Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Menunggu Isyarat Washington

31 Agustus 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DUA pejabat penting intelijen itu bergegas memasuki ruang tunggu Bandar Udara Soekarno-Hatta, Sabtu malam pekan lalu. Wakil Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) As'at Said dan Muchdi P.R., salah seorang deputi di lembaga itu, tengah bersiap melakukan tugas penting: berangkat ke Amerika Serikat untuk menjajaki pembicaraan ihwal Hambali. TEMPO kebetulan bertemu dengan kedua pejabat yang mengaku "ada urusan soal Hambali" itu.

Pria dari Kampung Pamokolan, Cianjur, Jawa Barat, berusia 39 tahun itu pekan-pekan ini jadi rebutan sejumlah negara seperti Australia, Filipina, Singapura, Malaysia, Thailand, Amerika Serikat, dan tentu saja negeri leluhurnya, Indonesia. Di Tanah Air, ia dituding sebagai otak sejumlah ledakan. Ia konon ikut merancang sedikitnya 41 teror yang menyebar di seantero negeri sejak tahun 2000 lalu: dari pengeboman malam Natal di sejumlah kota, ledakan dahsyat di Legian, Bali, 12 Oktober 2002, hingga bom Marriott yang meletus awal Agustus lalu di Jakarta. Pokoknya—versi aparat—Hambali adalah dalang segenap kiamat itu.

Karena itu, Jakarta berharap bisa menghadirkan Hambali kemari. Selain dua pejabat intelijen tadi, kepolisian tengah menyiapkan tim kalau-kalau Amerika Serikat, pemerintah yang kini "mengamankan" Hambali—diduga di penjara Guantanamo di Teluk Kuba—memberikan izin untuk membawanya ke Jakarta atau setidaknya "sekadar memeriksa" di sana. Pemerintah Bush berkepentingan dengan figur yang dianggap ikut berperan dalam tragedi pelumatan gedung World Trade Center, New York, 11 September 2001 itu.

Tapi Indonesia juga tak kalah alasan jika ngotot mendatangkan Hambali. Figur petinggi Jamaah Islamiyah ini juga dianggap memegang peranan besar dalam peledakan bom di Legian, Bali, yang menewaskan lebih dari 200 orang. Menurut Ali Imron, salah seorang terdakwa, bom di Bali itu dirancang sendiri oleh Hambali bersama Ali Gufron alias Muchlas, kakak kandung Ali Imron. "Menurut saya, bom (Bali) itu gagasan Hambali," kata Ali Imron di persidangan. Dalam ledakan di Hotel Marriott, Jakarta, awal Agustus lalu, polisi menduga ada juga peran Hambali.

Di luar peran besar dalam sejumlah ledakan itu, Hambali juga diduga sedang merencanakan peledakan di sejumlah tempat di Tanah Air. Polisi juga menyebut bahwa sisa jaringan Hambali masih amat kuat. Masih ada "trio" Dr. Azahari, Dulmatin, dan Zulkarnain. Seorang perwira polisi menuturkan bahwa ketiga orang itu memiliki keahlian yang amat berbahaya. Azahari memiliki keahlian meramu rumus-rumus praktis membuat bom, Dulmatin tangkas merakit aneka jenis bom, dan Zulkarnain jitu menghitung waktu yang tepat untuk meledakkannya.

Kepada TEMPO, perwira itu menunjukkan beberapa diktat cara merakit bom karya Azahari tersebut. Isinya penuh dengan rumus bom yang njelimet dan memusingkan. "Sepak terjang mereka harus dihentikan," kata perwira ini. Tapi di mana ketiga "jagoan" itu? Itulah repotnya. Perwira polisi itu cuma bisa menduga bahwa ketiga orang berbahaya ini bersembunyi di Indonesia. Gawat memang.

Itu sebabnya aparat kepolisian Indonesia amat berharap pemerintah Amerika Serikat memberikan kesempatan kepada penyidik Indonesia untuk ikut mencecar Hambali, di mana pun ia "disimpan". Di samping untuk melacak jejak sejumlah pengikutnya itu, kehadiran Hambali amat diperlukan untuk membuka selebar-selebarnya sejumlah tudingan polisi terhadap sejumlah tokoh di sini.

Abu Bakar Ba'asyir, misalnya, yang disebut-sebut sebagai Amir Jamaah Islamiyah dan tengah didakwa merencanakan pembunuhan terhadap Presiden Megawati Soekarnoputri. Pihak Ba'asyir menyebutkan bahwa tudingan itu berdasarkan keterangan sejumlah tersangka bom Bali yang bersumber dari Hambali. "Ustad Abu disebut sebagai Ketua Jamaah Islamiyah berdasarkan keterangan saksi-saksi yang bersumber dari Hambali," kata Mohammad Assegaf, pengacara Ba'asyir.

Polisi lalu mengantisipasi. Mereka telah membentuk tim yang akan memeriksa Hambali ke Amerika Serikat. "Kami mengharapkan Hambali bisa diperiksa di Indonesia," kata Kepala Kepolisian RI Jenderal Da'i Bachtiar. Repotnya, lampu hijau dari Amerika belum juga menyala. "Saya tidak mau memberikan jaminan," jawab Ralph L. Boyce, Duta Besar AS, ketika ditanya kemungkinan Hambali dibawa ke sini. Walhasil, tampaknya dua pejabat intelijen itu paling banter cuma bisa membesuk.

Wenseslaus Manggut, Upik Supriyatun (Bandung), Jalil Hakim dan Rofiqi Hasan (Denpasar)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus