Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
NOTIFIKASI tagihan langsung diterima Adiwijaya saat ia menutup pintu mobil Toyota Avanza hitam yang baru ditumpanginya. Tagihan Rp 80 ribu melalui surat elektronik juga dikirim perusahaan aplikasi pemesanan mobil, Uber, untuk perjalanan dari Setiabudi, Jakarta Selatan, menuju Serpong, Tangerang Selatan. "Lumayan, dengan biaya tol, tak sampai seratus ribu," kata Adiwijaya, Kamis pekan lalu.
Meski Kementerian Perhubungan, tempatnya bekerja, sedang berpolemik dengan perusahaan aplikasi asal Amerika Serikat itu, Adiwijaya mengatakan ia dan beberapa rekan sekantornya masih menggunakan jasa Uber. "Ya, memang dari sisi regulasi masih harus dibenahi. Tapi tidak banyak kendaraan yang murah dan nyaman seperti ini," ujar pria 30 tahun itu.
Murah juga menjadi alasan utama Anugrah Satriowibowo memilih Uber untuk mengantarnya dari Bumi Serpong Damai menuju Bandar Udara Soekarno-Hatta. "Tiap kali ke bandara pilih pakai Uber karena bedanya bisa sampai Rp 70 ribu," kata pegawai Badan Pertanahan Negara ini.
Tempo membuktikan murahnya tarif layanan Uber. Dari lokasi yang sama, yakni Mal Gandaria City, dua wartawan Tempo memesan penyedia jasa transportasi berbeda menuju lokasi yang sama, yakni Gedung Tempo di kawasan Palmerah, Jakarta Barat.
Satu wartawan Tempo menggunakan taksi Blue Bird. Seorang lagi memakai jasa Uber. Rute yang ditempuh sama. Hasilnya, Uber mematok tagihan Rp 26 ribu. Sedangkan penumpang Blue Bird mesti membayar Rp 38 ribu. Karena tidak ada uang kecil, pembayaran dibulatkan menjadi Rp 40 ribu. Artinya, jasa Uber 25 persen lebih murah ketimbang Blue Bird.
Tidak semua konsumen Uber mempertimbangkan tarif. Ada juga faktor keamanan dan fasilitas yang diberikan kepada penumpang. "Saya akan tetap pilih Uber atau Grab karena merasa lebih nyaman," ujar Ririn Radiawati Kusuma, peneliti di Jakarta Property Institute. Menurut dia, kecepatan Uber atau Grab merespons keluhan konsumen patut ditiru angkutan umum di Jakarta.
Tidak hanya itu, jika konsumen tidak puas atau merasa dinakali pengemudi, perusahaan aplikasi ini bisa mengembalikan uang konsumen. Contohnya saat Ririn menggunakan jasa Uber untuk mengantarnya dari Pondok Indah ke Bendungan Hilir, Selasa pekan lalu. Dalam aplikasi, perkiraan tarif maksimal Rp 70 ribu. Namun sopir yang memilih jalur memutar membuatnya dikenai tagihan Rp 90 ribu.
Sesampai di tujuan, Ririn langsung mengisi form komplain yang disediakan aplikasi Uber. Dua jam kemudian, ia menerima surat elektronik dari Uber yang berisi permintaan maaf dan pernyataan akan mengevaluasi perjalanan tersebut. Beberapa menit kemudian, Ririn menerima surat kedua yang menyatakan tarif sudah disesuaikan dan ia hanya perlu membayar Rp 64 ribu. "Ini tidak ada di taksi biasa, yang bisa bikin kita emosional jika komplain," katanya.
Menurut Ririn, sistem pembayaran Uber menggunakan kartu kredit sangat praktis. Hal ini menguntungkan konsumen yang hendak membayar dengan nilai uang yang pas. "Tidak ada pemaksaan memberikan tip jika kurang suka," ujarnya.
Hanya, Ririn menilai tarif yang berlaku di Indonesia terlalu murah. Perempuan yang terbiasa memakai Uber sewaktu tinggal di Amerika tahun lalu ini mengatakan tarif buka pintu Uber di sana sudah mengenakan biaya setidaknya US$ 1,3. Untuk jarak 2 kilometer, misalnya, ia harus membayar US$ 4.
Rima Gravianty menyebutkan GrabCar dan Uber lebih aman. Apalagi kalau ia pulang kerja larut malam. Menggunakan transportasi berbasis aplikasi memudahkan pengacara ini memberitahukan posisi perjalanan kepada suaminya. Jika ada barang yang tertinggal, Rima tinggal menelepon pengemudi tanpa harus menghafal nomor lambung taksi. "Tapi, yang enak lagi, tampilannya seperti mobil pribadi," ujarnya.
Gustidha Budiartie
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo