Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mereka kini sudah sepuh-sepuh, tapi masih ingat bagaimana Arie Smit pertama kali mengajak belajar melukis. "Saya kaget karena tiba-tiba ada orang asing yang menyapa," ujar I Nyoman Cakra, 71 tahun. Ia murid pertama Arie yang berasal dari Penestanan Kaja.
Setelah mengajak Cakra, Arie kemudian mengajak I Ketut Soki. "Cakra yang mengajak saya bertemu dengan Pak Arie," kata Soki, 68 tahun. Soki berasal dari Banjar Penestanan Klod (Selatan). Saat itu Arie mulai berpikir harus membuat keseimbangan di antara kedua wilayah di desa tersebut. Belakangan, jumlah murid Arie makin berkembang hingga mencapai 40 orang. Mereka datang sendiri ke tempat Arie, yang kemudian mendapat tempat di belakang Puri Ubud untuk mengembangkan pelajaran melukisnya.
Selain mendidik, Arie Smit membantu melakukan promosi. Pada 1970-an, dia membawa karya Young Artists ke Modern Art San Francisco, Amerika Serikat, kemudian dilanjutkan dipamerkan di Smithsonian Institution, Washington, selama enam bulan. Periode 1970-1980 adalah masa jaya Young Artists. Karya mereka selalu ludes terjual. Sayang, selepas 1980-an, kondisinya semakin buruk karena kualitas karya yang dianggap menurun dan semata-mata hanya menjadi karya dekoratif.
I Nyoman Cakra
Di usia yang telah mencapai 71 tahun, penyakit kerap menderanya. Ketika Tempo bertandang ke rumahnya, Maret lalu, ia sedang terbaring di ranjang. Sebuah lukisan yang belum sempurna tampak masih dipajang di Bale Klod, yang biasanya difungsikan juga untuk menerima tamu. Ia masih setia pada gaya lukisan Young Artists, yang ditekuni sejak dulu.
I Nyoman Cakra adalah murid pertama Arie Smit pada awal 1960-an. Ia ditemukan secara tak sengaja saat sang maestro berjalan-jalan di Banjar Penestanan, Sayan, Ubud. Sore itu, saat menggembalakan itik, Cakra iseng mencoret-coret tanah dengan sebatang bambu. Yang dilukisnya adalah itik, sapi, dan suasana persawahan. Ia tak sadar tengah diperhatikan Arie, yang merasa kagum pada lukisannya. Arie kemudian menanyakan apakah Cakra bersedia belajar melukis di pondoknya, tapi harus seizin orang tuanya.
Hari berikutnya, Cakra yang tamatan Sekolah Rakyat ini diantar orang tuanya ke pondokan Arie. Pelajaran mulai pagi sampai sore hari diselingi istirahat siang. "Pelajaran pertama, saya diberi kebebasan membuat lukisan apa saja sesuai dengan imajinasi," kata Cakra. Setelah satu minggu belajar, ia diberi bekal uang. Hal ini membuatnya sangat senang. Minggu kedua, Cakra disuruh membuat sketsa di kertas ukuran 30 x 40 sentimeter dan kemudian diwarnai dengan cat air. Sketsa dibuat hati-hati selama satu hari. Sebelum diwarnai, kontur harus dipertebal. Arie meminta Cakra mewarnai dengan apa yang dilihat. Misalnya langit biru, pohon hijau, dan tanah cokelat. Lalu Cakra disuruh menutup semua bidang dengan warna datar. Prosesnya bisa selama tiga hari.
Arie lalu mulai menjualkan karyanya. Lukisan Cakra pertama kali dibeli oleh Jim Pandy dari Sanur seharga Rp 50 dan semuanya diberikan Arie kepada Cakra. Setelah itu, pelajaran berkembang dengan cat minyak. Dia diajari cara membuat kanvas, mengaduk cat, dan mewarnai. Selama menjadi murid, Cakra kerap diajak ke Museum Ratna Warta dan mendapat penjelasan mengenai aneka gaya lukisan sehingga menambah wawasannya. Setelah hampir satu tahun belajar, Cakra diminta bekerja sendiri di rumahnya. Dia juga diberi kebebasan menjual langsung kepada Jim Pandy sehingga bisa lebih mandiri.
Pada 1982, Cakra dipercaya memimpin 15 pelukis asal Desa Penestanan untuk menghiasi hotel Melia Bali Sol. Melalui penjualan lukisannya, dia bisa membangun rumah, membeli sawah, dan membiayai sekolah anak-anaknya. Karya-karyanya laris manis bahkan setelah melewati periode keemasan genre Young Artists, 1970-1980. Akibatnya, dia sendiri tak mempunyai koleksi karya yang cukup banyak.
I Ketut Soki
Pada usia 68 tahun, I Ketut Soki masih gampang ditemui sedang berada di depan sketsa lukisannya. Ia memang masih produktif menghasilkan karya. "Bisanya cuma seperti ini. Sudah tidak bisa mengerjakan yang lain lagi," ujarnya saat ditemui di rumahnya yang sekaligus menjadi studio dan galeri lukisan.
Gaya dan obyek lukisannya hampir tak berubah, yakni kehidupan sehari-hari orang Bali di pura, pasar, sawah, dan tempat lain. Hanya, Soki sekarang suka membuat lukisan yang makin detail dan rumit. Lukisan seperti itu, kata dia, sudah memiliki penggemar tersendiri sehingga selalu ada yang membeli.
Soki adalah murid kedua Arie Smit setelah I Nyoman Cakra. "Jaraknya sekitar tiga bulan," ucapnya. Sama seperti Cakra, ia ditemui Arie saat menggembala itik dan iseng membuat lukisan di tanah. Keberadaan Arie mengejutkannya hingga ia tak bisa menjawab ketika ditanya apakah mau belajar melukis. "Saya tak mengerti apa maksudnya dan hanya terbengong-bengong sampai Tuan Arie pergi," ujarnya.
Setelah itu Cakra, yang masih terhitung saudara sepupu Soki, mengajak Soki ke tempat Arie untuk belajar melukis, dan barulah dia mengerti. "Yang paling saya senangi adalah cara mencampur warna dan membuat sketsa," katanya. Menurut dia, Arie sangat teliti meski sepertinya sepintas saja memperhatikan lukisan. Bagi Soki, belajar melukis memberi kesempatan untuk mengubah kehidupan. Sebab, dia tak harus menjadi petani dan penggembala seperti orang tuanya. Hidupnya pun lebih makmur, terutama ketika masa jaya pada 1970-1980-an. "Saat itu turis membeli lukisan seperti membeli kacang, bisa 20 lukisan sekaligus," ujarnya. Sekarang situasinya lebih sulit. Kekuatan fisik Soki juga sudah menurun sehingga dalam satu bulan ia rata-rata hanya menghasilkan satu lukisan.
Wayan Tagen
Berbeda dengan murid yang lain, Wayan Tagen adalah murid Arie Smit yang sengaja datang ke tempat latihan melukis untuk meminta diajari melukis. "Sebenarnya takut, tapi saya memberanikan diri meminta belajar," ujarnya. Saat itu Tagen diantar orang tuanya setelah tahu ada beberapa anak dari Penestanan yang sudah belajar di tempat Arie Smit.
Arie saat itu langsung menyuruhnya bergabung tanpa ditanya atau dites untuk mengerjakan sesuatu. "Dia memang suka menolong orang. Mungkin dia tahu keluarga saya sangat miskin," ujar Tagen, yang sebelum belajar sempat menjadi kuli pengangkut kopi di Tabanan.
Meski masih berada dalam corak Young Artists, Tagen mengembangkan ciri khasnya sendiri, yakni menciptakan figur tanpa wajah di lukisannya sehingga sempat diprotes kawan-kawannya. Tapi, ketika ditanyakan kepada Arie, justru ia mendapat dukungan. "Itu lukisan kamu, tidak jadi masalah kalau kamu ingin seperti itu," kata Tagen, 73 tahun, menirukan komentar Arie. Saat ini Tagen menggunakan gaya lukisannya untuk membuat karya mengenai kehidupan di perkotaan dan bukan hanya kehidupan di perdesaan Bali.
Tagen mengaku, dalam hal menjual lukisan, dia kurang agresif menjualnya di art shop atau membuat pameran. "Saya menunggu orang datang ke rumah saja," ujarnya. Sebab, bila datang, orang itu akan bisa mengobrol panjang-lebar sehingga dia tahu sejauh mana ketertarikan orang itu dan kemampuan belinya. "Jadi sama-sama enak saat menentukan harga," ucapnya. Saat ini Tagen, yang sering mengalami masalah pernapasan, masih melukis. "Saya percaya ini jadi jalan hidup saya," katanya.
I Gusti Agung Ngurah Kresna Kepakisan
Di antara puluhan murid Arie Smit, I Gusti Agung Ngurah Kresna Kepakisan termasuk murid yang bukan berasal dari Desa Penestanan. Rumahnya berdekatan dengan pondok tempat Arie tinggal di Campuhan. Kesempatan untuk ikut belajar melukis datang secara tak sengaja.
Suatu pagi Ngurah, yang saat itu berumur 10 tahun, digandeng ibunya ikut ke pasar. "Saya sudah tak sekolah karena ayah telah meninggal dan saya anak kesembilan dari sepuluh bersaudara," ujar pria yang kini 68 tahun ini. Dalam perjalanan, mereka bertemu dengan Arie Smit, yang kemudian menanyakan kegiatan anak ini. Setelah dijawab oleh ibunya, Arie lalu meminta Ngurah ikut belajar melukis di tempatnya.
Kesempatan itu disambut gembira oleh Ngurah. Namun, setelah tiga bulan, dia sangat marah karena merasa tidak mendapat pelajaran apa-apa. "Kita seperti dibiarkan mencari sendiri cara melukis, hanya sesekali disapa sehingga tak mengerti lukisan kita bagus atau tidak," katanya. Saat itu Arie mengajar rata-rata dua kali dalam seminggu dan selebihnya murid dibebaskan belajar sendiri.
Namun Ngurah kemudian tetap melanjutkan belajar dengan tekad menemukan keasyikannya sendiri dalam melukis. "Sekarang saya tahu, Arie saat itu memang memberi kesempatan untuk mengembangkan imajinasi karena setiap pelukis harus punya kreativitas sendiri," ujar Ngurah. Dorongan itu membuatnya terus berinovasi dalam menciptakan lukisan sehingga dia menemukan cirinya sendiri.
Salah satu yang khas, misalnya, gayanya yang menggunakan latar belakang warna merah layaknya matahari pagi untuk lukisan dengan gaya Penestanan. Ngurah mengungkapkan warna itu ditemukannya suatu pagi pada 1970-an ketika dia bangun tidur di halaman rumah setelah malam sebelumnya dilarang masuk rumah oleh ibunya karena mabuk. "Malam itu saya diundang merayakan Natal oleh teman dari Eropa dan diajak minum," ucapnya.
Kreasinya itu malah mendapat pengakuan dunia, misalnya dari UNICEF, yang pada 1996 menggunakan karyanya berjudul Men Cutting Grass sebagai salah satu Christmas Card. Ngurah juga meraih penghargaan World Wild Life Fund Vienna (Austria) pada 1983. Atas prestasinya, Pemerintah Provinsi Bali memberikan penghargaan Dharma Kusuma pada 2012. Penghargaan ini pada 1996 pernah diterima Arie Smit.
Sampai saat ini Ngurah sebenarnya masih menjabat Ketua Young Artists Community setelah pada 1980 sempat dilakukan pendataan seniman dengan gaya seperti ini. "Saat itu jumlahnya sekitar 40 orang," ujarnya. Sayangnya, organisasi ini sekarang cenderung kurang aktif karena kesibukan personelnya. "Memang yang bisa bertahan hanya yang tetap kreatif dalam melukis dan mengembangkan gayanya," ujar Ngurah, yang kini banyak mengembangkan gaya pointilisme naturalis.
Nyoman Londo
Sudah sepuluh tahun terakhir Nyoman Londo, 70 tahun, menghentikan kegiatan melukis. Diserang alzheimer setelah terkena diabetes, penglihatannya menurun drastis. Ia juga mulai pikun dan gampang lupa sehingga menyulitkan aktivitas hariannya. Untungnya, di masa tua itu, hasil dari penjualan lukisannya sudah cukup menghasilkan sawah. Dia juga memiliki bungalo, yang dikelola anaknya. "Sisa lukisannya tinggal empat buah dan disimpan untuk koleksi," kata putra tertua Nyoman Londo, Made Latra.
Saat ditemui Tempo, Londo pelan-pelan masih bisa mengingat saat dia didatangi pria tinggi besar berkulit putih yang dikiranya turis biasa. "Saat itu sedang main di sawah menggembala sapi," ujarnya. Karena takut, dia hampir berlari. Ajakan Arie Smit itu disambut sukacita oleh keluarga Londo. Apalagi mereka mendengar sebelumnya ada anak-anak yang diajak belajar melukis sambil bekerja di rumah Arie Smit. "Saat itu susah cari kerja," katanya. Arie juga dikenal sangat baik dan tidak pernah marah-marah.
Mulailah Londo belajar membuat sket menggunakan pensil, selanjutnya mewarnai. Setelah sekitar delapan bulan belajar, ia akhirnya bekerja di rumah dan menjual karyanya sendiri. Saat itu menjual lukisan bukan hal yang sulit karena Penestanan menjadi pusatnya. Para turis ataupun kolektor datang ke rumah pelukis untuk mencari lukisan. Namun kemudian, pada akhir 1980-an, banyak pelukis membuat lukisan dengan gaya yang hampir sama sehingga harganya jatuh. Akibatnya, banyak juga pelukis yang beralih ke pekerjaan lain. "Kalau saya tetap terus melukis, sampai mengalami sakit," ujarnya.
Rofiqi Hasan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo