Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Pemimpin Nonmuslim yang Adil

25 April 2016 | 00.00 WIB

Pemimpin Nonmuslim yang Adil
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

ADA satu ungkapan terkait dengan kepemimpinan nonmuslim yang memicu kontroversi belakangan ini: "pemimpin nonmuslim yang adil lebih baik daripada pemimpin muslim yang zalim". Sebagian kalangan Islam menolak ungkapan ini dan menganggapnya sebagai insinuatif, karena melekatkan ajektif "zalim" pada pemimpin muslim dan "adil" pada nonmuslim. Seolah-olah pemimpin muslim identik dengan kezaliman dan pemimpin nonmuslim identik dengan keadilan. Bahkan ada yang menuduh ungkapan tersebut sebagai susupan ide Syiah yang patut diwaspadai. Betulkah demikian?

Ungkapan tersebut sebenarnya tak harus dilihat sebagai bermakna menyudutkan kepemimpinan muslim dan menempatkannya di bawah kepemimpinan nonmuslim, karena yang dibandingkan di situ adalah antara keadilan dan kezaliman sang pemimpin, lepas dari agamanya. Ungkapan tersebut adalah cara lain untuk mengatakan ini: keadilan lebih baik daripada kezaliman. Dan keadilan tetaplah keadilan meski datang dari pemimpin nonmuslim, sedangkan kezaliman tetaplah kezaliman meski muncul dari pemimpin muslim.

Tuduhan bahwa adagium "pemimpin nonmuslim yang adil lebih baik daripada pemimpin muslim yang zalim" berasal dari Syiah juga tak berdasar sama sekali. Ungkapan tersebut secara diametral bertentangan dengan doktrin utama Syiah tentang kepemimpinan (imamah) yang diyakini merupakan hak eksklusif Ali bin Abi Thalib dan keturunannya. Menurut Syiah, muslim yang di luar garis keturunan Ali saja tak bisa memegang tampuk kepemimpinan, apalagi nonmuslim. Dengan demikian, tuduhan tersebut absurd. Kalaupun ada ulama Syiah yang bersepakat dengan adagium tersebut, tak lantas itu membuktikan ajaran Syiahlah asal-muasalnya. Dalam tradisi pemikiran politik Sunni juga bisa kita temukan hal senada, meski dengan formulasi yang berbeda.

Di sini saya teringat pada apa yang dinyatakan Al-Ghazali (1058-1111) dalam Al-Tibrul Masbuk fi Nashihatil Muluk. Traktat politik ini disusun Al-Ghazali sebagai persembahan untuk Muhammad bin Malik Shah, sultan Dinasti Saljuk yang saat itu baru naik takhta. Isinya lebih banyak berupa nasihat, pedoman, dan kiat mengatur negara serta mengelola pemerintahan.

Salah satu tema utama Al-Tibrul Masbuk adalah tentang pentingnya keadilan sebagai sokoguru tatanan politik. Al-Ghazali menegaskan, pemimpin yang adil akan membuat negara yang dipimpinnya bertahan lama. Sebaliknya, pemimpin yang zalim akan membawa negaranya pada kehancuran.

Menariknya, penguasa yang adil di mata Al-Ghazali bukan hanya terdapat di dunia Islam, melainkan juga di luar Islam. Ia menyebutkan serangkaian nama kaisar dari Kerajaan Sassanid yang terkenal akan sikap adilnya, khususnya Kisro Anushirwan, yang notabene beragama Majusi.

Melalui kisah dan anekdot, Al-Ghazali menguraikan apa yang ia maksud sebagai keadilan. Misalnya kisah tentang Anushirwan yang tak pandang bulu dalam menegakkan hukum. Atau kisah tentang Khalifah Umar bin Abdul Aziz yang terkenal bersih dari korupsi serta dengan tegas memilah mana milik publik dan mana milik pribadi. Juga cerita tentang Khalifah Umar bin Khattab yang peduli pada keadilan sosial dan selalu blusukan untuk memastikan kesejahteraan rakyatnya.

Al-Ghazali juga mengutip sejumlah hadis yang, langsung atau tidak langsung, terkait dengan Anushirwan. Misalnya sabda Nabi: "negara/kerajaan bisa bertahan dengan kekafiran, tapi tak bisa bertahan dengan kezaliman". Juga hadis tentang perasaan senang Nabi begitu menyadari bahwa Anushirwan masih hidup pada saat beliau lahir, karena penghormatan Nabi terhadap keadilannya. Dan hadis: "Saya berduka atas meninggalnya empat orang kafir ini: Anushirwan karena keadilannya, Hatim al-Tha'i karena kedermawanannya, Umru'ul Qays karena puisi-puisinya, dan Abu Thalib karena kemuliaan hatinya."

Dengan menempatkan Anushirwan sebagai teladan pemimpin adil yang ditempatkan sejajar dengan Khalifah Umar bin Khattab dan Umar bin Abdul Aziz, Al-Ghazali tak hanya menunjukkan adanya pemimpin nonmuslim yang adil, tapi juga mengakui keabsahannya. Selain itu, dengan mengutip hadis "negara bisa bertahan dengan kekafiran, tapi tak bisa bertahan dengan kezaliman", Ghazali sejatinya menegaskan bahwa kejayaan atau kehancuran suatu negara tidak ditentukan oleh keyakinan agama pemimpinnya, tapi oleh keadilan atau kezalimannya.

Mengapa demikian? Karena iman atau kafirnya pemimpin hanya berdampak pada dirinya sendiri. Itu urusannya sendiri dengan Tuhan di akhirat. Sedangkan yang mengena langsung kepada rakyat adalah keadilan atau kezalimannya. Dalam perumusan Ibnu Taimiyah, poros utama kehidupan di dunia adalah keadilan. Tatanan politik yang didasarkan pada keadilan akan tegak meskipun penguasanya kafir. Dan yang didasarkan pada kezaliman akan runtuh meskipun penguasanya muslim. Adapun di akhirat nanti bisa saja penguasa kafir yang adil tak mendapat ganjaran karena kekafirannya dan pemimpin muslim yang zalim diganjar atas keimanannya (Majmu' al Fatawa, 28: 146).

Tak pelak lagi, terbantahlah penolakan sementara kalangan muslim terhadap kemungkinan adanya pemimpin nonmuslim yang adil. Sebagai dalilnya, mereka merujuk pada ayat "Sesungguhnya syirik adalah kezaliman terbesar" (QS 31: 13). Namun sejatinya dalil ini tidak tepat. Arti kata zhulm di sini lebih mengacu pada dosa atau maksiat yang menyangkut perbuatan orang per orang. Jadi bukan kezaliman politik yang sering diasosiasikan dengan tirani, represi, dan kesewenang-wenangan. Lagi pula dari catatan sejarah kita tahu betapa keadilan, juga ketidakadilan, tidaklah menjadi monopoli agama tertentu. Ada banyak pemimpin muslim yang adil, tapi tak sedikit juga yang zalim. Begitu juga pemimpin nonmuslim.

Pandangan Ghazali yang memposisikan Anushirwan sebagai salah satu model penguasa adil setidaknya menegaskan watak universal dari keadilan itu sendiri, yang melampaui sekat-sekat agama. Bagi Ghazali, keadilan yang tumbuh dan berkembang di luar kultur Islam tetaplah keadilan yang diakui keabsahannya dari perspektif Islam. Saya cenderung menyebutnya sebagai "universalisme keadilan".

Dalam konteks Indonesia, universalisme keadilan ala Ghazali ini menjadi menarik kalau dibaca secara intertekstual dengan konsepsi KH Sahal Mahfudz tentang "fikih sosial", khususnya penekanannya tentang keadilan sebagai tujuan utama syariah. Penerapan syariah, bagi Kiai Sahal, harus bermuara pada terciptanya keadilan, sebagaimana ungkapan Sayyidina Ali: "Dunia, kekuasaan, negara bisa berdiri tegak dengan keadilan meski ma'al kufri (di bawah pemerintahan kafir) dan negara itu akan hancur dengan kezaliman meskipun ma'al muslimin (di bawah pemerintahan Islam)." Ibnu Taimiyyah juga pernah berkata: "Allah akan menegakkan negara yang adil meskipun kafir dan akan menghancurkan negara yang zalim meskipun negara muslim."

Atas dasar itulah Kiai Sahal menyerukan agar "fikih politik" klasik dievaluasi dengan memakai standar keadilan yang harus dipahami secara kontekstual. Dalam konteks politik Indonesia, misalnya, keadilan dimaknai sebagai prinsip kesetaraan warga berdasarkan prinsip demokrasi dan kebangsaan. Dengan begitu, diktum fikih politik klasik yang masih menempatkan nonmuslim sebagai dzimmi, alias "warga negara kelas dua", harus ditinggalkan. Diktum tersebut, demikian Kiai Sahal, mungkin saja adil pada zamannya dulu. Tapi untuk konteks sekarang menjadi tidak adil karena bertentangan dengan asas kesetaraan dan persamaan di depan hukum.

Dengan kerangka fikih sosial, keadilan demokratis mendapatkan legitimasinya dari perspektif Islam. Sebagaimana Al-Ghazali menempatkan keadilan Anushirwan yang nonmuslim sejajar dengan keadilan Khalifah Umar yang muslim, keadilan demokratis yang notabene tidak berasal dari rahim Islam oleh Kiai Sahal dianggap sebagai sejalan dengan Islam. Keadilan dari mana pun sumbernya tetaplah bernilai sebagai keadilan yang absah menurut Islam.

Di samping itu, ide Ghazali yang lebih menekankan keadilan ketimbang iman sang pemimpin juga makin relevan dalam konteks demokrasi modern yang tak lagi berpusat pada kuasa personal sang penguasa, tapi pada sistem yang beroperasi secara impersonal. Yang lebih signifikan dalam konteks seperti ini adalah bagaimana agar tatanan sosial dan politik yang berporos pada upaya mewujudkan keadilan sosial, pemerintahan yang bersih, serta tatanan yang egaliter terinstitusionalisasi dengan kuat, sehingga sistemlah yang menjadi mesin penggeraknya, bukan orang per orang.

Ketika keadilan terlembagakan dalam sistem, maka pemimpin yang punya komitmen dan kemampuan untuk mempertahankan sistem tersebut dengan sendirinya adalah pemimpin yang adil. Sebaliknya, pemimpin yang merongrong sistem tersebut adalah pemimpin yang zalim. Tak peduli apakah ia muslim atau nonmuslim. Karena keadilan tetaplah keadilan meski datang dari pemimpin nonmuslim dan kezaliman tetaplah kezaliman meski muncul dari pemimpin muslim. l

Akhmad Sahal* (Wakil Ketua Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama Amerika Serikat)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus