tengah malam," ujarnya. Namun, sejak Uber masuk ke London pada Juni 2014, pendapatan Balfe dan rekan-rekannya menurun. Menurut dia, banyak orang berdiri di pinggir jalan, tapi tak menyetop taksi karena menunggu Uber.
Satu bulan sebelumnya, mogok massal pengemudi taksi juga terjadi di Paris, Prancis. Hampir 10 ribu sopir taksi memblokade jalanan dan membakar ban bekas. Mereka menuntut pemerintah Prancis menghentikan operasi Uber.
Pemerintah Prancis sebenarnya telah menerbitkan aturan khusus pada Oktober 2014. Disebut Hukum Thévenoud, aturan ini menyebutkan operator seperti Uber masuk klasifikasi nontaksi atau mobil penumpang sewaan dengan sopir. Sopir dilarang menarik penumpang langsung, tapi harus melalui pemesanan. Setelah mengantarkan penumpang, sopir harus kembali ke garasi sebelum menerima pesanan baru.
Uber menolak aturan itu. Juru bicara Uber Prancis, Thomas Meister, menuduh aturan itu memperkuat monopoli taksi konvensional. "Aturan ini hanya ilusi agar terkesan seimbang, padahal lebih menguntungkan perusahaan taksi," ujarnya. Uber kemudian mempersoalkan Hukum Thévenoud ke Mahkamah Konstitusi Prancis karena menganggapnya tak adil.
Pada Januari lalu, pengadilan Paris malah menjatuhkan denda 1,2 juta euro atau sekitar Rp 17 miliar kepada Uber. Pengadilan meminta Uber membayar denda itu kepada serikat taksi setempat. Pengadilan menilai Uber telah merugikan bisnis taksi konvensional di Paris dengan mengambil sepertiga pasarnya.
Hukuman serupa dijatuhkan Pengadilan Distrik Frankfurt, Jerman, yang mendenda Uber 250 ribu euro atau sekitar Rp 3,6 miliar pada Maret tahun lalu. Alasannya, salah satu layanan Uber, yakni UberPop, yang bertarif murah, melanggar Undang-Undang Transportasi Jerman. Hakim yang menjatuhkan hukuman itu, Joachim Nicker, menganggap model bisnis Uber keliru karena tak memberikan asuransi kepada penumpang.
Penolakan terhadap Uber juga terjadi di Asia. Pemerintah Korea Selatan menuntut Chief Executive Officer Uber Travis Kalanick dua tahun lalu karena perusahaan itu dianggap masuk secara ilegal. Kalanick menolak datang. Pemerintah Kota Seoul lalu mengadakan sayembara berhadiah US$ 870 atau sekitar Rp 11 juta bagi penduduk Seoul yang berhasil membawa pengemudi Uber ke polisi.
Parlemen Korea Selatan akhirnya menerbitkan aturan yang melarang operasi layanan mobil pribadi dijadikan taksi bertarif murah pada awal 2015. Sepuluh bulan kemudian, Uber meluncurkan layanan UberTaxi dengan menggandeng perusahaan taksi setempat. Perusahaan asal Silicon Valley, Amerika Serikat, itu juga meluncurkan UberBlack, yang bertarif mahal, untuk warga negara asing dan penyandang disabilitas.
Tak semua negara menolak Uber. Perusahaan ini bebas beroperasi di Cina, tapi kalah bersaing dengan aplikasi sejenis buatan lokal, Didi Kuaidi. Uber bahkan rugi hingga US$ 1 juta atau sekitar Rp 13 miliar. "Kompetitor kami di Cina berani beroperasi dengan harga rendah. Itu yang membuat pangsa pasar mereka besar," kata Travis Kalanick.
Praga Utama (The Verge, Guardian, Reuters, BBC, The Week)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo