Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Asvi Marwan Adam
MAKNA diperingatinya suatu peristiwa menurut Mona Ozouf adalah menunjukkan bahwa kita masih tetap sama seperti dulu dan akan tetap seperti itu pada masa mendatang. Sejarawan Prancis itu berbicara tentang fungsi pengawetan peristiwa bersejarah. Namun peringatan kebangkitan nasional justru sengaja dilakukan secara intensif pada saat-saat bangsa kita mengalami kesulitan besar. Ketika Indonesia yang wilayahnya sangat terbatas mendapat tekanan dari dalam negeri serta kemungkinan serangan dari pihak Belanda, di Yogyakarta pada 1948 hari lahir Budi Utomo diperingati sebagai tonggak ”kebangoenan nasional”.
Sepuluh tahun kemudian, 20 Mei 1958, peringatan 50 tahun Budi Utomo di Istana Merdeka berlangsung meriah. Dalam acara tersebut, Presiden Soekarno berpidato: ”Kenapa kita tanggal 20 Mei 1958 ini mengadakan peringatan hari Kebangkitan Nasional setjara hebat? …. Memang benar, Budi Utomo adalah satu serikat jang ketjil. Tudjuannja pun belum djelas sebagai tudjuan kita sekarang ini. Tetapi Saudara-saudara, marilah kita tindjau terbangunnja Budi Utomo itu dari sudut jang lain…. Benar 20 Mei 1908 sekedar satu ”kriwikan”—kata orang Djawa—dan belum ”grodjogan”. Jang kita peringati ialah bahwa 20 Mei 1908 itu berisi kemenangan satu azas, kemenangan satu beginsel. Tidak ada satu bangsa jang tjukup baik untuk memerintah bangsa lain. No nation is good enough to govern another nation.”
Alasan peringatan kebangkitan nasional pada 1958 dapat diperkirakan, yakni berkenaan dengan situasi Tanah Air waktu itu. Sebelumnya, pada 1957, pemerintah mengenang Sumpah Pemuda 1928 dengan skala besar pada saat beberapa daerah bergejolak. Ketika itu, diperlukan semangat persatuan, maka Sumpah Pemuda dirayakan. Setelah PRRI/Permesta dapat dipadamkan, sehingga kondisi daerah masih porak-poranda akibat perang saudara itu, didambakanlah kebangkitan nasional. Tujuan lain adalah menggalang semangat rakyat untuk membebaskan Irian Barat.
Belakangan ini muncul gugatan, mengapa 20 Mei, hari lahir Budi Utomo, yang dipilih sebagai hari kebangkitan nasional. Memang organisasi itu diakui sebagai organisasi modern pertama di tanah air kita, tapi ruang lingkup keanggotaannya masih terbatas pada orang Jawa (priayi). Menurut A.K. Pringgodigdo, ”Walaupun Budi Utomo perkumpulan buat seluruh Jawa dan oleh karena itu bermula mempergunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa perantaraan, sudut sociaal-cultureel Budi Utomo hanya memuaskan untuk penduduk Jawa Tengah.”
Lebih jauh lagi, penggagas Budi Utomo, Dr Wahidin Soedirohoesodo (1857-1917), berpandangan bahwa kebudayaan Jawa dilandasi oleh ilham Hindu-Buddha. Ia rupanya berpendapat bahwa sebagian penyebab kemerosotan masyarakat Jawa adalah kedatangan agama Islam dan berusaha memperbaiki masyarakat Jawa melalui pendidikan Belanda (Ricklefs, 1994: 248-9). Klaim ini dipertanyakan sejarawan Australia, Adrian Vickers. Di dalam tulisan Wahidin ataupun Soetomo, ujarnya, tidak ditemukan unsur anti-Islam, kecuali mengagumi Islam ala Jawa.
Budi Utomo pada dasarnya merupakan lembaga yang mengutamakan aspek kebudayaan dan pendidikan serta jarang memainkan peran politik yang aktif. Budi Utomo sudah mandek sejak awal karena kekurangan dana dan kelangkaan kepemimpinan yang dinamis. Organisasi ini mendesak pemerintah menyediakan lebih banyak pendidikan Barat, tapi tuntutan itu tidak begitu berarti.
Di pihak lain, Gubernur Jenderal Van Heutsz menyambut baik Budi Utomo sebagai tanda keberhasilan politik etis. Sesuai dengan keinginannya: suatu organisasi pribumi moderat yang dikendalikan pejabat yang ”maju”. Pada Desember 1909, organisasi tersebut dinyatakan sebagai organisasi yang sah oleh pemerintah Hindia Belanda.
Suhartono dari Universitas Gadjah Mada juga memandang positif organisasi ini. ”Budi Utomo bukan hanya dikenal sebagai salah satu organisasi nasional yang pertama di Indonesia, tetapi juga sebagai salah satu organisasi yang terpanjang usianya sebelum proklamasi kemerdekaan Indonesia…. Lahirnya BU menampilkan fase pertama dari nasionalisme Indonesia. Fase ini menunjuk pada etno-nasionalisme dan proses penyadaran diri terhadap identitas bangsa Jawa (Indonesia)” (Suhartono, 1994: 32).
Bahkan Adrian Vickers mengemukakan bahwa lahirnya Budi Utomo bisa dipertimbangkan sebagai hari jadi Indonesia karena organisasi modern yang pertama ini menggunakan bahasa Melayu dan menggemakan rasa cinta tanah air. Menurut Vickers, organisasi ini bersifat ”politis” juga karena memajukan kaum cendekiawan.
Bila terdapat pro-kontra terhadap Budi Utomo, dewasa ini muncul wacana untuk mengalihkan posisi terhormat itu kepada Sarekat Islam. Menurut Sartono Kartodirdjo, Sarekat Islam dalam periode awal perkembangannya merupakan ”banjir besar”, dalam arti bahwa massa dapat dimobilisasi serentak secara besar-besaran, baik dari kota-kota maupun daerah pedesaan. Timbullah suatu pergolakan yang melanda seluruh Indonesia. Gerakan massa semacam itu dianggap sebagai ancaman langsung terhadap penguasa kolonial. Pemerintah Hindia Belanda menghadapi masalah ini dengan hanya mengizinkan Sarekat Islam lokal, sehingga organisasi itu terisolasi satu sama lain. Dengan demikian, Sarekat Islam terpecah belah dan tidak dapat berkembang sebagai gerakan nasional (Kartodirdjo, 1990: 109-110 )
Upaya menjadi organisasi yang tampil lebih awal terpantul dalam penentuan hari lahir Sarekat Islam. Pada 1956, muncul upaya untuk menjadikan Syarikat Dagang Islamiyah, yang merupakan embrio dari Sarekat Islam, sebagai tonggak kebangkitan nasional oleh penulis Tamar Djaya. Disebutkan Tamar bahwa organisasi itu didirikan oleh Samanhoedi pada 16 Oktober 1905. Namun hal ini dibantah oleh Deliar Noer. Kalangan lain beranggapan bahwa Syarikat Dagang Islamiyah didirikan oleh Tirto Adhi Soerjo di Bogor pada 5 April 1909.
Bagi pemerintah kolonial Belanda, jelas Budi Utomo yang dipandang penting. Organisasi itu sesuai dengan politik etis yang dicanangkannya pada awal abad ke-20, yang ingin meningkatkan pendidikan, tapi tanpa terjun ke politik praktis. Sedangkan Sarekat Islam lebih dipandang sebagai gerakan yang berbahaya, sehingga pengakuan pemerintah kolonial terhadap perhimpunan ini hanya bersifat lokal. Pandangan serupa diteruskan oleh pemerintah Orde Baru, yang memandang organisasi seperti Budi Utomo lebih cocok dengan program stabilitas nasional. Bahkan selalu ditekankan bahwa organisasi tersebut tidak bersifat kedaerahan.
Ada yang mempertanyakan apakah organisasi yang diuraikan di atas dapat dianggap sebagai pelopor kebangkitan nasional, mengingat sifat dan statusnya yang belum sepenuhnya ”meng-Indonesia” karena masih menggunakan label etnis dan agama. Sebelum Budi Utomo lahir, terdapat organisasi lain yang di antaranya bergerak dalam bidang pendidikan. Pertama, Tiong Hwa Hwee Koan, yang dibentuk pada 1901 dan mendirikan sekolah-sekolah bagi keturunan Tionghoa. Kedua, Jamiat Khair, organisasi keturunan Arab yang didirikan pada 1905, yang juga menyediakan sekolah bagi kalangan mereka. Tentu kedua organisasi itu tidak dapat disebut sebagai pelopor kebangkitan nasional.
Bila Tiong Hwa didirikan untuk keturunan Tionghoa, Jamiat Khair bagi keturunan Arab, dan Budi Utomo bagi etnis Jawa (dan di Jawa Barat juga bagi Sunda), Sarekat Islam untuk umat Islam. Sarekat Islam bukan partai terbuka karena penganut Kristen tidak bisa menjadi anggotanya. Namun ada penulis yang beranggapan bahwa pada saat itu Sarekat Islam sengaja memakai label agama karena itulah milik bangsa Indonesia yang tersisa, sedangkan yang lain semuanya sudah dirampas Belanda. Wajar saja, menurut pendapat ini, agama dijadikan sarana pemersatu. Tentu layak pula disebut peran Indische Partij dan dua organisasi besar agama, Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama.
Sebelum 28 Oktober 1928, terdapat tiga organisasi yang memakai nama Indonesia. Partai Nasional Indonesia didirikan Soekarno pada 1927. Di Negeri Belanda, Indische Vereniging berubah nama menjadi Perhimpunan Indonesia pada 1925. Sebelumnya, Perserikatan Komunis Hindia Belanda mengadakan Kongres di Jakarta pada Juni 1924 dan selanjutnya menggunakan nama Partai Komunis Indonesia. Partai yang revolusioner ini pada 1926/1927 memberontak terhadap pemerintah Hindia Belanda di Banten dan Silungkang, Sumatera Barat. Pemberontakan tersebut dapat dipadamkan, para aktivis antipenjajahan itu dibuang ke Digul, Papua. Tentu para Digulis itu adalah perintis kemerdekaan nasional yang patut dikenang.
Tulisan di atas menggambarkan betapa besarnya peran politis dari pemerintah untuk memperingati hari bersejarah demi kepentingan saat itu. Ketika Budi Utomo dipertanyakan posisinya, sebagian orang menyodorkan Sarekat Islam sebagai pengganti. Namun keduanya tidak seratus persen memenuhi syarat. Organisasi lain yang diajukan sebagai alternatif, seperti Partai Nasional Indonesia, Perhimpunan Indonesia, dan Partai Komunis Indonesia, juga harus ditelaah kembali. Hikmah dari perdebatan ini adalah kebangkitan nasional itu bukanlah sebuah tonggak, melainkan suatu proses yang terus berlangsung.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo