Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Wayan Sinteg dan Masalah Lukisan Palsu

Wayan Sinteg, salah satu perupa Young Artists terbaik, dikabarkan memalsukan lukisan sang guru. Ia dipenjarakan. Tapi Sinteg berkukuh bahwa dia tak melakukannya.

25 April 2016 | 00.00 WIB

Wayan Sinteg dan Masalah Lukisan Palsu
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Rumah megah berlantai dua di persawahan Banjar Penestanan Klod, Ubud, itu tampak tak terawat. Ruangannya dibiarkan kosong dan berdebu. Di pagar depan terpampang tulisan "Dijual", lengkap dengan nomor telepon yang bisa dihubungi. Di situlah dulu Sinteg Gallery milik Wayan Sinteg berdiri. Saat galeri diresmikan pada 1993, Sinteg tersenyum bahagia diapit gurunya, Arie Smit, dan kolektor lukisan Pande Wayan Suteja Neka. Masa jaya rupanya telah berakhir dan papan nama galeri pun tak pernah dipasang lagi.

"Saya sadar ini jalan hidup saya," kata Sinteg, 13 Maret lalu. Baru sekitar tiga bulan lalu ia bisa menghirup udara bebas setelah selama satu tahun enam bulan dipenjara di Lembaga Pemasyarakatan Gianyar, Bali. Situasi ini harus dialami pria kelahiran 31 Desember 1952 itu setelah ia dilaporkan melakukan pemalsuan lukisan dan menjualnya kepada kolektor bernama Ketut Sudra. Sinteg ditangkap polisi dan ditahan sejak 26 Juli 2014. Dia akhirnya diputuskan bersalah oleh majelis hakim yang diketuai Sihar Hamonangan Purba. Pada putusan bernomor 172/Pid.b/2014/PN.GIN tertanggal 28 Oktober 2014 itu, Sinteg dinyatakan terbukti melanggar Pasal 378 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tentang melakukan penipuan secara berkelanjutan.

Sinteg menyatakan putusan itu sejatinya tidak benar. Pria yang belajar melukis pada Arie Smit ini mengaku sudah mempersilakan Sudra menemui Suteja Neka, yang menjadi pemegang lisensi karya Arie, dengan jaminan keaslian bila ingin mendapat lukisannya. Namun Sudra berkeras membeli dari Sinteg karena, bila melalui Neka, harganya pasti sudah sangat tinggi.

Itu yang kemudian mendorong Sinteg mencarikan lukisan Arie Smit tanpa melalui Neka. Ia menghubungi orang-orang yang pernah bekerja dengan Arie atau yang mendapat hadiah dari perupa yang dikenal pemurah itu. "Pak Arie Smit memang suka memberi orang yang disayanginya kalau sedang bersenang hati," ujarnya. Sinteg akhirnya mendapatkan sepuluh lukisan dan menjualnya kepada Sudra dengan harga Rp 30-60 juta. Total semuanya Rp 525 juta.

Sinteg membantah jika lukisan-lukisan itu disebut dibuatnya sendiri. "Mana mungkin saya berani?" kata pelukis yang mengaku salah satu murid kesayangan Arie Smit ini. Selain itu, karya Arie sangat sulit ditiru karena kerumitan dalam proses pewarnaannya. Soal keaslian karya yang dikumpulkannya, Sinteg mengaku tidak tahu.

Belakangan, Sudra menuntut Sinteg untuk mensertifikasi lukisan-lukisan itu kepada Suteja Neka. Dalam pikiran Sinteg, tentu saja Neka tak akan mau karena lukisan-lukisan itu tidak dibeli di tempat Neka. Karena itu, dia enggan memenuhi permintaan tersebut. "Di situ saya yang apes. Mungkin Sudra sudah mengira akan untung besar, ternyata tidak bisa," ujarnya. Sinteg kemudian dilaporkan ke polisi sampai berproses di persidangan.

Kisah versi Sinteg itu berbeda dengan Sudra. Menurut Sudra, sebagai pencinta lukisan, dia pun mencari karya Arie Smit. Ia kemudian berteman dengan Sinteg, yang mengaku sebagai murid kesayangan Arie. "Awalnya saya tak percaya, tapi kemudian yakin setelah melihat fotonya dengan Arie Smit," katanya.

Proses pembelian itu berlangsung enam bulan sampai akhirnya dia mendapat sepuluh lukisan. Untuk memastikan keaslian, dia meminta Sinteg melakukan verifikasi kepada Suteja Neka sekaligus meminta sertifikasinya. Namun, setelah lebih dari tiga bulan, permintaan itu tak kunjung dikabulkan dan hanya janji palsu. "Karena itu, saya nekat menemui langsung Pak Neka dengan membawa dua lukisan," ujarnya. Sudra sangat terkejut ketika Neka menyatakan bahwa lukisan yang dibelinya bukan karya Arie Smit. Itu karena karakternya yang berbeda dan ada lukisan asli yang mirip dengan lukisan palsu tersebut yang tersimpan di museum Neka. Sudra lalu diajak Neka melihat lukisan yang asli, yang memiliki ciri adanya pencantuman judul, tahun selesai dibuat, media, dan tanda tangan Arie Smit.

Dalam keterangan di persidangan, Neka menyebutkan di museumnya masih terdapat tiga lukisan asli Arie Smit yang kemungkinan besar ditiru dan kemudian dijual Sinteg kepada Ketut Sudra, yakni The Roads Wind through the Village (1985), Lombok Strait Seraya Timur (1971), dan Blue Landscape (1971). Sedangkan empat lukisan asli lain yang pernah berada di museumnya-yang juga "sama" dengan yang dijual Sinteg-sudah laku, yakni House of the High Priest, Village in the Shade of Trees, Temple in Bali, dan Golden Fiels. Ketika hakim menanyakan harga lukisan Arie Smit yang asli, Neka menjawab kisarannya Rp 300 juta.

Sudra mengatakan sebenarnya ia tak ingin kasusnya berlanjut ke pengadilan asalkan Sinteg mau meminta maaf dan mengembalikan uangnya. Tapi, ketika hal itu disampaikan, Sinteg justru menantang akan melaporkan balik. "Sekarang sudah telanjur semua seperti ini," ujarnya. Ia enggan mengambil kembali lukisan palsu yang menjadi barang bukti, yang akhirnya dibakar oleh kejaksaan.

Arie Smit sendiri enggan berkomentar atas kasus itu. Tahun lalu, saat Tempo menemuinya untuk menanyakan hal pemalsuan lukisannya, seraya terbaring lemah dengan mata yang sudah buta, ia hanya menjawab bahwa memang benar Sinteg adalah muridnya. "Dia memang murid terbaik saya. Dia sangat berbakat," katanya. Sekitar dua minggu menjelang Arie wafat, Tempo kembali menjenguknya dan bertanya lagi. "Saya tidak tahu. Itu terserah mereka," ujarnya.

Sikap ini berbeda ketika Arie masih muda dan menemukan lukisannya yang dipalsukan di lelang lukisan-lukisan maestro dunia yang diselenggarakan Batavia Auctioneers, "The Old Painting, Pre World War II", 22-24 November 2000, di The Regent Hotel, Jakarta. Di situ terdapat dua lukisannya, Two Dancers (1952) dan Market (1959). Di situ disebutkan bahwa lukisan itu karya Arie di Bali, padahal pada tahun itu ia masih bekerja di Bandung. Lelang itu akhirnya dibatalkan setelah diberitakan di media massa.

Atas kasus itu, Arie Smit membuat keterangan resmi secara tertulis. Dalam keterangan tersebut dia menulis bahwa sudah lima tahun terakhir ia mendengar adanya pemalsuan lukisannya. "Ada karya mirip dengan karya saya, kemudian tanda tangannya ditorehkan di lukisan itu," tulisnya. Arie menulis pernyataan di atas lembaran kertas bermeterai tertanggal 7 Desember 2000 dengan melampirkan kartu tanda penduduk.

Selanjutnya, untuk mengatasi masalah pemalsuan lukisannya, pada 6 Maret 2006 Arie membuat akta notaris yang memberikan kewenangan penuh kepada Yayasan Dharma Seni Museum Neka untuk menilai keaslian lukisan dan mengeluarkan sertifikat keautentikan. Penjualan karya Arie juga dipercayakan sepenuhnya kepada Suteja Neka sebagai art dealer tunggal.

Menurut Neka, hingga kini sudah 700 lukisan yang dikeluarkan sertifikatnya. Sertifikat dikeluarkan setelah ada pemeriksaan. Sertifikat diberikan secara gratis. Syaratnya hanya satu: karya asli harus dibawa langsung ke Museum Neka. "Saya tidak tahu mengapa Arie Smit memilih saya. Mungkin karena persahabatan yang sudah lama," kata Neka.

Rofiqi Hasan (bali), SJS

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus