Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Menjaring Suara Generasi Gaul

Berbagai jurus dilancarkan menggaet pemilih pemula. Masih meminati partai-partai lama.

5 April 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEBUAH "pesan" tiba-tiba numpang lewat di tengah acara musik MTV. Tak ada pesohor keren, tak ada pula sebuah gambar. Cukup logo Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan selantun suara: "Pemilu makin deket. Kamu-kamu yang bakal ikutan nyoblos, udah paham belum cara-caranya? Jangan sampai salah coblos, ya?" Di layar lalu muncul sejumlah sosok belia.

Terdengar suara narator: "Kalau kamu sudah berusia 17 tahun ke atas, kamu punya hak ikut pemilu. Tak peduli siapa kamu, apa warna kulit, keturunan, pendidikan, suku, atau agama kamu, pokoknya, jika sudah berusia 17 tahun ke atas, kamu berhak ikut pemilu." Adegan berikutnya: seorang siswa sekolah menengah yang lagi curhat. "Pemilu besok gue enggak tahu milih apa. Cara nyoblos-nya aja kagak tahu kayak apa." Dan seterusnya....

Semua "pesan" politik ini sudah sejak Januari lalu ditayangkan jaringan televisi khusus musik video di Indonesia itu. Pesan berdurasi 60 detik itu ternyata satu di antara sekian iklan yang disiapkan Music Television dan KPU. "Semua itu untuk sosialisasi teknik pemilu kepada para pemilih pemula," kata Valina Singka, anggota KPU yang juga Ketua Kelompok Kerja Sosialisasi Kampanye.

Valina punya alasan memilih MTV. Serentetan musik video yang disajikan 24 jam nonstop ini memang menyuguhkan rangkaian gambar cerah, glamor, eksotis, funky, penuh kejutan, dan menghibur. Khas selera para belia.

Selain tata cara Pemilu 2004 memang baru sama sekali, jumlah pemilih pemula cukup signifikan memancing selera politisi partai-partai politik. Dari 147 juta pemilih yang terdaftar pada pemilu kali ini, 19 juta di antaranya pemilih pemula. Menurut Direktur Riset Lembaga Survei Indonesia, Muhammad Qodari, 19 juta suara ini senilai 19 persen suara yang diperebutkan.

"Cukup besar karena umumnya partai besar menargetkan 30 persen suara untuk memenangi pemilu," kata Qodari. Jumlah itu bahkan melebihi ketentuan 3 persen suara untuk lolos electoral threshold, termasuk pencalonan presiden. Wajar jika sejak awal partai-partai mengincar "pasar suara" ini. Berbagai jurus dilancarkan untuk mendulang simpati.

PDI Perjuangan, misalnya, berusaha tampil funky untuk merayu simpati pemula. Dalam berbagai tampilan di media cetak, misalnya, si "Moncong Putih" tak hanya beraksi bersama ketua umumnya, Megawati Soekarnoputri, tapi juga dengan para model belia. Setidaknya, menurut Wakil Sekretaris Jenderal PDIP, Pramono Anung, si "Moncong Putih" tampil dalam 17 bahasa dan gaya agar terlihat "gaul" di depan pemula—dari bahasa Indonesia, Jawa, Sunda, hingga bahasa Inggris. "This is my country, Man," begitu yel-yelnya.

Tak cuma itu. Dalam putaran terakhir kampanye di Jakarta, Ahad, 28 Maret, Megawati dan para politisi PDIP manggung bersama para seleb dan massa simpatisan kadernya di Gelora Bung Karno. Ketua Umum PDIP yang juga presiden itu bahkan rela berjoget bersama massa sambil melantunkan Separuh Nafas, lagu hit band Dewa.

Golkar tak mau kalah. Partai kampiun lima pemilu di era rezim Orde Baru itu optimistis bakal mendulang simpati kaum ABG (anak baru gede). Beragam jurus rayuan dilancarkan, dari mencitrakan partai yang siap terhadap perubahan hingga menawarkan kegiatan penyaluran minat dan bakat para pemula. Tak terkecuali menarik sejumlah mantan aktivis demonstran menjadi calon anggota legislatif.

"Mereka ditarik karena diyakini punya akses di kalangan kaum muda, terutama para pemilih pemula," kata Rully Chairul Azwar, Sekretaris Badan Pemenangan Pemilu Golkar. Langkah serupa juga dilakukan Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Para aktivis kampus, seperti mantan Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Indonesia, Rama Pratama, dan mantan Ketua BEM Universitas Gadjah Mada, Aryo Setyoko, menjadi calon anggota legislatif partai ini. "Mereka adalah dua di antara 30 persen caleg PKS berusia di bawah 40 tahun," kata Almuzamil Yusuf, Wakil Ketua PKS.

PKS mengaku tak repot menjaring simpati pemula. Sejak Pemilu 1999, partai ini memang bergerak di kalangan kampus, sekolah, dan pengajian. Para kadernya pun dibebaskan membuat strategi. Jadinya, 68 persen kader PKS berasal dari kaum muda. Nah, demi memenangi pemilu, jurus direct selling pun digunakan. "Termasuk bimbingan tes untuk para murid SLTA," ujarnya.

Bagaimana sesungguhnya "pasar suara" generasi MTV ini? Penelitian yang dilakukan Lembaga Survei Indonesia pada awal putaran kampanye, 11 Maret lalu, layak disimak. Dengan mewawancarai rata-rata 2.000 responden di 3.000 desa di seluruh Indonesia, lembaga ini memperkirakan partai-partai lama akan tetap menjadi pilihan para pemula. Dalam survei itu, PDIP meraih suara terbanyak, 19,8 persen, disusul Golkar, 19,3 persen (lihat grafik).

Yang menarik, dalam penelitian itu, PKS memperoleh 14 persen. Jumlahnya melebihi perolehan tiga partai yang pada Pemilu 1999 berada di lima besar: Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Amanat Nasional (PAN), dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Fenomena menarik juga terjadi pada Partai Demokrat, satu-satunya partai pendatang baru, dengan 4,9 persen.

Dipilihnya partai-partai lama oleh para pemula ini, menurut Saiful Mujani, peneliti Lembaga Survei Indonesia dan Direktur Riset Freedom Institute, tak bisa dilepaskan dari rendahnya tingkat pengenalan pemula terhadap partai-partai baru. Para pemula juga belum sepenuhnya mandiri mengambil keputusan politik. Mereka adalah bagian dari pemilih yang punya tradisi sendiri dalam memilih partai.

Kebiasaan keluarga, seperti orang tua, memang berpengaruh terhadap preferensi politik para pemula. Tengok kisah Bambang Wicaksono, 17 tahun. Siswa kelas III SMU Blitar, Jawa Timur, ini mengaku masih bingung memilih partai pada hari pencoblosan itu. "Ya, daripada repot, lebih baik ikutan pilihan bokap," katanya.

Keluarga memang bukan satu-satunya faktor. Menurut Qodari, faktor program, visi, dan misi partai serta ketokohan juga bisa mengubah pandangan para pemula. PKS, misalnya. Banyak pemula akhirnya melirik partai ini karena program, visi, dan misinya, selain karena basis suara PKS memang di kampus-kampus. "Sedangkan Partai Demokrat melonjak suaranya setelah Susilo Bambang Yudhoyono resign dari kabinet Mega," kata Qodari.

Qodari ada benarnya. Andi Yudistia Widianto, 17 tahun, siswa kelas III SMU 70 Jakarta, punya pilihan partai setelah berdiskusi dengan teman-temannya untuk menentukan partai mana yang paling baik. "Saya pinginnya memilih Demokrat," kata Andi, "Calon presidennya berani dan berwibawa, tapi program partainya kurang." Cuma, jangan lupa, survei ini baru digelar pada putaran pertama kampanye. Hasilnya tentu belum menyeluruh.

Widiarsi Agustina


Partai Pilihan Pemula Maret 2004
PDIP(19,8%)
Partai Golkar(19,3%)
PKS(14%)
PKB(11,1%)
PAN(10,3%)
PPP(5,8%)
Partai Demokrat(4,9%)
PBB(2,1%)
PBR(1,2%)
Lain-lain(3,6%)
Tak tahu/belum memutuskan(7,8%)
Sumber: Lembaga Survei Indonesia

Mereka yang Disebut Pemilih Pemula

  • Belum memilih pada Pemilu 1999
  • Berusia 17-22 tahun
  • Terdaftar sebagai pemilih dan memenuhi syarat untuk menggunakan hak pilih seperti diatur UU No. 12/2003 tentang Pemilu

Besarnya Pemilih Pemula

  • Jumlah Pemilih 147 juta jiwa
  • Jumlah Pemilih Pemula 19 juta jiwa
  • Jumlah Total Responden 2.695 orang dan tersebar di seluruh Indonesia
  • Responden Pemilih Pemula 294 (10,9%)

Sumber: Diolah dari data Pemilih 1999 dan Pemilih 2004 yang diterbitkan KPU

Lokasi Tinggal
Desa56,3%
Kota43,8%
Pendidikan
SD29,6%
SLTP34,8%
SLTA27,5%
Kuliah8%
Sumber: Lembaga Survei Indonesia

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum