Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hari masih muda ketika Surya Dharma Paloh, 53 tahun, bergegas menaiki pesawat pribadinya di Bandar Udara Halim Perdana Kusumah, Jakarta. Beberapa stafnya, termasuk seorang pengawal yang selalu menenteng sepucuk pistol di pinggang, mengikuti langkah Surya. Hari Minggu lalu, salah satu peserta konvensi calon presiden Partai Golkar ini berkampanye di Provinsi Lampung.
Di samping tangga pesawat bekas milik Ratu Inggris itu, kapten dan kru pesawat lainnya memberikan hormat. Dengan mantap Surya menapaki tiap anak tangga. Ia masuk ke kabin khusus pesawat jet tipe BAe 146 yang berkapasitas 50 penumpang itu. Begitu duduk, Surya langsung "menyantap" semua koran pagi dengan cepat. Lelaki yang memelihara cambang ini mengabaikan tawaran jus segar dari sang pramugari. Mendadak wajah Surya berubah jadi masygul. Pilot pesawat datang dan melaporkan pesawat tak bisa segera lepas landas karena Presiden Megawati baru tiba di bandara. "Sial, ada pencekalan di mana-mana," ujar Surya.
Toh, Surya tak surut semangat. Sebagai juru kampanye nasional Partai Golkar, Surya tengah getol mengkampanyekan gerakan antikoruptor di tubuh partainya, tema yang sangat sensitif di partai itu—yang anehnya—justru setelah Akbar Tandjung, sang ketua umum, memenangi kasasi Mahkamah Agung dalam kasus dana nonbujeter Bulog. Dewan pengurus pusat Partai Beringin itu sempat berencana melarang Surya meneruskan kampanyenya.
Apa yang dipikirkan Surya soal koruptor itu? Bagaimana pula pendapatnya soal kursi presiden nanti? Wartawan TEMPO Setiyardi pekan lalu mewawancarai Surya Paloh selama dua jam di Bandara Halim, diteruskan di dalam pesawat, dan di sebuah hotel di Lampung. Berikut ini kutipannya.
Saat kampanye, Anda bilang banyak koruptor di Partai Golkar. Siapa yang Anda tuding?
Masalah korupsi bukanlah persoalan pribadi seorang Surya Paloh dan Partai Golkar. Korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) adalah public enemies. Satu hal yang diharapkan masyarakat saat masuk era reformasi adalah pemberantasan KKN. Semua aspek harus lebih baik daripada era Orde Baru.
Benarkah masih banyak koruptor di Partai Golkar?
Saya harus menjawab pertanyaan ini dengan lantang. Harus diakui, masih banyak koruptor dan manipulator di Partai Golkar. Tapi saya yakin lebih banyak lagi kesatria di Partai Golkar. Makanya saya juga bilang agar masyarakat tak perlu ragu-ragu memilih Partai Golkar.
Anda punya bukti bahwa Partai Golkar masih menyimpan koruptor dan manipulator?
Partai ini pernah menjadi partai pemerintah selama 32 tahun. Partai ini juga mendapat stigma negatif akibat segala perbuatannya di masa lalu. Banyak kesalahan dan catatan miring yang pernah dilakukan Partai Golkar. Sebagai orang yang ikut membesarkan partai ini selama 35 tahun, saya berhak dan harus menyatakan hal itu. Kalau bukan saya yang mengutarakannya, siapa lagi? Memang Dewan Pengurus Pusat Partai Golkar sempat akan mencekal saya untuk tak mengangkat isu sensitif tersebut. Tapi saya tak peduli. Saya akan terus mengkampanyekan antikoruptor di tubuh Partai Golkar. Tak ada yang bisa menghalangi saya. Saya siap menerima risiko apa pun.
Bagaimana bila Anda juga terbukti melakukan KKN?
Saya tak biasa melakukan KKN. Tak ada satu pun anggota keluarga di perusahaan-perusahaan milik saya. Bila saya terbukti melakukan KKN, saya siap dipermalukan oleh semua anak bangsa. Saya siap dihukum dalam bentuk apa saja, dunia dan akhirat.
Jadi, konsep paradigma baru Partai Golkar telah gagal?
Partai Golkar tengah berjuang menegakkan paradigma barunya. Paradigma baru berarti partai bisa menerima kekurangan dan kesalahan di masa lalu, bisa lebih terbuka dan transparan, siap menerima kritik. Ini untuk mencegah agar Partai Golkar tak mengulangi kesalahan lama.
Pengurus Partai Golkar berpendapat tema kampanye Anda soal korupsi justru kontraproduktif. Bagaimana?
Saya memahami cara berpikir kawan-kawan. Tapi mereka juga harus melihat lebih jeli. Bagi saya, ini tidak kontraproduktif, dan malah amat produktif. Publik ingin melihat sesuatu yang baru di Partai Golkar. Suatu tekad yang baru. Bukan sekadar lips service. Kemenangan Partai Golkar bukanlah sekadar kemenangan untuk meraih suara. Kemenangan yang paripurna adalah merebut simpati masyarakat.
Selama ini, Akbar Tandjung, Ketua Umum Partai Golkar, mendapat stigma sebagai koruptor. Apakah pernyataan Anda memang mengarah ke Akbar?
Pertanyaannya: apakah perjuangan kita untuk segelintir orang di partai atau untuk kepentingan partai? Sudut pandang beberapa kawan, yang dekat dengan Akbar Tandjung, memang berbeda dengan sudut pandang saya. Saya dan kelompok mereka tak nyambung, seperti gelombang radio AM dan FM yang tidak akan pernah bertemu.
Tapi siapa sebenarnya orang yang Anda maksud sebagai koruptor?
Korupsi bukanlah suatu sinyalemen, melainkan sebuah fakta tak terbantahkan. Di lapangan, kita hidup dekat dengan praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme. Ironinya, ketika saya berbicara dalam konteks umum, orang di Partai Golkar meminta saya menyebut nama. Tentu saja ini sangat tragis dan rancu. Harusnya, saya juga bertanya ke mereka, apakah mereka bisa memberikan garansi bahwa sekian puluh juta orang di Partai Golkar bebas dari KKN. Tolong mereka segera menjawab pertanyaan itu.
Apakah perseteruan ini ada kaitannya dengan konvensi calon presiden Partai Golkar?
Jangan ditafsirkan begitu. Saya tak punya kepentingan untuk menembak Akbar. Memang Akbar memiliki nilai eksklusif yang tak dimiliki peserta konvensi yang lain. Sebagai ketua umum yang ikut konvensi, Akbar bertindak sebagai wasit sekaligus pemain. Justru saya dan masyarakat harus mempertanyakan hal itu kepada Akbar. (Surya berbicara dengan berapi-api—Red.)
Apa yang akan Anda pertanyakan?
(Suara Surya Paloh meninggi.) Setiap kali saya melihat Akbar, wajahnya terbelah dua. Separuh wajah Akbar adalah ketua umum partai saya. Separuh yang lain adalah kompetitor saya di konvensi calon presiden. Saya harus menyatakan hal ini secara jujur. Inilah seorang Surya Paloh. Sejak awal, saya tidak tahu bahwa Akbar akan ikut konvensi. Kalau saya tahu, lebih baik Akbar saja yang maju. Ngapain saya ikut-ikutan konvensi calon presiden Partai Golkar.
Anda terlihat sangat kecewa. Apa langkah selanjutnya?
Bola sudah berputar. Permainan sudah berlangsung setengah jalan dan Akbar ikut join dalam permainan. Saya harus melihat hal ini sebagai bagian dari risiko. Saya tidak akan komplain. Apa pun hasilnya, saya harus ikut permainan ini sampai babak akhir.
Bagaimana prediksi Anda soal hasil konvensi?
Saya selalu mencoba untuk berpikir positif. Terlalu mahal buat partai bila ada yang unfair. Bila konvensi tak berjalan sebagaimana mestinya, Partai Golkar akan pecah. Memang ada kekecewaan di sana-sini. Sri Sultan Hamengku Buwono akhirnya mundur karena kecewa. Setelah beliau mundur, saya langsung bertemu dengan beliau secara pribadi.
Masih optimistis dengan peluang Anda di konvensi nanti?
Enam peserta konvensi memang tak akan mendapat suara yang sama. Dari total 530 suara, akan terbagi secara tak merata. Ada yang mendapat suara amat kecil, sedang, dan amat banyak. Bentuknya seperti sebuah piramida. Ini membuktikan sudah ada kristalisasi. Mereka sudah menetapkan pilihannya. Mereka tak lagi bimbang. Memang ada swing voter sekitar 20 persen. Mereka ini masih bisa berubah sikap. Tapi, apa pun model pemilihan nanti, saya sudah mempersiapkan diri. Tak terlalu mengada-ada kalau saya berharap keluar menjadi pemenang. Suara saya akan signifikan, bisa mendekati 50 persen.
Bagaimana bila terjadi penyuapan oleh lawan politik Anda menjelang konvensi?
Saya berharap itu tak terjadi. Tapi, kalau terjadi, itu memang akan membuyarkan semua rencana. Ini proses pendidikan politik yang suci. Jabatan bukan hal yang mewah yang harus diperebutkan dengan segala cara.
Sebagai Ketua Umum Partai Golkar, bukankah Akbar paling layak untuk memenangi konvensi?
Itu pendapat yang keliru. Saya tegaskan, sebagai Ketua Umum Partai Golkar, Akbar tak akan lenggang-kangkung untuk memenangi konvensi. Saya pastikan ia tak bisa semudah itu.
Kelompok pendukung Akbar bilang bahwa Akbar paling berjasa menyelamatkan partai saat terpuruk di awal reformasi. Benarkah?
Bukan cuma Akbar yang berjasa. Tak mungkin cuma Akbar yang berbuat untuk partai. Itu terlalu berlebihan. Kader yang lain juga bekerja menyelamatkan dan membesarkan partai. Lagi pula Akbar sangat aneh. Saat konvensi sedang berjalan, dia bilang bersedia menjadi calon wakil presiden dari koalisi partai. Ini seperti melempar handuk putih saat pertarungan belum usai.
Beberapa petinggi Partai Golkar bilang target Anda sekarang sebenarnya bukan kursi RI-1, melainkan Ketua Umum Partai Golkar. Benarkah?
Prinsipnya, saya ingin menyelesaikan konvensi Partai Golkar secara optimal. Saya sudah mempersiapkan diri sebagai pemenang dan juga sebagai peserta yang kalah. Memang saya menerima dorongan dari daerah-daerah untuk menjadi ketua umum. Saya mengapresiasi hal itu.
Untuk mencapai tujuan ini, Anda memanfaatkan media yang Anda miliki?
Secara jujur harus saya akui bahwa saya menggunakan Metro TV dan Media Indonesia. Kalau tidak, apa lagi yang bisa saya gunakan? Kalau ada wartawan yang tak senang, ya, salah sendiri mengapa dia menjadi wartawan di Metro TV atau Media Indonesia. Saya tak ingin jadi hipokrit.
Apakah Anda sempat "digergaji" oleh kelompok Akbar selama kampanye?
Ya, Anda bisa lihat sendiri. Awalnya, para juru kampanye nasional peserta konvensi diminta memusatkan konsentrasi di Jawa dan Bali. Alasannya, pada Pemilu 1999 di daerah itu suara Golkar menurun. Anehnya, Ketua Partai Golkar sebagai chief and commander malah tak berkonsentrasi di Jawa dan Bali juga. Ini seperti ada pembatasan dari Dewan Pengurus Pusat Partai Golkar. Tapi kami tak mempedulikan aturan itu.
Anda terlihat sangat bersemangat berkampanye. Berapa uang yang telah Anda habiskan?
Tidak terlalu jauh dari kisaran Rp 100 miliar. Itu untuk macam-macam, dari kaus, biaya transpor, akomodasi hotel, hingga pembangunan jaringan di daerah. Tapi saya tak akan menghabiskan semua harta untuk ikut konvensi ini. Saya tidak harus bangkrut. Kehidupan dan status sosial saya tetap berjalan. Setelah saya bekerja sejak berusia 14 tahun sebagai pengusaha, sebagian simpanan yang ada saya gunakan untuk pendidikan politik. Itu saya anggap sebagai amal.
Anda juga punya pesawat pribadi. Berapa harga pembelian dan ongkos operasionalnya?
Soal harga pembelian pesawat, saya tak ingin menyebutkannya. Itu bisa menimbulkan tafsir yang tidak enak di masyarakat. Publik masih cenderung alergi terhadap orang kaya. Ini aneh. (Surya kemudian menyebut angka pembelian pesawat bekas milik Ratu Inggris itu sebagai background. Ia mengaku membelinya secara tunai.) Tapi, untuk operasional, saya mengeluarkan ongkos Rp 1,5 miliar per bulan. Itu untuk biaya keseluruhan, dari gaji pilot dan awak pesawat, perawatan, hingga sewa bandara.
Anda benar-benar seorang konglomerat yang sukses. Berapa total kekayaan Anda?
Saya sedang meminta staf untuk menghitung total aset kekayaan saya secara detail. Ini untuk kepentingan pencalonan diri sebagai presiden. Kalau diestimasi secara kasar, semua aset saya, Metro TV, Media Indonesia, Indocatering, dan hotel, bernilai sekitar Rp 4 triliun. Tapi saya bukan orang yang memiliki kekayaan yang terbesar. Moderat saja.
Apakah untuk konvensi dan kampanye, Anda menggunakan uang pribadi?
Sejujurnya, sampai hari ini, saya hanya menggunakan uang pribadi. Semua saya tanggung sendiri, dari gagasan konvensi sampai sekarang. Saya sudah memprediksi bahwa saya akan jalan sendiri. Mungkin karena keangkuhan pribadi, saya tak mau melibatkan orang lain. Prinsipnya, the eagle flies alone.
Bukankah Anda dekat dengan Bambang Trihatmodjo dan Keluarga Cendana?
Memang saya dekat dengan mereka. Tapi saya tak melibatkan uang mereka untuk konvensi ini. Sumpah, itu jawaban yang jujur.
Ada rumor bahwa Anda dibantu Keluarga Cendana. Bagaimana?
Kalau memang ada uang dari Cendana, berapa pun jumlahnya, saya akan menerimanya asalkan tidak ada ikatan apa-apa. Tapi sekarang belum ada bantuan uang dari Cendana. Anda harus percaya kepada saya soal ini.
Bagaimana hubungan Anda dengan Keluarga Cendana sekarang?
Dulu saya memang dekat dengan Cendana, tapi sekarang biasa-biasa saja, normal saja. Sekarang saya jarang ke Cendana. Dengan Bambang Trihatmodjo sih masih sering telepon-teleponan. Soalnya, saat ini dia lebih sering berada di Amerika Serikat.
Apakah Anda merasa dibesarkan oleh Bambang Tri?
Istilah dibesarkan rasanya tidak tepat. Saya dan Bambang Tri memang bersahabat. Dulu, saat pembredelan koran Prioritas milik saya, misalnya, Bambang Tri bisa memahami saya. Lima hari setelah pembredelan, saya bahkan bisa mencium-cium cucu Pak Harto yang sedang digendong Pak Harto. Waktu itu Pak Harto cuma bilang, "Sebetulnya Surya kader Golkar yang baik. Tapi dia tak becus mengatur anak buahnya."
Apakah karena pembredelan itu Anda sekarang menentang Harmoko jadi juru kampanye Partai Golkar?
Bagi saya, Harmoko adalah tokoh yang kontraproduktif buat Partai Golkar. Ini bukan zamannya Harmoko lagi. Harmoko tak akan meningkatkan suara Partai Golkar. Dulu Harmoko pernah mencemplungkan Pak Harto. Dia bilang bahwa Golkar telah mengecek ke rakyat soal keinginan untuk menjadikan Pak Harto sebagai presiden tahun 1997. Sewaktu Pak Harto terpojok, Harmoko malah ikut meminta agar Pak Harto segera turun dari kursi presiden.
Omong-omong, mengapa Anda memelihara berewok?
Ha-ha-ha.... Itu pertanyaan banyak teman di daerah. Mereka bilang, "Bang Surya, kami ingin Anda menjadi presiden mendatang. Tapi kami berharap Bang Surya mencukur berewok agar terlihat bersih." Ini sangat aneh, mungkin karena presiden kita, dari Bung Karno, Pak Harto, Habibie, sampai Gus Dur, tak ada yang berewokan. Tapi, kalau terpilih menjadi presiden, saya akan tetap berewokan. Itu memang ciri saya.
Surya Dharma Paloh
Tempat/tanggal lahir:
- Kutaraja (Banda Aceh), 16 Juli 1951
Pendidikan:
- Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Islam Sumatera Utara (1972-1975)
Karier:
- Manajer Biro Perjalanan Seulawah Air Service (1968)
- Pemimpin Wiswa Pariwisata (1972)
- Presiden Direktur PT Ika Diesel Bros (1973)
- Presiden Direktur PT Indocatering (1980)
- Pemimpin Umum Koran Prioritas (1986)
- Pemimpin Umum Media Indonesia (1989-sekarang)
- Direktur Utama PT Media Televisi Indonesia, Metro TV (2000-sekarang)
Lain-lain:
- Anggota MPR Utusan Golongan (1972-1987)
- Ketua Umum FKPPI (1979-1983)
- Ketua AMPI (1984-1989)
- Ketua Serikat Penerbit Surat Kabar Pusat (1999-sekarang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo