Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Terbakar Pesona Revolusi

Cerita Pram ini jauh menonjol dari naskah mana pun yang mampu memaksa kita menimbang kembali berbagai anggapan, pendapat, serta klise tentang revolusi dan ide kebangsaan serta perkaitannya dengan pemuda.

19 Mei 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"REVOLUSI itu persis orang membakar sampah. Ia bukan sekadar membuang, melemparkan, dan menabun semua yang kotor, juga tak berguna. Ia melapangkan. Membawa hawa bebas. Membakar sampah mengingatkan saya pada revolusi.” Itu jawaban Pramoedya Ananta Toer atas pertanyaan iseng saya ketika mendapati dia asyik di velbak kecil di dekat rumahnya, jongkok membakar sampah: ”Apa Bung hobi membakar sampah?”

Dalam memoar pembuangannya, Nyanyi Sunyi Seorang Bisu, Pram memang pernah menulis surat berkepala ”Nilai Tanpa Sampah” untuk Et, anaknya nomor dua. Ia mengelaborasi revolusi yang dialaminya ketika pecah di Jakarta tak lama setelah proklamasi dan terus merembet ke daerah pinggirannya. Pram terpesona oleh revolusi. Bahkan sampai napas terakhir pun ia terus terbakar oleh apinya yang dikenangkan sebagai ”keindahan tiada tara”, karena ”yang terpancar dari dalamnya kebijaksanaan, kecerdasan, keberanian”.

Dari letup api revolusi itu pula Pram terinspirasi menulis romannya yang paling dini, Di Tepi Kali Bekasi. Sebuah harta karun unik yang untungnya bisa selamat dari rampasan intel Belanda, dan meski itu cuma seperempatnya dari naskah keseluruhan, tetap bisa menunjukkan kepada kita potret revolusi yang menggugah dengan nilai-nilai moral kemerdekaannya yang sudah tak ada lagi, yang sangat fokus, penuh detail serta ragam kelir. Sohor memang karya-karya revolusi Idrus, seperti Surabaya (1947), Perempuan dan Kebangsaan (1949), atau Jalan Tak Ada Ujung (1952) Mochtar Lubis. Namun, cerita Pram itu jauh menonjol di atasnya dan lebih dari naskah mana pun yang mampu memaksa kita menimbang kembali berbagai anggapan, pendapat, serta klise tentang revolusi dan ide kebangsaan (nation) serta perkaitannya dengan pemuda.

lll

DENGAN gaya lirik yang mengingatkan kita pada gaya gambang rancag yang menjadi tradisi penduduk aslinya, Pram membuka Di Tepi Kali Bekasi dengan memuliakan dan mengagungkan Bekasi dengan sejarah panjangnya sebagai daerah protes sosial dan perlawanan. Sejak zaman particuliere landerijen (tanah-tanah partikelir), zaman Jepang, sampai kemerdekaan. Dalam sejurus saja, Pram sudah mengarahkan kita bahwa revolusi dan perkaitannya dengan ide kebangsaan Indonesia bukan penyimpangan pada suatu masa sesudah perang lantaran pendudukan Jepang. Ia berakar dan tumbuh sejak dulu sebagai konsekuensi dari, dan jawaban atas, berbagai perubahan yang timbul dalam masyarakat serta kehidupan ekonomi yang bersumber dari kolonialisme dengan beambtenstaat (birokrasi kekuasaan kolonial) yang digelayuti feodalisme.

Demikianlah Pram memainkan rancag pembukanya, yang memang pada tradisi aslinya diperuntukkan salah satunya sebagai piranti prosesi ”membuka palang pintu”. Ia menjebol dan selanjutnya membawa kita memasuki panggung utama ceritanya: revolusi sebagai momen pembebasan yang memungkinkan rakyat Indonesia menentukan masa depan sendiri, dan bukan konflik politik dalam pengertian yang normal. Revolusi tidak harfiah anti-asing, tapi melawan kebejatan dan keberdosaan sistem kolonial itu tidak hanya bagi orang yang tertindas, melainkan juga bagi penindasnya, karena yang terakhir ini pun kehilangan kemanusiaannya dengan mengabdi pada sistem itu.

Di sana, tokoh utama yang tampil adalah angkatan muda: Farid, pemuda Jakarta yang hatinya terbakar oleh revolusi. Saking panas oleh api revolusi, ia rela melemparkan, membuang segala perkaitan hidupnya dengan semua yang kotor dan tertular kolonial demi kemerdekaan serta pembebasan dari kesewenang-wenangan. Karena itu, roman ini—meminjam istilah Keith Foulcher—adalah perwujudan pemuda ideology, ideologi pemuda revolusi.

Namun, yang menarik, Pram, dalam menggambarkan ideologi pemuda Farid ketika memikirkan perjuangan, masih menggunakan kata bakti, suatu kata yang mengingatkan kita pada pemuda Soetomo, pendiri Budi Utomo. Soetomo dalam otobiografinya, Kenang-kenangan (1934), memakai kata itu bersama darma sebagai konsep perjuangannya. Ada kontinuitas sejarah, tapi diperlihatkan pula perubahan yang terjadi.

Di zaman Soetomo, pemuda-pemuda memasuki sekolah untuk kemajuan—istilah khas zaman sebelum perang yang dalam alam penjajahan digunakan intelektual muda bagi tujuan mereka yang sangat mulia. Sebaliknya, di zaman Farid, para pemuda malah ”bersatu hati meninggalkan kemajuan”, seraya masuk arus revolusi yang dianggap sebagai ”sekolah tinggi” bagi cita-cita memperjuangkan kemerdekaan bangsa dan nilai-nilai moralnya yang dipertaruhkan. Selain itu, sementara pemuda Soetomo menjadikan pepatah kacang mangsa ninggal lanjaran (jangan lupakan pendahulu) sebagai kiblat gerak perjuangannya, Farid memilih ”orang tua dikesisikan... anak tak membutuhkan orang tuanya”. Kalau perlu, ayahnya sendiri serta ”seluruh angkatan tua dari zaman penjajahan dengan semangat budak” hancur terbakar.

Sejak bagian pertama romannya, Pram sudah memperlihatkan bagaimana perselisihan angkatan itu terjadi. Farid ngotot pergi ke Cikampek. Nasihat dan rengekan bapaknya dianggap angin lalu. Bukan tak ada usaha membangun pengertian, tapi sia-sia. Farid mengambil cuti untuk menjenguk, tapi yang ditemuinya: ayahnya telah jadi Netherlands Indies Civil Administration. Farid pun pergi dan melupakan ayahnya, masa lalunya. Sebuah simbolisasi yang dalam kenyataan zamannya memang terjadi.

lll

BOLEH jadi proklamasi bukan kata-kata yang heroik, adem-adem saja, dan rada janggal, lantaran sarat dibebani sikap kehati-hatian, keraguan, serta kebingungan. Soekarno-Hatta dibayangi konsekuensi percaturan politik kekuasaan internasional. Orok Republik mesti diselamatkan. Caranya adalah tidak lagi memperkuat gerakan dan kemurnian ideologinya. Berkompromi. Dari sinilah titik perselisihan pemimpin-pemimpin yang tua dengan para pemuda. Para pemuda justru menganggap proklamasi—meminjam kata angkatan muda saat itu, Chairil Anwar—telah ”menyediakan api” untuk ”maju, serbu, serang, terjang”. Bagi mereka, revolusi mesti segera dilakukan. Sebab, ada banyak ancaman terhadap kemerdekaan dan nilai-nilai moralnya. Proklamasi adalah point of no return, atau lebih tepatnya, setiap langkah mundur berarti kegagalan total yang hina. Berkompromi sama artinya dengan membiarkan orok Republik tercemar kolonialisme dengan kebejatan dan keberdosaan sistemnya.

Perselisihan itu memang akhirnya tak terdamaikan dan keduanya menempuh jalan revolusi sendiri-sendiri setelah peristiwa Ikada, 19 September 1945. Para pemimpin yang tua meninggalkan Jakarta membawa orok Republik ke pedalaman ”demi” Sekutu, yang secara implisit berarti menyerahkan Jakarta ke tangan Belanda. Sementara itu, para pemuda dengan lusinan strijdorganisaties alias badan perjuangan yang seketika bermunculan di dalam dan sekitar Kota Jakarta memasuki musim baru, ”musim bersiap”. Di mana-mana orang lazim memekik, ”Bersiap!”—artinya melakukan serangan. Saban-saban terdengar pekik ”Merdeka atau mati”, salam ”Merdeka”, yang mengandung arti jiwa besar tak takut mati. Api revolusi menyala. Tapi tanpa pemimpin dan mencari bahan-bahan nyala apinya secara mandiri.

Revolusi pun jadi tak berkarakter dan bangkit kecemasan dehumanisasi, kemerosotan moral, serta korupsi. Dan dalam romannya tersebut Pram sendiri mengakui dan memberikan tempat, tapi baginya semua itu tak harus mengaburkan kita dari kenyataan pokok makna revolusi yang ingin ditunjukkannya: ”suatu epos tentang revolusi jiwa—dari jiwa jajahan dan hamba menjadi jiwa merdeka”.

Seperempat cerita roman yang selamat itu memang tak membawa kita sampai pada nasib akhir proses revolusi jiwa. Namun, kita semua tahu revolusi itu memang melengkung pada akhirnya, berlangsung hanya beberapa bulan, yang hanya bisa dihitung dengan jari, kemudian yang menyusul adalah perang kemerdekaan dan dikapitulasi oleh lobi dan koktail Konferensi Meja Bundar.

Namun, dari studi sejarah, dapatlah kita ketahui hasilnya. Ben Anderson, dalam sebuah esainya yang menantang, ”Old State, New Society”, mengungkapkan bahwa jalan yang dipilih para pemimpin tua—berbareng semangat revolusi yang memudar tinggal kenangan—membuat orok Republik darahnya dikotori darah negara lama dengan kolonialisme dan kebejatan serta keberdosaan sistem beambtenstaat yang ditumpangi feodalisme. Darah yang seiring dengan perkembangan usia dan membesarnya orok itu semakin menampakkan wajah serta tabiat aslinya yang sangat kita benci. Dan seperti dikatakan Pram berulang-ulang, hasil serta sumbangan dari bangsa Indonesia yang seperti itu kepada rakyatnya dan dunia hanyalah yang buruk-buruk, sampah belaka.

Ayo, ikut Pram! Bakar!

J.J. Rizal, Penulis


(41) Di Tepi Kali Bekasi Penerbit: Hasta Mitra, Jakarta (1951)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus