Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Mengenang Arie Smit

APRIL ini, tepatnya 15 April lalu, seharusnya ia berumur 100 tahun. Namun, tiga pekan sebelum ulang tahun satu abadnya, dia meninggal. Dialah Arie Smit, pelukis Belanda yang memilih menjadi warga Indonesia dan tinggal di Bali. Ia wafat tepat pada hari suci umat Hindu Bali: Purnama Sasih Kedasa.

Sumbangan Arie terhadap dunia seni lukis Bali luar biasa. Ia mengajak anak-anak kecil di Desa Penestanan, Ubud, menggambar kuil, pura, dan upacara dengan gaya "pop" warna-warna cerah. Dan lahirlah "mazhab" aliran Young Artists. Berkat Young Artists, Penestanan, yang pada 1960-an dianggap sebagai salah satu pusat ilmu hitam di Ubud dan tak lebih dari desa miskin, menjadi desa yang makmur dan dipenuhi art shop, galeri, restoran, serta guest house.

Dua minggu menjelang Arie Smit wafat, Tempo sempat mengunjunginya. Ikuti reportase Tempo menjelang kematiannya serta liputan bagaimana kondisi dan kabar murid-muridnya dulu yang tergabung dengan Young Artists. Juga soal pemalsuan lukisan Arie Smit.

25 April 2016 | 00.00 WIB

Mengenang Arie Smit
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

PURNAMA Sasih Kedasa. Rabu malam, 23 Maret lalu, itu adalah salah satu hari terbaik dalam kalender Bali. Pada malam tersebut bulan purnama begitu sempurna menebar cahaya. Dan, pada Purnama Sasih Kedasa, maestro pelukis Arie Smit "memilih" hari kematiannya.

Di Villa Sanggingan, Ubud, milik Pande Suteja Neka, Arie memulai hari itu tanpa tanda-tanda yang istimewa. "Bangun pagi sarapan sereal setelah dibersihkan badannya," kata Ketut Wita, yang melayani Arie sejak 1990-an. Pagi itu Arie sempat bertegur sapa dengan Suteja Neka. Ia makan siang seperti biasa dan menghabiskan waktunya untuk berbaring di tempat tidur. Kondisinya baru terlihat menurun pada pukul 19.00 Wita.

Pria yang sedianya berusia 100 tahun pada 15 April lalu itu mengalami sesak napas dan pelan-pelan kehilangan kesadaran. Neka pun bergegas membawa Arie ke Rumah Sakit Puri Rahardja di Denpasar. Sempat menjalani perawatan dengan bantuan alat pernapasan, akhirnya ajal menjemput Arie. Sekitar pukul 22.00 Wita, ia disemayamkan di rumah duka Rumah Sakit Angkatan Darat Denpasar.

Pada Kamis, 24 Maret 2016, diadakan misa rekuiem atau pelepasan jenazah dipimpin Pendeta I G.B. Kusuma Wantha dari Gereja Gianyar. Seusai acara itu, Kusuma menuturkan bahwa Arie pernah minta didoakan agar dapat segera dipanggil menghadap Tuhan. "Doa itu kini telah terkabul," ucapnya dalam acara yang dihadiri umat Katolik dari Paroki Santa Maria Ratu Rosari, Gianyar, dan keluarga besar Suteja Neka itu. Begitu misa berakhir, suara petir menggelegar sangat dekat, kemudian hujan rintik-rintik.

Sore harinya, jenazah pelukis berjulukan Pemburu Cahaya Bali itu dikremasi di Mumbul, Jimbaran. Rangkaian acara dilaksanakan secara cepat sesuai dengan watak Arie yang sederhana dan tidak suka menarik perhatian. Meskipun begitu, sebenarnya banyak pihak meminta agar Arie disemayamkan lebih lama untuk memberikan kesempatan khususnya kepada teman-teman dan muridnya yang hari itu sedang menjalani upacara adat Bali. Saat kremasi dilakukan, hanya satu orang murid Arie yang bisa hadir, yakni Ngurah K.K.

Hanya dalam waktu satu setengah jam, jenazah Arie sudah menjadi abu, yang kemudian ditempatkan di sebuah guci putih. Keluarga Suteja Neka lalu membawa guci itu ke Pantai Matahari Terbit, Sanur, untuk ditebarkan di laut, sekitar 300 meter dari garis pantai.

* * * *

SEKITAR 10 hari sebelum kematian Arie Smit, Tempo mengunjunginya di Villa Sanggingan. Hari itu, Sabtu pagi, 12 Maret 2016, Arie tengah menikmati sarapan di atas kursi roda. Sereal yang ditempatkan di gelas plastik disendoknya pelan-pelan tanpa melihat situasi di sekelilingnya. Penglihatan Arie memang sudah tak berfungsi. Adapun telinganya, khususnya telinga kiri, sudah melemah untuk mendengarkan suara di sekelilingnya.

Di kamarnya yang sederhana, tepatnya kamar nomor 104, tidak ada benda-benda yang menandakan dirinya seorang maestro pelukis. Bahkan tak ada satu pun lukisan yang menghiasi kamar itu. Hanya ada barang-barang pribadi yang diperlukan sehari-hari, seperti cangkir, tempat air panas, dan handuk, serta salib. Sebuah kursi roda diletakkan di depan kamar untuk berjaga-jaga bila Arie ingin menghirup udara segar di luar.

Saat Tempo memperkenalkan diri, Arie sempat terdiam lama seperti mengingat-ingat. "Wartawan, ya?" ujarnya. Setelah itu, dia pelan-pelan berucap, "Sekarang susah sekali menjual lukisan. Turis lebih suka jalan-jalan dan makan. Tidak mau membeli lukisan." Saat ditanya apakah ia tidak ingin pulang ke Belanda, Arie menjawab lebih senang tinggal di Bali. Arie dengan kalimat pelan tiba-tiba bercerita bagaimana ia sering hidup berpindah-pindah di Bali karena suka melihat panorama Bali yang indah. "Sekarang saya tinggal di sini, diurus Pak Neka," tuturnya.

Arie lalu mengenang pernah tinggal di Singaraja, Bali Utara. Di situ dia menyewa sebuah rumah di atas bukit yang berdekatan dengan pura dan kuburan. Dari bukit itu, dia sering kali melihat arak-arakan orang melintas untuk pergi ke pura, lalu dua jam setelahnya mereka melintas kembali untuk balik ke kampungnya.

Tatkala Tempo bertanya apakah di usia menjelang 100 tahun ia masih memiliki keinginan melukis, antara sadar dan tidak, Arie malah bercerita, sebenarnya ia baru saja melukis di atas kertas. "Nanti saya mau minta kertas lagi. Saya minta warna-warna. Banyak ide di sini," katanya sambil menunjuk kedua tangannya. Tapi, setelah itu, Arie seperti enggan menjawab pertanyaan. "Sudah, ya," ujarnya mengakhiri percakapan. Lalu para penjaganya bersiap-siap mengembalikan Arie ke peraduannya.

Di usia menjelang 100 tahun, fisik Arie memang kian renta. Fungsi matanya mulai mengalami penurunan sejak menjalani operasi pada 1 April 2007 di Jakarta Eye Centre. Sampai lima tahun setelahnya, dia divonis mengalami glaukoma, yang membuatnya tak bisa melihat sama sekali. Untuk perawatan agar tak kesakitan, dia harus ditetesi obat mata dua kali dalam sehari. Sampai 2012, Arie masih bisa menyelesaikan lukisan dengan kondisi mata yang sudah kabur. Tapi, setelah itu, dia tidak melukis lagi.

Arie juga mengalami masalah dengan prostat dan sempat dioperasi di Rumah Sakit Prima Medika. Ia pun pernah mengalami masalah pencernaan hingga harus dirawat di rumah sakit. Menurut Suteja Neka, pernah suatu kali pada 13 Agustus 2012, seperti orang yang sudah mendekati ajal, kondisi Arie drop dan ia merasa didatangi banyak orang. Padahal yang ada di sekitarnya hanya para perawatnya dan Neka sendiri. Pada Agustus 2015, kondisi Arie kembali menurun. Dia sempat meminta supaya cepat meninggal karena sudah tidak tahan dengan kondisinya.

Untuk perawatan sehari-hari, Arie dijaga empat karyawan, yang dikomandani Ketut Wita. Di kompleks vila itu, Suteja Neka sebetulnya mempersiapkan sebuah rumah khusus yang sekaligus menjadi studio Arie. Tapi, sejak kondisi fisiknya menurun, Arie ditempatkan di sebuah kamar yang lebih dekat dengan para penjaganya. "Kalau ada keperluan, Pak Arie tinggal memencet tombol," kata Ketut Wita.

Hubungan Arie dengan para penjaganya sudah seperti bapak dan anak, karena Arie sendiri yang memilih mereka ketika ia memutuskan tinggal di tempat itu sejak 1994. Mereka menjaga secara bergantian. Bila kondisi Arie kurang nyaman, penjaga akan menelepon dokter pribadi Arie atau Neka. Neka sudah memasukkan nama Arie ke kartu keluarganya. Dia setiap pagi selalu datang untuk menemani mengobrol setelah Arie dimandikan dan sarapan.

Lahir di Zaandam, Belanda, 15 April 1916, maestro yang bernama lengkap Adrianus Wilhelmus Smit itu datang ke Indonesia pada 1938 untuk mengikuti program wajib militer.

Sebagai bekas mahasiswa desain grafis di Academy of Arts di Rotterdam, Arie ditugasi bekerja sebagai litografer untuk tentara Belanda di Jawatan Topografi di Batavia. Dia ditangkap oleh pasukan Jepang pada 1942 dan harus menjalani kerja paksa di Singapura, Thailand, dan Burma. Ketika dibebaskan pada 1945, Arie memilih masuk kembali ke Indonesia. Dan, pada 1951, ia mengubah kewarganegaraannya. Lalu dia mendapat kesempatan untuk mengajar grafis dan litografi di Institut Teknologi Bandung. Pada 1956, Arie bertemu dengan Jimmy Pandy, art dealer dari Bali, yang menawarinya tinggal di Sanur. Tawaran ini disambut Arie.

Arie kemudian ikut membentuk dunia seni lukis di Bali. Peran dia yang paling menonjol tentu saja dalam mendirikan Young Artists, perkumpulan seni lukis Desa Penestanan, Ubud. Ia mendidik anak-anak desa itu. Anak-anak yang tadinya penggembala bebek itu akhirnya banyak menjadi pelukis yang memiliki gaya sendiri.

Gaya lukisan Arie adalah impresif pointilistik. Ia memburu cahaya sebagai esensi dari bentuk-bentuk yang terlihat oleh mata. Obyek seperti kuil atau pura Bali sering ditampilkan sebagai titik-titik dan dilengkapi curahan emosi dalam sapuan kuas pendek sebagaimana dia melihat cahaya matahari Bali yang mempesona ketika jatuh ke bumi. Di tangan Arie, kanvas seolah-olah permainan warna. Panorama sungai, langit, dan arak-arakan bisa bertaburan pendaran warna merah, hijau, dan biru.

Pertemuan Arie dengan Suteja Neka terjadi pada 1970. Neka suatu kali melihat karya-karya Puri Suling, sebuah restoran di Bedulu, Gianyar, dan kemudian membeli dua lukisan, yakni Blue Landscape (1971) dan Shrines Beneath the Banyan (1972), dengan harga total Rp 300 ribu. Saat itu Arie tinggal di Nyuh Tebel, Karangasem, dan sedang kesulitan keuangan. Dia sangat senang karena dua lukisannya bisa terjual. Ia mendapat Rp 270 ribu, yang cukup besar pada saat itu. Namun Arie kaget karena pembelinya adalah orang lokal dan bukan seorang turis. Dia kemudian mempersilakan Neka menjual lukisannya di galeri Neka.

* * * *

SETELAH meninggalnya seorang perupa besar, kerap karyanya akan menjadi lebih mahal dan menjadi komoditas menggiurkan. Seperti karya Affandi, S. Sudjojono, Hendra Gunawan, dan Lee Man Fong. Harga lukisan mereka di balai lelang dalam beberapa tahun terakhir mencapai puluhan miliar rupiah.

Kurator dan pengelola Balai Lelang Sidharta, Amir Sidharta, mengatakan, setelah hampir sebulan kepergian Arie Smit, belum terlihat tanda-tanda pergerakan perburuan karyanya. "Belum ada yang menanyakan. Para kolektor dan dealer sepertinya sungkan membuat karya almarhum sebagai komoditas. Mereka masih menghargai dan menghormati beliau," ujar lulusan George Washington University ini.

Penghargaan kepada sang seniman inilah, kata Amir, yang membuat para kolektor dan dealer tidak buru-buru mencari karya Arie Smit dalam waktu dekat. Karya Arie diketahui banyak menjadi koleksi para kolektor papan atas Indonesia, seperti Jusuf Wanandi dan Budi Setiadharma. Jusuf Wanandi mengatakan ia mengenal Arie sejak awal 1970-an. Saat itu dia dikenalkan oleh seorang kawan dari Palang Merah untuk urusan di Timor Timur. Arie waktu itu belum terkenal di kalangan pencinta seni Indonesia, tapi lukisannya banyak dibeli orang asing. Jusuf melihat warna lukisan Arie sangat menarik. "Cerah, warna optimistis. Warnanya bagus. Lukisan pemandangan, candi, pura juga bagus," ujarnya. Jusuf menyatakan Arie, yang tinggal berpindah-pindah di banyak tempat di Bali, membuat lukisannya makin kaya. Dia mengenal Bali dari segala sudut dengan warna yang berbeda. "Warnanya sulit dilawan," tuturnya.

Hingga kini, Jusuf mengoleksi lebih dari 50 lukisan besar dan kecil karya Arie Smit. Pada pertengahan 1980-an, tak kurang dari 30 lukisan Arie miliknya dipamerkan untuk umum dan saat itu nama Arie mulai dilirik kolektor. Pendiri Centre for Strategic and International Studies (CSIS) ini ingat, suatu kali pada 1980-an, ia terkesan menyaksikan Arie Smit di Singaraja mengerjakan sebuah lukisan berukuran 2,5 x 1,75 meter. Lukisan itu kemudian diberi judul Pemandangan Kebon Kelapa. "Tulang belakang Arie Smit sampai sakit karena dia melukis pohon kelapa itu dalam satu tarikan," ujar Jusuf sambil memperagakan cara Arie melukis.

Adapun Budi Setiadharma mengoleksi lukisan Arie Smit sejak 35 tahun lalu. Dia enggan menyebutkan berapa banyak lukisan Arie yang dikoleksinya. "Ada beberapa puluh, beberapa yang besar," ucap Ketua Perkumpulan Pecinta Seni Indonesia ini. Saat pertama kali membeli, Budi mengaku melihat karya Arie punya keunikan tersendiri. Warnanya terlihat sederhana tapi sebenarnya sangat rumit. Arie melukis dengan teknik yang menumpuk banyak warna dan menghasilkan warna yang luar biasa. "Secara kasatmata, dengan tekniknya, warna ditumpuk-tumpuk tapi dapat satu warna yang mempunyai efek warna tersendiri," ujar Budi.

Lain lagi dengan Deny Hermanto, 57 tahun, kolektor karya Arie Smit di Bali. Deny mulai membeli karya Arie pada awal 2000-an, karena anak-anaknya menyukai gaya lukisan dan warna-warna khas dari lukisan itu. "Padahal waktu itu anak saya masih usia 4 tahun, tapi dia bilang pingin karya Arie Smit," ucap Deny. Lama-kelamaan, dia ikut menyukai karya Arie, yang dirasa sebagai ungkapan kepolosan jiwa anak-anak yang menangkap suatu benda melalui kesan yang ditimbulkan. Keinginan mengoleksi makin kuat karena ia melihat karya Arie ternyata memiliki pasar yang luas di Eropa dan Amerika Serikat.

Hingga 2005-2006, Deny benar-benar mengumpulkan karya Arie, baik dengan membeli di tempat Pande Suteja Neka atau melalui galeri lain maupun dengan menerima tawaran orang yang datang ke rumahnya. Pada tahun-tahun itu pula dia kerap bertemu dengan Arie Smit. Namun kedekatannya dengan Arie, menurut Deny, tidak dimanfaatkannya untuk membeli langsung lukisan dari Arie meskipun harganya bisa lebih murah. "Saat menerima hadiah dari Pak Arie pun saya selalu menyampaikannya kepada Pak Neka," katanya.

Amir Sidharta menyadari, setelah kematian Arie Smit, ada kemungkinan upaya pemalsuan karya-karya Arie. Tapi, menurut dia, Arie seorang pelukis yang konsisten memberi tanda pada lukisannya yang bisa dijadikan tanda "verifikasi" karya itu lukisan asli. Tanda ini biasanya hanya diketahui oleh orang tertentu. Akan halnya Deny, ia menyebutkan pemalsuan karya Arie Smit bukan hal baru. Dia bahkan sering menemui langsung orang yang berusaha menjual lukisan palsu Arie Smit kepadanya. Pernah suatu kali Deny ditawari lukisan palsu Arie Smit, yang kemudian ditolaknya. Tapi yang lucu, beberapa bulan kemudian, ada orang lain yang menawarkan karya yang sama kepadanya. "Karya-karya itu terus beredar mencari pembeli lengah," ujarnya.

Deny mengakui pernah menjadi korban penipuan. Sedikitnya ada 20 lukisan palsu Arie Smit yang kini disimpan di gudangnya. "Mungkin saat itu saya kurang hati-hati, lagi senang terus gampang mengeluarkan uang," katanya. Khusus untuk karya Arie Smit, Deny percaya langkah yang dilakukan Suteja Neka mengeluarkan sertifikat keaslian karya adalah hal yang tepat. "Itu bisa menjadi acuan bagi calon pembeli karya," ujarnya. Lukisan yang gagal disertifikasi oleh Neka akan dicoret. "Saya yakin para pemalsu memilih tiarap," ucap pria yang berprofesi sebagai kontraktor itu.

Deny menyebutkan pergerakan karya Arie Smit setelah kematiannya belum terlalu terlihat. "Mungkin baru 5-10 tahun akan kelihatan lagi karya asli ataupun palsunya," ujar Deny, yang mengikuti upacara kremasi jenazah Arie di Krematorium Mumbul. "Saat itu biasanya akan terjadi kevakuman karyanya di pasar sehingga kolektor baru mulai penasaran dan berburu karya Arie yang mulai terhitung langka."

Rofiqi Hasan (Bali), Dian Yuliastuti (Jakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus