Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebuah iklan yang tampaknya bertujuan menyerang Donald Trump memperlihatkan beberapa perempuan bergiliran membacakan kata-kata pengusaha yang berniat menjadi calon presiden Partai Republik itu tentang perempuan. "Bimbo," ujar perempuan pertama, menyebut kata yang digunakan untuk merendahkan perempuan. "Anjing," perempuan kedua menyambung. "Babi gendut," perempuan ketiga melengkapi sebelum iklan "Kutipan Asli Donald Trump tentang Perempuan" itu diperkenalkan.
Beberapa kalimat masih dibacakan sesudah itu. Semuanya senada, hinaan terhadap perempuan. Kalimat-kalimat itu sengaja diambil dari pernyataan Trump dalam program televisi The Howard Stern Show kira-kira sepuluh tahun lalu.
Pemasang iklan yang mulai tayang dan menimbulkan kegaduhan di berbagai stasiun televisi di Amerika Serikat pada Senin dua pekan lalu itu adalah Our Principle PAC. Bertekad menunggangi kritik keras terhadap sikap negatif Trump terhadap perempuan, lembaga pengumpulan dana pemilihan umum yang dipimpin anggota staf Jeb Bush, bekas pesaing Trump, ini berencana membelanjakan US$ 500 ribu (sekitar Rp 6,5 miliar) untuk membeli spot iklan.
Jumlah uang yang dikeluarkan Our Principle PAC hanya sebagian dari jutaan dolar yang digelontorkan melalui Partai Republik oleh kalangan yang tak ingin Trump lolos menjadi calon presiden. Sejak menyatakan tekadnya ikut bersaing memperebutkan posisi calon presiden, pria 69 tahun yang kaya berkat bisnis properti ini makin tak terbendung untuk mencapai tujuannya. Kemenangan demi kemenangan dalam pemilihan awal seperti mengkonfirmasi hasil jajak pendapat yang mengunggulkannya.
Kalangan di dalam Partai Republik memang cemas menghadapi fenomena pesatnya laju popularitas Trump. Yang membuat mereka risau adalah kampanyenya yang dinilai menjauhkan pemilih dari beberapa sayap di dalam partai: para aktivis Kristen, yang melihat kesan kemarahan dari Trump bertentangan dengan kepercayaan mereka; kaum tengah, yang memandangnya sebagai politikus paling memecah belah; dan para ahli keamanan nasional, yang cemas terhadap pujian Trump bagi otokrat seperti Presiden Rusia Vladimir Putin dan yakin bahwa dia tak semestinya memegang kendali atas senjata nuklir.
Di kalangan konservatif religius pun keresahan menyebar. Russell Moore, Kepala Urusan Politik Southern Baptist Convention, mengaku kebanjiran pertanyaan dari jemaatnya. Menurut dia, mereka meminta petunjuk tentang apa yang harus dilakukan menghadapi persaingan antara Trump dan Hillary Clinton, satu dari dua kandidat Partai Demokrat yang masih bersaing. Dia mengatakan sangat mustahil baginya merekomendasikan kandidat "yang mengobarkan kebencian rasial" atau yang mendukung hak melakukan aborsi.
Untuk menghentikan laju kemenangan Trump, gerakan anti-Trump berupaya keras menggalang kekuatan, juga opini. Aktivitas mereka meningkat setelah pemilihan awal Super Tuesday pada 1 Maret lalu. Pada pemilihan serentak di 11 negara bagian itu, Trump mendominasi perolehan suara. Sejak itu jutaan dolar uang dihimpun dan dikeluarkan untuk melancarkan kampanye yang menggambarkan Trump sebagai seorang liberal, penjual yang licik, dan pengelak kewajiban militer.
Dalam iklan-iklan yang dipasang American Future Fund, misalnya, para veteran menyebut Trump cuma berpura-pura dalam isu militer. "Donald Trump belum pernah membela negara ini dalam hidupnya," kata Michael Waltz, pensiunan kolonel pasukan khusus. "Jangan biarkan Trump menipu Anda."
Menurut laporan The New York Times, jumlah uang yang digunakan untuk, antara lain, membiayai produksi dan penayangan iklan semacam itu mencapai US$ 10 juta. Sumber lain yang dikutip Politico menyebutkan angka US$ 25 juta, meski ada juga yang menyangsikannya. Jumlah mana pun yang benar, kaum anti-Trump di Republik hanya punya waktu untuk menghabiskannya sampai sebelum Selasa pekan lalu—saat diselenggarakannya Super Tuesday untuk ketiga kalinya.
Pada Super Tuesday itu pertaruhan memuncak: pemenang bakal menangguk semua "trofi", yakni delegasi yang diperebutkan, dan apakah Trump bakal semakin mustahil dihadang atau sebaliknya. Kaum Republiken yang menginginkan adanya kandidat lain melihat, berdasarkan hasil pemilihan pada 5 Maret lalu, Trump sebenarnya punya kelemahan.
"Sabtu itu membuktikan bahwa Trump bisa dibendung dan bahkan dikalahkan," kata Scott Jennings, ahli strategi kawakan dari Republik. "Pertanyaannya, apakah medannya akan membiarkan hal ini terjadi. Skenario yang paling mungkin tetap saja Trump bakal memperoleh (suara) yang cukup sebelum konvensi di Cleveland, atau tak seorang pun yang bisa begitu. Yang terakhir ini makin mendekati kenyataan pada Sabtu itu."
Pada pemilihan yang disebut Super Saturday itu, Ted Cruz, satu dari empat kandidat Republik yang masih bertahan, mengungguli Trump di dua negara bagian, Kansas dan Maine. Cruz juga menempel ketat di Negara Bagian Louisiana, terutama berkat dukungan pemilih yang memberikan suara pada saat-saat terakhir.
"Trump mesti khawatir terhadap penolakan atas pencalonannya dari pemilih yang memberikan suara di saat-saat terakhir," kata Newt Gingrich, mantan Ketua House of Representatives dan kandidat presiden dari Republik.
Pemilih kategori itu yang rupanya tak memainkan peran signifikan pada Super Tuesday pekan lalu. Atau, kalaupun ada, yang diuntungkan justru kandidat yang bukan merupakan alternatif dari Trump. Di Florida, negara bagian yang semestinya memberi keuntungan kepada Marco Rubio, senator setempat, kemenangan telak menghampiri Trump. Kemenangan ini memaksa Rubio menghentikan upayanya untuk menjadi calon Republik.
Menurut Fred Malek, Bendahara Asosiasi Gubernur Republiken, upaya penghadangan itu sedikit terlambat. Lebih dari itu, dengan semakin terbukanya peluang Cruz tampil sebagai alternatif, telah timbul kesulitan bagi gerakan anti-Trump untuk menghimpun dana. Banyak petinggi Republik, khususnya mereka yang berada di Washington, melihat Cruz sama saja dengan Trump.
Gerakan itu sendiri, yang sebenarnya bersifat longgar dan sementara, menghadapi kemungkinan yang justru bisa jauh dari harapan. "Kaum mapan dan kelompok kanan—yang biasanya bertikai—sengaja meletakkan pedang masing-masing untuk mencegah Donald Trump membajak gerakan konservatif dan Partai Republik dalam sekali pukul," kata seorang ahli strategi di Republik. Jika Trump tetap berjaya, sebagian kalangan Republik sangat boleh jadi terpaksa ikut berbaris di belakang Cruz, betapapun tak terbayangkan sebelumnya. Sebagian yang lain bahkan kini sudah mulai menimbang-nimbang jalur di luar partai.
Max Boot, penasihat kebijakan luar negeri senator Rubio, mengatakan, jika upaya memblokir Trump gagal, dia akan memberikan suaranya bagi calon non-Republik untuk pertama kalinya. "Saya akan lebih cepat memilih Joseph Stalin ketimbang saya harus memilih Donald Trump. Sangat tidak mungkin bagi saya memilih dia. Saya akan lebih siap mendukung Hillary Clinton," katanya.
Dua orang Republiken, Senator Ben Sasse dari Nebraska dan Gubernur Charlie Baker dari Massachusetts, termasuk mereka yang memastikan tak akan memilih Trump. Sasse merupakan salah satu pilihan William Kristol, Pemimpin Redaksi Weekly Standard, yang bertekad mengajukan calon independen jika Trump akhirnya dinominasikan.
Menurut Kristol dalam e-mail-nya yang dikutip The New York Times, langkah itu hanya akan menjadi "penyesuaian darurat" sesaat terhadap keadaan yang tak menguntungkan—yakni nominasi Trump, jika memang tak terelakkan.
Purwanto Setiadi (CNN, Foreign Policy, The New York Times, Politico
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo