Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Beking Sekondan di Bisnis Online

Hampir sewindu beroperasi, perusahaan aplikasi transportasi kian subur. Didukung investor dan pemodal besar.

21 Maret 2016 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

IMING-iming memperoleh pendapatan besar membuat Tejo, yang sudah menganggur satu tahun, memutuskan bergabung dengan Uber. Berbekal Karimun Wagon 2015 milik kakaknya, lelaki 35 tahun ini mendaftar ke perusahaan pelayanan transportasi berbasis aplikasi online itu. Selasa dua pekan lalu merupakan debutnya menyusuri jalanan Jakarta.

Meski tak hafal setiap tikungan Ibu Kota, warga Bintaro ini nekat saja. Ia sering mendengar cerita penghasilan sopir Uber yang bisa mencapai belasan juta rupiah. "Makanya saya jalani saja dulu. Yang penting sehari minimal bisa bawa pulang Rp 500 ribu bersih," ujar Tejo kepada Tempo, yang menjadi penumpang Uber, Rabu dua pekan lalu.

Belum lama Tejo menikmati penghasilan, harapannya terancam sirna. Senin pekan lalu, Menteri Perhubungan Ignasius Jonan mengirim surat kepada Kementerian Komunikasi dan Informatika. Isinya meminta Menteri Komunikasi Rudiantara memblokir pelayanan Uber dan GrabCar.

Dari cara kerjanya, mobil Uber dan GrabCar tak ada bedanya dengan angkutan umum nontrayek seperti taksi. Mobil ini menjemput dan mengantar penumpang dari pintu ke pintu, dengan tarif berdasarkan argometer. Tapi, menurut Ketua Organisasi Angkutan Darat (Organda) DKI Jakarta Shafruhan Sinungan, pemerintah sejak awal tak menindak mereka. "Ini diskriminatif," ucapnya.

Tarif yang ditetapkan perusahaan asal Amerika Serikat itu juga menuai keluhan. Selama Uber beroperasi di Tanah Air, konsumennya hanya dikenai tarif perjalanan Rp 2.001 per kilometer. "Konsumen pasti senang, tapi buat driver ya bonyok juga," kata pengurus Koperasi Trans Usaha Bersama, Hariyanto Mangundiharjo, Kamis pekan lalu.

Menurut Hariyanto, seratus persen biaya perjalanan masuk ke kantong koperasi dan pengemudi. "Sampai sekarang, Uber belum mengambil pendapatan," ujarnya. Tapi tarif serendah itu agak memberatkan pengemudi yang punya kewajiban membayar iuran ini-itu, termasuk ongkos bensin dan perawatan kendaraan. Apalagi, sejak awal tahun ini, manajemen Uber tak lagi menyuntikkan insentif bagi 6.000 pengemudi yang bernaung di koperasi tersebut. Biasanya, kata Hariyanto, jika pengemudi mendapat rating bagus, bonus yang dibawa pulang bisa di atas Rp 20 ribu per perjalanan.

Dewan Pengurus Pusat Organda mengeluhkan hal yang sama. Dalam wawancara dengan Gustidha Budiartie dari Tempo, akhir Desember tahun lalu, Ketua DPP Organda Adrianto Djokosoetono mengatakan besaran tarif yang diberlakukan Uber bisa disebut sebagai predatory pricing. Sebab, biaya yang dikenakan jauh di bawah harga pasar.

Dengan tarif yang supermurah, Uber bisa membunuh keberadaan taksi-taksi resmi yang lebih dulu beroperasi. Saat ini, tarif taksi konvensional dibanderol Rp 4.000 per kilometer dengan tagihan buka pintu saat pertama naik Rp 7.000 sekali perjalanan.

Tarif Uber memang membuat moda transportasi lain jadi tidak kompetitif. GrabCar, pelayanan transportasi berbasis aplikasi yang berkantor pusat di Singapura, mengenakan tarif dasar kepada penumpang Rp 2.500 sekali perjalanan. Konsumen selanjutnya dikenai biaya Rp 3.500 per kilometer. Harga ini tetap lebih rendah dibandingkan dengan ongkos menumpang taksi reguler.

Murahnya tarif perjalanan yang dibanderol Uber dan Grab bukan tanpa sebab. Menurut anggota Komite Pertimbangan Kebijakan Publik di Sektor Transportasi, Agus Pambagio, rendahnya tarif Uber itu karena sejak semula perusahaan ini tak menghitung penghasilan dari sedikit-banyaknya penumpang. "Perusahaan ini mendapat revenue dari apps," ujar Agus saat ditemui di kawasan Jakarta Pusat, Rabu pekan lalu.

Agus menyebutkan, semakin banyak pengunduh aplikasi ini, nilai valuasi Uber akan semakin tinggi. Rating itulah yang kemudian digunakan Uber untuk mencari suntikan dana dari pemodal baru. Skema pendanaannya melalui perusahaan modal ventura. "Perusahaan ventura ini yang memodali. Keuntungan investor datang dari jumlah subscriber yang makin lama makin meningkat," katanya.

Siapa saja pemodal di belakang Uber, menurut Hariyanto, belum ada satu pun investor Tanah Air yang menyuntikkan dana ke perusahaan yang didirikan di Amerika Serikat itu. "Uber itu seratus persen dari luar. Yang saya dengar terakhir Google," ujar Hariyanto.

Menurut situs Crunchbase, ada 53 investor yang menjadi pemodal Uber. Dalam daftar tersebut, Google ikut menyuntikkan modal. Lewat anak usahanya, Google Ventures, perusahaan teknologi ini menyuntikkan dana dua kali. Pertama pada Agustus 2013 sebesar US$ 258 juta (sekitar Rp 3,37 triliun) dan kedua pada Juni 2014 sebesar US$ 1,4 miliar (lebih-kurang Rp 18,3 triliun). Perusahaan besar lain, seperti Microsoft dan Baidu, juga menjadi pemodal. Masing-masing mencurahkan dana US$ 1 miliar pada Juli 2015 dan US$ 1,2 miliar pada September 2015.

Saat ini, Uber memang tercatat sebagai perusahaan startup dengan pendanaan terbesar di dunia. Nilai valuasinya mencapai US$ 50 miliar atau setara dengan Rp 700 triliun. Dalam lima tahun operasi, perusahaan ini mampu mengumpulkan dana US$ 2,7 miliar atau senilai Rp 37 triliun. Tahun ini, Uber juga dikabarkan sedang menjajaki program pendanaan baru. Dilansir dari situs CNBC pertengahan Januari lalu, seorang sumber menyebutkan Uber mencari modal dari Morgan Stanley.

Perwakilan Uber di Indonesia belum mau menjawab soal model bisnis yang dijalankan sampai saat ini. Uber juga belum mau berkomentar tentang permintaan pemerintah agar mematuhi kebijakan hukum di Indonesia. Ihwal tudingan menjalankan predatory pricing, bekas juru bicara Uber Indonesia, Karun Arya, pernah mengatakan Uber menawarkan efisiensi yang selama ini tidak diberikan taksi konvensional. "Efisiensi ini membuat pengemudi mampu menyelesaikan perjalanan per jam lebih banyak sehingga memperoleh uang lebih besar," ujar Karun, yang kini menangani Uber wilayah Asia Selatan. Efisiensi, kata Karun, juga memberikan tarif paling terjangkau bagi komuter.

Berbeda dengan Uber, yang masih dikuasai investor asing, Grab mendapat suntikan investasi dari pengusaha Tanah Air. Lippo Group turut menyuntikkan dana ke Grab. Tanpa menyebut angka nominal investasi, dalam wawancara dengan Tempo pada Agustus tahun lalu, Direktur Lippo Group John Riady menyatakan sudah ada 20 bisnis startup yang mendapat suntikan dana dari Lippo, termasuk Grab.

General Managing Grab Indonesia Ridzki Kramadibrata tak merinci siapa saja investor penyedia jasa aplikasi asal Malaysia tersebut. Tapi, menurut Ridzki, sejumlah investor global menyuntikkan dana ke Grab sepanjang 2014-2015. Di antaranya GGV Capital dan Qunar sebesar US$ 15 juta, Tiger Global dan Hillhouse Capital US$ 65 juta, Softbank US$ 250 juta, serta China Investment Corporation, Didi Kuaidi, dan Coatue US$ 350 juta.

Ayu Prima Sandi, Devy Ernis

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus