Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Nyanyi Sunyi Si Peragu

Diduga 25,5 juta orang masih ragu dalam memutuskan partai apa yang akan mereka coblos dalam Pemilu 2004. Suara mereka sangat menentukan hasil pemilu.

5 April 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Galau nian hati Caroline Zachrie, foto model dan presenter acara mistik di sebuah stasiun televisi swasta. Empat hari menjelang pemilu, ia belum punya pilihan partai yang hendak ditusuk. Iklan partai di televisi sudah ditonton, arak-arakan kampanye sudah dilirik, tapi belum ada partai politik yang sreg di hati. Mau jadi golput? "Ah, enggak juga," katanya, "Sampai harinya nanti, saya akan mencoblos. Saat ini, ya, belum aja."

Kebingungan tak cuma mampir di hati Caroline. Bambang Hermiyanto, staf pengajar Universitas Jember yang tengah menyelesaikan program doktoral di Asian Institute of Technology, Bangkok, Thailand, pun mengalami kegundahan yang sama.

Meski di rantau, ia rajin mencermati perkembangan Tanah Air melalui Internet. Bambang fasih menyebut karakteristik ke-24 partai politik peserta pemilu satu per satu. Tapi tetap saja ia tak punya pilihan. "Ah, tak ada satu partai pun yang menjanjikan masa depan negeri saya," tuturnya. Namun, sebagaimana Caroline, Bambang merasa rugi jika haknya hilang begitu saja. Ia bertekad ikut nyoblos. "Tapi, masa saya harus spekulatif seperti buang undi," kata dia kebingungan.

Dalam terminologi politik, kalangan bingung seperti Caroline dan Bambang kerap disebut pemilih yang belum menentukan pilihan (undecided voters). Hasil survei yang dilansir Lembaga Survei Indonesia (LSI) Jumat pekan lalu menyebutkan kelompok ini besarnya 17,2 persen. Dengan jumlah pemilih pada Pemilu 2004 yang 148 juta jiwa, diperkirakan kelompok ini berjumlah 25,5 juta orang alias hampir setara dengan suara yang diperoleh Golkar dalam Pemilu 1999 lalu.

Oleh LSI, kelompok ini dibagi menjadi tiga golongan: mereka yang benar-benar belum memutuskan (10,5 persen), merahasiakan pilihan mereka (5,2 persen), dan tidak mau menjawab (1,5 persen). "Jangan sepelekan mereka. Jumlah mereka banyak," kata Muhammad Qodari, Direktur Riset LSI.

Jumlah kelompok bingung ini memang berubah-ubah dari waktu ke waktu. Sekitar sepuluh bulan lalu, tiga lembaga, yakni Danareksa Research Institute (DRI), International Republican Institute (IRI), serta Universitas Islam Negeri Jakarta yang bekerja sama dengan Ford Foundation, mengadakan riset terpisah tentang kecenderungan memilih masyarakat Indonesia. Ketika itu ketiga penelitian itu menyimpulkan jumlah undecided voters bervariasi dari 35 persen hingga 50 persen.

Penelitian yang dilakukan Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) yang diumumkan 25 Maret lalu menunjukkan angka yang lebih mencengangkan, yakni 58 persen. Survei LP3ES dilakukan di 15 provinsi dengan melibatkan 1.459 responden. Menurut peneliti lembaga tersebut, Rahadi Wiratama, besarnya proporsi undecided voters terkait dengan ketidakpuasan masyarakat terhadap kinerja partai politik. "Sebagian besar dari mereka benar-benar kecewa pada parpol," kata Rahadi.

Persoalannya, mengapa jumlah pemilih yang peragu ini mulur-mungkret dalam waktu relatif singkat. Di luar masalah perbedaan metodologi yang dilakukan lembaga-lembaga penelitian itu, banyak hal yang bisa jadi sebab. Misalnya, kinerja partai atau tokoh partai itu. Naiknya popularitas Susilo Bambang Yudhoyono setelah ia mengundurkan diri dari pemerintah Megawati, misalnya, diduga menaikkan pamor Partai Demokrat, partainya Susilo, serta menurunkan persentase si bingung. Qodari menduga turunnya jumlah peragu dalam penelitian LSI dibanding penelitian lain sebelumnya disebabkan oleh rayuan partai dalam kampanye (penelitian LSI dilakukan sepekan setelah kampanye berlangsung). Tapi fakta penelitian menunjukkan kampanye ternyata tak mampu menumpas habis para peragu ini.

Direktur Freedom Institute, Rizal Malarangeng, mencurigai tak habisnya kalangan bingung ini disebabkan kampanye memang bukan didesain untuk menambah jumlah pemilih tiap-tiap partai. Dengan metode karnaval dan arak-arak, "Kampanye lebih dipakai untuk konsolidasi partai," kata Rizal.

Di Amerika, tutur Rizal, hari-hari terakhir menjelang pemilu biasanya dimanfaatkan partai politik untuk "merayu" kaum peragu ini dengan memaparkan program melalui media massa. "Di Indonesia, ini sulit dilakukan karena ada minggu tenang beberapa hari menjelang hari pencoblosan," kata Rizal. Akibatnya, partai memang tak bisa berbuat banyak untuk menaklukkan hati kelompok ini.

Lalu, ke mana akhirnya suara undecided voters ini akan disalurkan? Sulit menduganya. Satu-satunya cara yang bisa dipakai untuk meraba pilihan politik mereka adalah dengan memeriksa karakteristik demografisnya.

Survei LSI menunjukkan pendidikan mereka umumnya adalah SD dan SMP. Hanya sedikit di antaranya yang mengenyam pendidikan tinggi. Dari sisi pendapatan, mayoritas undecided voters berpenghasilan rendah, yakni di bawah Rp 400 ribu per bulan. Sepertiga lainnya berpenghasilan dari Rp 400 ribu hingga Rp 1 juta, dan hanya sekitar 20,1 persen yang memiliki pendapatan di atas Rp 1 juta per bulan. Secara geografis, terungkap mereka tersebar merata di desa dan kota (lihat tabel).

Menurut peneliti LSI, Saiful Mujani, fakta bahwa kalangan ini didominasi penduduk pedesaan, berpenghasilan rendah, dan berpendidikan minim menunjukkan bahwa yang bakal mendapat suara mereka adalah partai yang dekat dengan kalangan lapis bawah ini. "Saya menduga mereka akan lari ke Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Persatuan Pembangunan, dan Golkar," kata Saiful. Sebagian kecil lainnya yang berpendidikan dan berpenghasilan tinggi serta tinggal di kota boleh jadi disabet Partai Amanat Nasional atau Partai Keadilan Sejahtera—dua partai yang karakternya dekat dengan "kalangan atas". Mungkinkah mereka jadi golput? Boleh jadi, tapi jumlahnya tak banyak. "Penelitian kami menunjukkan responden yang menyatakan tak akan memilih jumlahnya 10,5 persen," kata Qodari.

Jadi, jika Anda percaya pada hasil penelitian LSI, mari ucapkan selamat kepada PKB, PPP, dan Golkar.

Darmawan Sepriyossa


Profil ’Undecided Voters’
Pendidikan
Lulus SD/ di bawahnya50,2%
Lulus SLTP18,6%
Lulus SLTA21,0%
Pernah/ lulus kuliah10,1%
Pendapatan
Di bawah Rp 400.00047,5%
Rp 400.000-Rp 900.00032,4%
Di atas Rp 1.000.00020,1%
Tempat tinggal
Pedesaan52,1%
Perkotaan47,9%

Banyaknya ’Undecided Voters’ Berdasarkan Survei

38,6%
IFES*
Per 10 Maret 2004, 4.000 responden di 8 propinsi

58%
LP3S
Per 18 Maret 2004, 1.459 responden di 15 propinsi

17,2%
LSI
Per 20 Maret 2004, 2.710 responden di 32 propinsi

* Internastional Foundation of Election Systems

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus